JATIMTIMES - Sumenep, salah satu kota budaya di ujung timur Pulau Madura, menyimpan beragam tradisi dan seni yang perlahan terkikis oleh zaman. Salah satu warisan itu adalah seni bela diri Langkah Empat, sebuah seni pertarungan khas yang diciptakan oleh seorang tokoh besar di abad ke-19, Raden Ahmad Banjir, atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Adipati Ario Suryokusumo.
Seni ini bukan sekadar ilmu bela diri, melainkan simbol peradaban Keraton Sumenep yang menggambarkan kehalusan budi, kecerdikan strategi, dan kecepatan aksi dalam ruang sempit.
Baca Juga : FISIP Unisba Blitar Perluas Kolaborasi Pendidikan melalui Kerja Sama Lima Lembaga
Langkah Empat, seperti namanya, berpijak pada gerakan dalam bujur sangkar imajinatif yang setiap sisinya hanya sepanjang satu meter. Dalam ruang yang terbatas ini, pesilat diuji untuk menunjukkan kecepatan dan kelihaian mereka dalam menghindari serangan musuh. Seni ini dulunya menjadi magnet bagi banyak pendekar di Nusantara, tetapi kini nyaris punah, menyisakan jejak samar di kalangan keluarga keraton dan pemerhati budaya setempat.
Raden Ahmad Banjir: Sang Pencipta Langkah Empat
Raden Ahmad Banjir lahir dari darah biru Madura. Ia adalah putra Pangeran Ario Prawiroadiningrat, cucu Panembahan Mangkuadiningrat dari Pamekasan, dan Ratu Afifah, putri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat dari Sumenep. Hubungan darah ini menjadikannya sosok dengan garis keturunan kuat dari dua pusat kekuasaan besar di Madura.
Setelah kehilangan ayahnya pada usia muda, Raden Banjir lebih banyak dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya di Sumenep. Pada November 1842, ia diangkat sebagai Adipati Pamekasan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, meskipun saat itu usianya masih sangat muda. Namun, intrik keluarga dan ketidakharmonisan dengan pamannya membuat Raden Banjir mengundurkan diri pada tahun 1854. Ia kemudian kembali ke Sumenep, menetap di Moncol bersama ibunya, dan mulai mengembangkan seni bela diri Langkah Empat.
Menurut R.P. Zainal Abidin, pemerhati budaya Sumenep, Langkah Empat bukan hanya seni bela diri, tetapi juga manifestasi filosofi hidup. "Gerakan-gerakan dalam Langkah Empat menggambarkan bagaimana seseorang dapat bertahan dalam keterbatasan, menggunakan kelincahan, strategi, dan kecerdasan untuk mengatasi lawan," ujarnya.
Legenda Pertarungan dan Filosofi Langkah Empat
Salah satu kisah terkenal tentang kehebatan Langkah Empat adalah duel Raden Banjir melawan pendekar Arab yang berdarah sayyid. Pendekar itu, yang terkenal dengan pedangnya, sengaja menantang keluarga Keraton Sumenep untuk mengukur kemampuan mereka. Sultan Abdurrahman meminta cucunya untuk melayani tantangan itu.
Sultan memberi pesan sederhana: "Jangan gunakan senjata atau tenaga dalam, cukup gunakan Langkah Empat." Dalam pertarungan tersebut, Raden Banjir hanya bergerak menghindar, memanfaatkan ruang bujur sangkar kecil dengan gerakan yang cepat dan tepat. Akhirnya, pendekar Arab itu kelelahan dan menyerah, menganggap Raden Banjir menggunakan ilmu gaib. Padahal, semua itu hanyalah keahlian dari Langkah Empat yang dikuasainya dengan sempurna.
Ja Sasra: Pewaris Langkah Empat
Setelah wafatnya Raden Banjir, seni bela diri ini diwariskan kepada salah satu putranya, Raden Ario Abdul Ma’afi Sasradiningrat, atau yang dikenal dengan nama Ja Sasra. Ja Sasra dikenal tidak hanya sebagai ahli bela diri yang unggul, tetapi juga sebagai figur yang mendalami ilmu kanuragan dan spiritualitas.
Di masanya, Ja Sasra membawa Langkah Empat ke puncak kejayaan. Banyak pendekar dari luar Madura datang berguru padanya. Bahkan, ia sempat diundang oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta untuk memperkenalkan seni ini. Legenda mengatakan bahwa saat Ja Sasra mempraktikkan Langkah Empat, bumi tempatnya berpijak seakan miring mengikuti gerakannya, sebuah pertunjukan yang membuat orang tertegun.
Baca Juga : Akhir 2024, PDHI Jatim Catat 200 Ribu Kasus PMK
Zainal Abidin menceritakan salah satu peristiwa luar biasa di usia senja Ja Sasra. Dalam sebuah uji coba, salah seorang keponakannya diperintahkan untuk menusuk perutnya dengan keris dari jarak kurang dari 40 sentimeter. Meskipun dilakukan dengan kecepatan tinggi, keris itu bahkan tidak mampu menyentuh pakaian Ja Sasra, menegaskan kecepatan dan ketepatan gerakannya yang luar biasa.
Kemunduran Langkah Empat
Sepeninggal Ja Sasra, seni bela diri Langkah Empat mulai kehilangan pamornya. Beberapa tokoh keluarga keraton, seperti Raden Ario Cokrodiningrat dan Raden Ario Saccadiningrat, melanjutkan tradisi ini. Namun, regenerasi yang terbatas dan perubahan zaman membuat seni ini semakin meredup.
Pada masa Orde Lama, seni ini sempat diorganisasi dalam sebuah lembaga bernama Ganefo. Namun, perpaduan dengan seni bela diri lain dan kurangnya murid yang memahami esensi asli Langkah Empat menyebabkan keaslian seni ini perlahan memudar. Kini, hanya segelintir keluarga Keraton Sumenep yang masih mengenalnya, menjadikannya sebagai warisan yang hampir terlupakan.
Refleksi dan Harapan: Perlunya Regenerasi
Jejak masa lalu Langkah Empat bukan hanya tentang kehebatan seni bela diri, tetapi juga cerminan kebudayaan yang kaya dan kompleks. Seni ini menggambarkan bagaimana strategi, kecerdasan, dan nilai-nilai luhur keluarga bangsawan Madura tercermin dalam gerakan fisik.
Namun, pertanyaan kritis muncul: bagaimana kita dapat melestarikan warisan seperti ini di tengah arus modernisasi? Langkah Empat tidak hanya memerlukan dokumentasi, tetapi juga regenerasi aktif agar seni ini tidak sekadar menjadi catatan sejarah. Keraton Sumenep dan pemerintah daerah memiliki peran besar untuk menghidupkan kembali seni ini melalui pendidikan budaya, festival, atau pelatihan seni bela diri.
Raden Ahmad Banjir, Ja Sasra, dan para penerusnya telah memberikan kita warisan yang tak ternilai. Kini, tugas generasi masa kini adalah memastikan bahwa seni bela diri Langkah Empat tetap hidup, sebagai bagian dari identitas Sumenep dan kebanggaan Indonesia. Seperti kata pepatah Madura: Madep, manteb, sowan ing ngarsaning Gusti—menghadap dengan teguh kepada Tuhan, demi menjaga warisan leluhur yang abadi.