JATIMTIMES- Seluruh kalangan sepakat, Kediri merupakan kota tua yang memiliki banyak warisan sejarah untuk generasi negeri ini. Warisan sejarah itu salah satunya adalah situs Setono Gedong.
Ya, Setono Gedong adalah maskot wisata religi dan sejarah di kota tahu. Lokasi situs ini berada di tengah-tengah perkotaan, tepatnya di Jalan Doho Kota Kediri, Jawa Timur. Lokasinya berada di seberang Stasiun Kereta Api Kediri. Dengan lokasinya yang strategis, situs ini sangat mudah dijangkau oleh wisatawan yang ingin berkunjung ke Situs Setono Gedong.
Bagi kalangan spiritual, Setono Gedong bukan tempat yang asing. Sedangkan bagi kalangan peneliti dan pencinta sejarah, Setono Gedong adalah tempat untuk mempelajari kisah dan sejarah masa lalu. Di situs ini dimakamkan sejumlah tokoh dari kalangan wali, ulama, pejabat tinggi era kerajaan dan darah biru.
Beberapa tokoh yang dimakamkan di tempat ini di antaranya Syech Al Wasil Syamsudin, Sunan Bagus, Sunan Bakul Kabul, Wali Akba, Pangeran Sumende, Sunan Bagus, Kembang Sostronegoro, Mbah Fatimah dan Sri Susuhunan Amangkurat III (Raja ke-6 Kasultanan Mataram Islam).
Bicara mengenai Amangkurat III sangat menarik untuk dikaji dan dibahas secara mendalam. Makam raja Mataram ini adalah satu-satunya makam yang pintunya terkunci. Di dalam kawasan makam Amangkurat III ini terdapat pula makam keturunan dan pengikut setia. Di antaranya Pangeran Teposono (Putera Amangkurat III) dan Raden Ajeng Reksoprodjo (Abdi Dalem Amangkurat III).
Dari dua nama terakhir, Raden Ajeng Reksoprodjo adalah nama yang asing dan tidak ada dalam catatan sejarah. Jejak Reksoprodjo hanya bisa ditemukan dalam cerita lisan yang berkembang di Setono Gedong. Dikisahkan Reksoprodjo adalah abdi dalem Keraton Kartasura yang diberi tugas menjaga dan merawat pusaka-pusaka milik keraton.
“Raden Ajeng Reksoprodjo ini adalah seorang perempuan. Beliau adalah abdi yang menjaga dan merawat pusaka eyang Amangkurat III,” jelas Juru Kunci Situs Setono Gedong Kediri, M Yusuf Wibisono, Kamis (5/10/2023).
Konon Raden Ajeng Reksoprodjo adalah abdi yang sangat setia dengan Raja Amangkurat III. Saat sang raja dikudeta Pangeran Puger dan diasingkan ke Srilanka, Reksoprodjo mengikuti sang raja kemanapun pergi. Dialah yang merawat semua harta pusaka yang dibawa Amangkurat III saat meninggalkan Kartasura.
“Cerita turun temurun menyatakan, Raden Ajeng Reksoprodjo ini berdua dengan suaminya. Saat membawa pusaka dan lari dari Kartasura, di tengah jalan beliau berdua itu dicegat pasukan Pakubuwono I. Reksoprodjo kakung tewas dalam peristiwa ini. Sedangkan Reksoprodjo putri berhasil lari dengan membawa harta pusaka dan bergabung dengan kelompok Amangkurat III di Jawa Timur,” lanjut Yusuf.
Sebuah kisah yang diceritakan secara umum menyebutkan, putra Pakubuwono I yang bernama Pangeran Blitar sempat menemui Amangkurat III di Surabaya. Dalam pertemuan ini Pangeran Blitar meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka karaton, tetapi ditolak. Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwono I.
