JATIMTIMES - Dahsyatnya perlawanan Raden Trunojoyo dari Madura memberikan tamparan keras bagi penguasa Mataram dan VOC. Kerajaan Mataram Islam nyaris bubar akibat pemberontakan ini. Tokoh sentral yang jadi otak perlawanan hebat ini adalah Raden Kajoran. Kajoran dikenal sangat benci dengan kekejaman pemerintahan Sunan Amangkurat I.
Mataram menorehkan sejarah kelam pada 1659. Di tahun ini Amangkurat I memerintahkan prajuritnya untuk membantai para pemuka agama Islam beserta istri dan anak mereka yang mencapai jumlah 6.000 orang. Enam ribu orang tak berdosa itu tewas dalam dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Mereka dibantai karena dicurigai terlibat dalam konspirasi melawan Amangkurat I oleh adiknya, Pangeran Alit.
Baca Juga : 1.100 Warga Palestina Tewas Akibat Serangan Balasan Israel
Dosa terbesar Amangkurat I adalah melakukan perjanjian dengan VOC. Perjanjian ini benar-benar merugikan dan membawa Mataram ke arah kemunduran. Sementara bagi VOC, perjanjian ini memberikan keuntungan besar. Mataram dengan perjanjian ini juga mengakui kedaulatan Belanda di Batavia.
Semakin hancurnya Mataram dibawah kendali Amangkurat I membuat Keraton Mataram bergejolak. Semakin banyak orang yang tidak suka dengan Amangkurat I, termasuk putra mahkota Pangeran Adipati Anom. Pangeran Adipati Anom berupaya menumbahkan pemerintahan ayahnya sendiri. Ia kemudian meminta bantuan kepada Raden Kajoran dan memulai gerakan revolusi merebut kekuasaan.
Karena sudah merasa tua, Raden Kajoran menolak permintaan Pangeran Adipati Anom. Meski menolak, Kajoran melimpahkan keinginan Pangeran Adipati Anom kepada menantunya yaitu Raden Trunojoyo. Pangeran Adipati Anom dan Trunojoyo akhirnya sepakat untuk mengibarkan bendera revolusi. Skenario yang dibuat, Raden Kajoran dan Pangeran Anom akan tampil ke muka jika api revolusi sudah menyala membara.
Raden Kajoran yang juga dikenal sebagai Panembahan Rama, merupakan seorang suci yang begitu dihormati karena memiliki kesaktian ghoib. Raden Kajoran adalah seorang ahli spiritual dan memiliki bakat rohani yang luar biasa. Selain itu, Raden Kajoran berasal dari wangsa yang menandingi Wangsa Mataram secara martabat. Raden Kajoran juga memiliki dendam pribadi terhadap Amangkurat I atas pembunuhan menantunya Wiramenggala. Wiramenggala dibunuh secara keji oleh Amangkurat I melalui Pangeran Purbaya. Saat pembunuhan ini, putri Raden Kajoran sedang hamil tiga bulan. Jadi bisa dimaklumi jika Raden Kajoran berada di pihak musuh Mataram.
Kajoran adalah sebuah permukiman di selatan Klaten, Jawa Tengah.Raden adalah gelar golongan ningrat Jawa, dan gelar "Raden Kajoran" menunjukkan statusnya sebagai kepala dari keluarga yang berkuasa di sana. Menurut tradisi Jawa, Sayyid Kulkum, buyut Raden Kajoran adalah orang pertama dari keluarganya yang bermukim di Kajoran. Kalkum adalah adik dari seorang wali yang dikenal sebagai Sunan Bayat, salah satu orang pertama yang memperkenalkan Islam di pedalaman Jawa Tengah.
Sayyid Kalkum, buyut Raden Kajoran memperoleh kekuasaan atas wilayah yang luas di Kajoran pada awal abad ke-16. Beberapa anggota keluarga Kajoran lalu menikah dengan anggota keluarga kesultanan Pajang dan Mataram. Pada masa Raden Kajoran, keluarga ini telah menjadi keluarga yang kuat dan berpengaruh di Mataram, karena statusnya sebagai pemuka agama Islam mereka dan ikatan pernikahan dengan kerabat kesultanan.
