JATIMTIMES - Menjelang Pemilu 2024, sejumlah bakal calon legislatif (bacaleg) melakukan beragam cara untuk mendapatkan kemenangan. Selain taktik dan strategi mobilisasi massa, para bacaleg juga melakukan cara-cara di belakang layar. Salah satunya ziarah dan ngalap berkah di makam-makam keramat.
Di Jawa Timur, terpantau belakangan banyak bacaleg yang mendatangi makam-makam keramat. Ziarah dan ngalap berkah di makam keramat dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Baca Juga : Peduli Sejarah, Wawali Kota Blitar Ingin Selamatkan Rumah Bersejarah Pahlawan Peta Shodanco Supriyadi
Salah satu pemakaman keramat di Jawa Timur yang ramai didatangi para bacaleg adalah situs Setono Gedong di Kota Kediri.
Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Jawa, ziarah kubur merupakan sarana mengingatkan manusia dengan kematian dan kehidupan di akhirat. Hikmah ziarah kubur dapat mengingatkan manusia akan adanya hari kematian dan kehidupan selanjutnya di akhirat. Hal ini dapat mendorong manusia untuk semakin rajin dalam beribadah, berbuat kebaikan, dan beramal saleh.
Sedikit berbeda dengan pandangan umum, tradisi ziarah ke makam-makam tua yang dikeramatkan merupakan fenomena yang hidup di kalangan masyarakat Nusantara khususnya masyarakat Jawa. Tradisi ini telah ada dan dilakukan secara turun-temurun.
Kepercayaan mistis yang berbasis pada tradisi dan kepercayaan yang berdasar pada pemikiran-pemikiran rasional menunjukkan berbagai macam kepercayaan para peziarah makam. Kekuatan supranatural pada makam-makam yang dianggap keramat dapat memengaruhi cara pandang atau persepsi mereka terhadap dunia gaib yang dianggap dapat mengubah nasib dan kehidupannya.
Bagi kalangan spiritual, Setono Gedong bukan tempat yang asing. Sedangkan bagi kalangan peneliti dan pencinta sejarah, Setono Gedong adalah tempat untuk mempelajari kisah dan sejarah masa lalu. Di situs ini dimakamkan sejumlah tokoh dari kalangan wali, ulama, pejabat tinggi era kerajaan dan darah biru.
Situs Setono Gedong sangat mudah dijangkau peziarah. Lokasi situs ini berada di tengah-tengah perkotaan, tepatnya di Jalan Doho Kota Kediri, Jawa Timur. Lokasi situs ini berada di seberang Stasiun Kereta Api Kediri.
Beberapa tokoh yang dimakamkan di tempat ini di antaranya Syech Al Wasil Syamsudin, Panembahan Wirasmoro (putra Raja Demak Sunan Prawoto), Sunan Bagus, Sunan Bakul Kabul, Wali Akba, Pangeran Sumende, Sunan Bagus, Kembang Sostronegoro, Mbah Fatimah dan Sri Susuhunan Amangkurat III (raja ke-6 Kasultanan Mataram Islam).
“Kunjungan peziarah ke Setono Gedong stabil. Dan belakangan banyak caleg yang ziarah ke sini. Musim pemilu selalu seperti ini, banyak caleg yang datang. Kebanyakan ziarah ke makamnya Mbah Wasil,” kata juru kunci situs Setono Gedong M. Yusuf Wibisono.
Dari keseluruhan tokoh yang dimakamkan di Setono Gedong, Mbah Wasil atau Syech Al Wasil Syamsudin adalah tokoh yang paling banyak diziarahi. Cerita lisan di Kediri menyebutkan Mbah Wasil adalah pangeran Makkah yang diperintahkan untuk datang ke Jawa Dwipa (Pulau Jawa).
Setelah menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Mbah Wasil sempat bermukim di wilayah Kabupaten Nganjuk, tepatnya di wilayah Kecamatan Sawahan, yakni di Gunung Wilis (Sadepok).
Syekh Al Wasil Syamsudin memiliki pengikut sekaligus murid, yakni Ki Hajar Subroto, hingga pada tataran kemakrifatan. Dakwah Syekh Al Wasil Syamsudin tidak hanya pada tataran kemakrifatan saja. Namun dilanjutkan ke wilayah Kediri, dakwah atau syiar beliau sampai kepada Prabu Joyoboyo.
