JATIMTIMES - Terbengkalainya rumah keluarga pahlawan pemberontakan Peta (Pembela Tanah air) Shodanco Supriyadi di Kota Blitar mendapat respons dari Wakil Wali Kota Blitar Tjutjuk Sunario. Tjutjuk memberikan sinyal ingin menyelamatkan rumah bersejarah tersebut.
Rumah keluarga Shodanco Supriyadi berada di tengah-tengah Kota Blitar, tepatnya di Jalan Shodanco Supriyadi Nomor 46, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Rumah tersebut saat ini ditinggali oleh Suroto yang merupakan adik Shodanco Supriyadi.
Baca Juga : Penantian Panjang Bertahun-tahun, 160 Warga di Kota Batu Segera Terima SK Biru di Jakarta
Rumah lebih dikenal dengan sebutan Wisma Darmadi. Lokasi rumah bersejarah ini hanya beberapa meter saja arah barat dari Monumen Peta Kota Blitar.
“Bangunan kuno terlebih bangunan bersejarah, jangan dihancurkan. Kalau pemiliknya tidak bisa memelihara, ya harus diambil alih pemerintah daerah. Kalau kita (Pemkot Blitar) mau beli (rumah keluarga Shodanco Supriyadi), tapi jangan mahal-mahal. Karena PAD kita itu rendah, PAD kita itu hanya di antara 150 sampai 200 miliar. Sedangkan kebutuhan kita itu sudah menyentuh triliun,” kata Tjutjuk.
Tjutjuk Sunario adalah pimpinan daerah yang dikenal memberikan perhatian terhadap pembangunan budaya dan sejarah. Sebelumnya saat membuka kegiatan Roadshow Jaring Aspirasi Pembangunan Jangka Panjang 2025-2045 Kota Blitar Bidang Komunikasi dan Informatika di Ruang Sasana Praja Kantor Wali Kota Blitar, Kamis (31/8/2023), Tjutjuk dengan tegas mengutarakan gagasannya membangun Kota Blitar sebagai kota heritage.
Menurut Tjutjuk, mewujudkan Kota Blitar sebagai kota heritage bisa mulai dilakukan dengan perencanaan jangka panjang. Ia juga menyatakan mewujudkan Kota Blitar sebagai kota heritage salah satunya bisa dilakukan dengan merawat bangunan-bangunan bersejarah.
Tjutjuk juga menyatakan, dalam mewujudkan pembangunan kota menuju heritage, Kota Blitar tidak boleh plagiat atau meniru daerah lain. Salah satu yang harus dilakukan adalah Tjutjuk mendorong Pemkot Blitar untuk menyelamatkan dan merawat bangunan bersejarah untuk dijadikan ikon Kota Blitar, Kota Proklamator yang kaya dengan jejak sejarah perjuangan.
“Ayo kita amankan, kita selamatkan untuk anak cucu kita. Karena 50 tahun lagi anak cucu kita butuh sejarah. Siapa yang dulu berjuang di Kota Blitar? Shodanco Supriyadi, di mana tempatnya? Oh di sini. Bangunan bersejarah itu kita pelihara, kita buatkan narasinya, semisal monumen ini jejaknya Pak Supriyadi. Kalau Istana Gebang jejaknya Bung Karno. Rumahnya Pak Supriyadi itu pandangan saya bisa dijadikan seperti Istana Gebang. Kenapa tidak. Ayo kita jaga Kota Blitar ini, kita jaga bersama peninggalan-peninggalan bersejarah. Agar 20 tahun lagi bisa dinikmati oleh anak cucu kita,” tegasnya.
Lebih lanjut Tjutjuk menyampaikan, penyelamatan bangunan-bangunan bersejarah, khususnya rumah keluarga Shodanco Supriyadi harus dilakukan mulai sekarang.
“Kalau tidak kita pikirkan mulai dari sekarang, 20 tahun lagi saya yakin akan hancur itu. Kalau seperti itu harus ada perlakuan khusus. Kalau keluarga tidak mau merawat, ya sebaiknya ditawarkan kepada pemerintah. Kalau tidak dibeli pemerintah, maka nanti ada kebijakan khusus. Misal pajaknya dibikin rendah, PBB-nya dibikin rendah. Kalau dibuat sama dengan yang lain, nanti bisa rusak,” lanjutnya.