Kebrutalan Amangkurat I ini menimbulkan kekhawatiran bagi Raden Kajoran, yang mulai bersimpati dengan para musuh raja. Iklim yang kurang kondusif memaksa Trunojoyo yang pada waktu itu tinggal di Keraton Mataram memutuskan untuk pergi. Raden Kajoran menerima Trunojoyo di Kajoran sebagai pengikutnya dan mengizinkan dia menikah dengan salah satu putrinya. Kajoran juga mendorong persahabatan antara Trunojoyo dan Putra Mahkota Mataram (Pangeran Adipati Anom, kelak Amangkurat II) yang juga memiliki dendam terhadap ayahnya yang bertahta sebagai raja.
Berbeda dengan ayahnya yang anti bangsa eropa, Amangkurat I adalah raja yang dalam banyak sumber sejarah digambarkan sebagai raja yang bertabiat buruk. Amangkurat I adalah raja yang suka main perempuan, gampang curiga kepada siapapun dan membunuh siapapun yang tidak ia sukai.
Perjuangan Trunojoyo mendapat bantuan dari Karaeng Galesong, putra Sultan Hasanudin dari Kerajaan Gowa. Di tengah berlangsungnya Perang Banten, Raden Kajoran mertua dari Raden Trunojoyo dari Madura yang sedang mempersiapkan pergerakan melawan Sunan Amangkurat I dari Kesultanan Mataram, datang untuk meminta bantuan kepada Karaeng Galesong. Raden Kajoran kemudian memohon agar Karaeng Galesong mau membantu Trunojoyo melawan VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ujung tombak dari perjuangan ini adalah prajurit Madura dan prajurit Indonesia Timur dari Makassar.
Kedatangan Karaeng Galesong di Jawa Timur disambut baik oleh Trunojoyo dan Tawangalun dari Kerajaan Blambangan. Trio ini kemudian mengadakan pertemuan di Kedhaton Keraton Sampang. Mereka bersatu padu melanjutkan perlawanan terhadap kerajaan Mataram dan Belanda pada 1676-1679. Trunojoyo secara terang-terangan menyatakan diri berpisah dengan Kerajaan Mataram. Trunojoyo kemudian resmi mendeklarasikan diri sebagai Raja Madura dengan dukungan Sunan Giri dan Raden Kajoran.
Hubungan Galesong dengan Trunojoyo semakin dekat dan pada akhirnya menjadi keluarga. Galesong jatuh cinta dengan putri Trunojoyo yang berparas jelita. Trunojoyo suka dengan pribadi Galesong, ia mengambil Galesong sebagai menantunya.
Perang melawan kezaliman Amangkurat I dimulai Trunojoyo dari Madura. Dalam waktu singkat, Trunojoyo berhasil menaklukkan seluruh wilayah Madura karena besarnya dukungan rakyat pulau Garam. Rakyat begitu mudah dimobilisasi karena tidak menyukai pemimpin Madura waktu itu yakni Cakraningrat II. Setelah menaklukkan Madura, Trunojoyo bergerak cepat menaklukkan seluruh wilayah Jawa Timur dan pesisir Utara Jawa Tengah.
Salah satu pertempuran terdahsyat Trunojoyo melawan Mataram dan VOC adalah pertempuran di Gegodok pada 13 Oktober 1676. Di Gegodok, pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong berhasil mengalahkan pasukan Mataram pimpinan Pangeran Adipati Anom yang dibantu pasukan VOC. Kekalahan di Gegodok ini jadi awal kebencian Pangeran Adipati Anom kepada Trunojoyo. Pangeran Adipati Anom kemudian meminta maaf kepada ayahnya dan berbalik memusuhi Trunojoyo.