Tak lama setelah peristiwa itu, VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari Batavia Amangkurat III kemudian diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka hingga wafat pada tahun 1734. Konon harta pusaka warisan Kesultanan Mataram itu ikut dibawa Amangkurat III ke Srilanka. Pakubuwono I kemudian mengumumkan bahwa pusaka tanah Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
Catatan versi keraton dan Belanda menyatakan Amangkurat III wafat di Srilanka pada 1734. Tiga tahun kemudian, anggota keluarganya yang masih hidup yang hidup bersama Amangkurat III di Srilanka kembali ke Jawa bersama benda pusaka kerajaan. Diantara anggota keluarga itu ada dua putra Amangkurat III, yakni Pangeran Teposono dan Pangeran Wiramenggala. Setelah tiba di Jawa, Jenazah Amangkurat III kemudian diberikan kehormatan dengan dimakamkan kembali di Astana Sultanagungan di Imogiri.
Dua putra Amangkurat III dan beberapa anggota keluarga lain itu kemudian diterima kembali di istana. Sayang, kedua pangeran itu kemudian dieksekusi mati atas perintah Raja Surakarta Pakubuwono II. Keduanya dieksekusi di istana setelah terlibat persekongkolan di dalam keraton. Eksekusi ini dilakukan sebelum Pakubuwono II melancarkan serangan terhadap garnisum VOC di Kartasura pada bulan Juli 1741.
Belum ditemukan keterangan jelas terkait persekongkolan yang dituduhkan Pakubuwono II terhadap dua putra Amangkurat III itu. Namun menurut sumber dari Setono Gedong, Pakubuwono II mengeksekusi dua pangeran itu karena indikasi kuat akan melakukan pemberontakan.
“Cerita dari putro wayah Amangkurat III, Pangeran Teposono dan saudarannya dibunuh oleh Pakubuwono II. Lalu jenazah Pangeran Teposono dibawah ke Kediri dan dimakamkan di Setono Gedong,” jelas Juru Kunci Makam Setono Gedong, Kota Kediri, M Yusuf Wibisono.
Baca Juga : Bakar Sampah hingga Tak Terkendali, Rumah Warga di Kota Batu Nyaris Terbakar
Dimakamkannya Pangeran Teposono di Kediri ini kiranya cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Konon selain di Imogiri, di Situs Setono Gedong Kota Kediri juga ada makam Sunan Amangkurat III. Di kompleks makam Amangkurat III di Setono Gedong itulah, Teposono dan istrinya dimakamkan. Di situs ini juga terdapat makam Sunan Amangkurat III yang dikunjungi oleh banyak keturunannya. Bahkan beberapa keturunan yang dekat secara kekerabatan menegaskan makam di Setono Gedong ini berisi jasad sang raja yang terbuang. Makam Amangkurat III di Setono Gedong ini lebih kuat secara otentik.
Cerita lisan di Kediri memang kontradiktif dengan cerita lisan versi keraton dan Belanda. Cerita lisan versi Kediri menyatakan setelah turun tahta, Amangkurat III memilih untuk menetap di Kediri. Di Kediri inilah Amangkurat III menghabiskan sisa hidup dengan beribadah dan meninggalkan keduniawiannya. Ia memilih meneruskan hidupnya dengan menjadi wali.
Cerita lisan Amangkurat III menghabiskan sisa hidup di Kediri ini didukung oleh bukti yang cukup kuat. Bukti-bukti otentik tersebut diantaranya adanya petilasan-petilasan. Makamnya yang diyakini berisi jasad pun juga ada di Situs Setono Gedong. Di samping makamnya terdapat sebuah kuburan yang berisi pusaka-pusaka asli Kasultanan Mataram yang dulu dibawa lari saat Amangkurat III lengser dari tahta.
Tepat di depan gedongan makam Amangkurat III, terdapat makam Raden Ajeng Reksporodjo, seorang abdi dalem perempuan yang bertugas membawa dan merawat pusaka-pusaka keraton milik Amangkurat III. Menurut cerita lisan Setono Gedong, pusaka-pusaka yang dijaga Reksoprodjo itu adalah harta pusaka yang dibawa Amangkurat III dari Keraton Kartasura.
“Pusaka keraton itu dipendam di samping pusara makam Eyang Amangkurat III. Pendaman pusaka itu atasnya dirupakan seperti kuburan,” pungkas Yusuf.