Melihat kebijaksanaan sang ulama, akhirnya Sri Aji Joyoboyo pun menimba ilmu kemakrifatan. Sehingga Syekh Al Wasil Syamsudin memiliki dua murid dengan tataran kemakrifatan tapi dari sisi berbeda. Yakni Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (bekas pertapa) dan Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (kerajaan) sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yang berbeda.
“Hubungannya dengan Prabu Joyoboyo ini dikisahkan cukup menarik. Menurut cerita turun-temurun Kediri, beliau (Mbah Wasil) ini ikut membantu Joyoboyo membuat kitab Jangka Joyoboyo yang terkenal itu. Wallahualam,” kata juru kunci situs Setono Gedong, Muhammad Yusuf Wibisono.
Baca Juga : Elite PKB Sebut Pilpres 2024 Hanya 2 Poros, Kapten "Amin" Masih Digodok
Hingga saat ini tidak ada yang tahu secara pasti asal usul Mbah Wasil. Beberapa sumber meyakini Mbah Wasil berasal dari Turki. Sumber ini merujuk pada Mbah Wasil yang dijuluki Pangeran Makkah. Dikutip dari buku berjudul "Inskripsi Islam Tertua di Indonesia" oleh C. Guillot, Luvdik Kalus dan Willem Molen, Mbah Wasil merupakan tokoh penyebaran agama Islam yang terkenal di Jawa Timur, termasuk Kediri, pada sekitar abad 10 Masehi. Syekh Wasil masuk ke Kediri pada masa pemerintahan Raja Sri Aji Joyoboyo.
"Beliau dipanggil Mbah Wasil karena beliau sering memberikan wasil (ahli bertutur sapa, berpetuah yang baik)," imbuh Yusuf.
Kehadiran Mbah Wasil pada masa itu disambut baik oleh masyarakat Kediri. Metode dakwah dilakukan Mbah Wasil dengan pendekatan secara humanis. Metode ini dipilih karena pada waktu itu Kediri sudah ada keyakinan lain yang dianut masyarakat. Pada masa itu di Kediri terdapat banyak situs-situs berupa arca sebagai tempat sembahyang.
Pendekatan yang dilakukan Mbah Wasil berhasil. Agama Islam diterima dan berkembang pesat di Kediri. Sejumlah masjid pun dibangun. Salah satunya Masjid Setono Gedong.
Tidak ada catatan yang menyebutkan kapan Mbah Wasil wafat. Setelah wafat jenazahnya dimakamkan di area Masjid Setono Gedong.
“Makam Mbah Wasil ini paling ramai peziarah. Ini setelah pandemi, peziarah paling banyak di hari Sabtu dan Minggu. Banyak kelompok yang menggelar tahlil dan pengajian di Makam Mbah Wasil,” terang Yusuf.
Di situs Setono Gedong juga terdapat beberapa makam tokoh pejabat era kerajaan dan kalangan darah biru. Menurut Yusuf, selain kalangan wali dan ulama, Setono Gedong sejak dulu juga dipergunakan untuk pemakaman darah biru di wilayah eks Karesidenan Kediri. Makam darah biru yang diyakini paling keramat adalah Makam Sri Susuhunan Amangkurat III atau Amangkurat Mas.
Di situs ini terdapat pula beberapa makam keturunan dan pengikut setia Amangkurat III. Di antaranya Pangeran Teposono (putra Amangkurat III) dan Raden Ajeng Reksoprodjo (abdi dalem Amangkurat III), serta R. Ng Pringgodigdo (bupati ke-4 Nganjuk, menjabat 1852-1878, mertua Patih Blitar Djoyodigdo).
Berbeda dengan makam-makam lainnya, makam Amangkurat III jadi satu-satunya makam yang paling tertutup di Setono Gedong. Makam Amangkurat III dikelilingi tembok tebal dan tinggi persis seperti makam raja-raja Mataram di Imogiri. Makam Amangkurat III juga dikunci gembok. Yang ingin berziarah ke makam Amangkurat III harus seizing dari juru kunci.
“Beliau (Amangkurat III) ini adalah raja. Jadi mohon maaf, bagi yang ingin ziarah ke makamnya beliau harus seizin dari kami. Ada tata krama bagi yang ingin sowan kepada seorang raja. Beliaunya tetaplah seorang raja meskipun sudah meninggal dunia. Sejak dulu tradisi di sini kalau mau sowan eyang Amangkurat III selalu begitu,” pungkas Yusuf.