Berbaliknya sikap Pangeran Adipati Anom dan semakin besarnya campur tangan VOC di internal Keraton Mataram merubah warna perjuangan Trunojoyo. Perjuangan yang semula bertujuan menumpas kezaliman Amangkurat I berubah menjadi gerakan jihad melawan VOC dengan pasukan Belandanya yang beragama Kristen. Berubahnya warna perjuangan ini adalah pengaruh dari Raden Kajoran. Kajoran mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa "Allah dan Nabi-Nya tidak akan pernah memberkati tanah Jawa lagi, selama para kafir (yakni orang Belanda) diterima di sana
Perang Jihad yang diserukan Trunojoyo ada kemiripan dengan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Trunojoyo dan pasukannya menghimbau orang-orang Jawa dan Madura untuk mendukung perjuangan mereka. Trunojoyo dalam perjuangan ini juga mendapatkan tanggapan positif dari Panembahan Giri. Panembahan Giri menyatakan, Negara Mataram tidak akan bisa sejahtera jika VOC masih menancapkan pengaruhnya di Jawa.
Jihad yang diserukan Trunojoyo mendapat dukungan kuat dalam waktu singkat. Krisis di Mataram memuncak pada akhir 1676 setelah pasukan Trunojoyo berhasil menduduki Demak, Semarang, Kendal, Kaliwungu, Pekalongan, Tegal, Cirebon, dan Indramayu. Pasukan Mataram kalah lagi dan Pangeran Adipati Anom semakin benci dengan Trunojoyo. Kebencian sang pangeran semakin memuncak setelah ia mendengar kabar Trunojoyo dinobatkan sebagai raja oleh rakyat Jawa Timur di Surabaya dengan gelar Panembahan Maduretno.
Baca Juga : Angin Kencang di Kota Batu Sebabkan Atap Gedung Terbang hingga Pohon Tumbang
Di tahun 1677, Raden Kajoran ikut bergabung dengan pasukan Trunojoyo bergerak menuju ibu kota Mataran. Pasukan ini menyerang ibu kota kabupaten (kabupaten di Mataram) pada bulan Januari atau Februari 1677 namun dipukul mundur oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pangeran. Pasukan yang kalah ini mundur ke Surabaya, di mana Raden Kajoran bergabung dengan manantunya, Trunojoyo. Kemudian pasukan Mataram membakar wilayah Kajoran.
Bulan April 1677, Kajoran bersama Trunojoyo dan Karaeng Galesong memulai serangan yang lain terhadap Mataram. Pasukannya pemberontak menyerbu dan menjarah ibu kota Plered pada 28 Juni 1677.
Ada rumor bahwa bagian barat wilayah Trunajaya (kira-kira Jawa Tengah kini), akan menjadi kerajaan yang diperintah oleh Kajoran, tetapi dia lebih suka mengambil posisi sebagai seorang pemimpin agama daripada raja. Juga, meskipun ada usulan pembagian kekuasaan, Trunojoyo mengambil semua harta kekayaan yang direbut dari Plered untuk dirinya sendiri tanpa membagi dengan Kajoran.
Para pemberontak kemudian menarik diri dari ibu kota yang telah runtuh saat itu dan Raden Kajoran pindah ke Totombo, daerah perbukitan di selatan ibu kota Trunojoyo di Kediri, Jawa Timur, atas permintaan Trunajaya. Langkah ini, beserta tidak adanya pewaris Kajoran, menyebabkan berkurangnya wibawa Raden Kajoran dan kesetiaan para pengikutnya. Namun, para pengikutnya masih aktif di Jawa tengah, termasuk wilayah-wilayah pesisir (misalnya Jepara) dan pedalaman (di Pajang, yang berbatasan dengan wilayah keraton). Mereka menyusun serangan besar di pantai utara pada bulan November 1677 dan Juni—Juli 1678.Gerakan ini benar-benar membuat frustrasi baik bagi Mataram maupun VOC, yang juga berupaya untuk membangun suatu monopoli di wilayah pantai utara Jawa.
Sementara itu di pihak musuh, penaklukan Istana Mataram di Plered memberikan tamparan keras bagi Amangkurat I. Trunojoyo menjarah harta pusaka milik keraton. Sedangkan Amangkurat I melarikan diri dari keraton bersama Putra Mahkota. Kehilangan istana membuat Amangkurat I sangat gugup.Ia meninggalkan istana bersama seluruh putra dan permaisurinya. Abdi yang masih setia ikut bersamanya.
Babad Tanah Djawi mengabarkan, raja meninggalkan istana pada malam Ahad bulan Sapar dalam tahun be atau tahun 1600 (28 Juni 1677). Perjalanan raja dari Plered menuju ke barat dan berhenti di Makam Sultan Agung di Imogiri. Dari Imogiri rombongan menyeberang ke Kali Progo. Amangkurat I benar-benar menderita dalam peristiwa ini. Ia tidak kuat menahan gejolak penderitaan dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan. Jenazahnya dimakamkan di Tegalwangi pada 1677.
Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Amangkurat I menobatkan Pangeran Adipati Anom sebagai raja Mataram berikutnya dengan gelar Amangkurat II. Ia berpesan agar Amangkurat II kembali merebut Keraton Mataram dengan meminta bantuan VOC.
“Kelak setelah saya tiada, pergilah engkau meminta pertolongan Belanda. Ajaklah mereka untuk membalas dendam kepada orang-orang dari daerah timur yang merusak Mataram. Pesanku supaya engkau sungguh-sungguh melaksanakan nasehatku. Orang Belanda akan menangkan perangnya, semua anak cucuku jika berteman dengan Belanda kelak akan menangkan perangnya. Kalau saya doakan semoga dapat mengalahkan musuhmu, tetapi jangan lupa membawa teman orang Belanda,” pesan terakhir Amangkurat I kepada Amangkurat II.
Atas wasiat ayahnya, Amangkurat II kemudian meminta bantuan kepada VOC. Speelman, Wakil VOC di Jepara menyanggupi permintaan itu namun syaratnya sangat berat. Syarat yang diajukan VOC juga sangat merugikan Mataram. Syarat tersebut disanggupi Amangkurat II. Beberapa isi perjanjian itu diantaranya Amangkurat II setuju mengakui hutang kepada Belanda sebesar 2.000.000 real, Mataram bersedia menyerahkan beras sebanyak 3.000 koyan, Mataram bersedia membayar kerugian perang sebesar 3.000 real setiap tiga bulan, dan Belanda boleh menguasai daerah pesisir sampai Pamanukan.
Akhirnya dengan bantuan pasukan Bone dan Ambon, Speelman menyerbu pusat kekuatan pasukan Trunojoyo di Kediri pada 25 Nopember 1678. Pertempuran sengit pun terjadi. Menghadapi lawan yang berlipat ganda dengan persenjataan yang jauh lebih lengkap, Trunojoyo akhirnya melepaskan Kediri dan mundur ke Blitar, lalu ke Malang. Jatuhnya Kediri disambut dengan sangat gembira oleh petinggi Belanda di Batavia.
Selain Trunojoyo, Speelman juga membidik Raden Kajoran. Belanda berpendapat, serangan hebat pemberontak kepada Mataram di tahun 1677 itu otak penggeraknya adalah Raden Kajoran. Berdasarkan analisa Belanda, Kajoran adalah tokoh yang mendorong pasukan pemberontak berpencar dan bergerak menuju dan menghancurkan keraton.
Pada bulan November 1678, Kediri direbut oleh pasukan VOC-Mataram dan Kajoran kembali ke Jawa Tengah dan membangun pangkalan barunya di Mlambang (saat ini wilayah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta). Dia bersekutu dengan Raja Namrud (atau Nimrod), seorang panglima perang Makassar yang aktif di Jawa tengah, dan memenangkan beberapa penaklukan di sana antara April dan Agustus 1679. Namun, pada tanggal 14 September, pasukan gabungan VOC-Mataram di bawah Kapten Belanda Jan Albert Sloot dan pemimpin Mataram Sindu Reja bergerak menuju bentengnya di Mlambang. Serangan ini berakhir dengan kemenangan VOC-Mataram. Kajoran menyerah namun Sloot memerintahkan eksekusinya. Karena reputasinya yang dihormati, tidak ada pemimpin Jawa yang mau mengeksekusinya, sehingga Sloot memerintahkan orang Bugis untuk melakukannya.
Nasib serupa juga dialami Trunojoyo. Bangsawan keturunan Kerajaan Arosbaya itu akhirnya berhasil dikalahkan dan menyerah pada 1680. Kapitan Jonker kemudian menyerahkan Trunojoyo kepada Amangkurat II. Trunojoyo tewas setelah ditikam keris oleh Amangkurat II.