Sebagai wakil wali Kota Blitar, Tjutjuk memiliki cita-cita mewujudkan Kota Blitar menjadi kota yang aman, nyaman dan cantik. Penataan Kota Blitar menjadi kota wisata itu salah satunya ia mendorong agar Kota Blitar menjaga bangunan-bangunan bersejarah.
“Bangunan bersejarah itu harus dijaga. Kalau bangunan itu sudah cagar budaya, maka harus dijaga, dirawat dan jangan sampai rusak. Karena bangunan cagar budaya adalah salah satu yang bisa kita sampaikan ke UNESCO bahwa kota ini punya bangunan-bangunan bersejarah agar kita dapat bantuan maintenance dari UNESCO,” ungkap Tjutjuk.
Sebagai informasi, rumah bersejarah di Jalan Shodanco Supriyadi itu dibeli Raden Darmadi (ayah Shodanco Supriyadi) sekitar tahun 1933. Rumah ini dibeli Darmadi saat Supriyadi berusia 10 tahun. Pada waktu itu Darmadi adalah pegawai negeri Hindia Belanda yang ditugaskan di wilayah Nganjuk. Supriyadi waktu itu masih kecil. Dia ikut ke mana pun ayahnya ditempatkan dinas. Rumah di Sananwetan ini ditempati ketika keluarga Darmadi pulang ke Blitar.
Di rumah inilah Supriyadi kecil tumbuh dan berkembang sebelum masuk tentara Peta. Supriyadi juga sering menyempatkan waktu pulang ke rumah ini saat jadi tentara Peta karena lokasinya hanya beberapa meter saja dengan markas Peta di Blitar (sekarang Monumen dan Museum Peta).
“Wisma Darmadi merupakan kediaman keluarga tokoh pahlawan Indonesia, yang tak lain adalah Shodanco Supriyadi, kepala pasukan Peta, pemprakarsa perlawanan memperjuangkan hak-hak rakyat dari belenggu kependudukan Jepang di Indonesia, terutama di Blitar,” kata sejarawan Ferry Riyandika.
Meskipun tampak berukuran kecil dari depan, rumah keluarga Supriyadi itu ternyata cukup luas. Bangunan itu memanjang dari bagian depan ke belakang.
Di bagian dalam, terdapat foto-foto kenangan Raden Darmadi dan Ibu Susilih (istri kedua, ibu tiri Supriyadi). Terdapat pula foto-foto Raden Darmadi, Ibu Susilih dan adik-adik Supriyadi.
Di ruang tamu terdapat lukisan Supriyadi berukuran besar dan lukisan pemimpin Perang Jawa Pangeran Diponegoro dengan ukuran cukup besar.
Tidak ada barang mewah di rumah bersejarah ini. Yang ada hanya kursi-kursi model klasik serta perabot rumah tangga peninggalan Darmadi. Seluruh barang-barang itu dirawat oleh Suroto yang telah berusia senja.
Selain perabot, kamar Raden Darmadi juga masih terjaga keasliannya. Keaslian ini memang benar-benar dipertahankan karena keluarga besar Darmadi menyadari rumah ini adalah saksi sejarah perjuangan Raden Darmadi dan Supriyadi melawan penjajah.
Rumah Darmadi juga memiliki halaman yang cukup luas di bagian belakang. Di bagian belakang terdapat sumur kuno, dapur di bagian samping dan sebuah kamar berukuran cukup luas yang ditempati Suroto.
“Untuk mengenang perjuangan Shodanco Supriyadi dan ayahnya, Wisma Darmadi tempat tinggal Raden Darmadi setelah menjabat sebagai bupati Blitar dapat dijadikan museum yang menceritakan kesejarahan beliau. Apalagi di sebelah baratnya tepatnya di Museum Peta merupakan museum yang nantinya dikhususkan kepada perjuangan putranya, yakni Supriyadi,” ungkap Ferry Riyandika.
Supriyadi dan Raden Darmadi adalah ayah-anak yang sama-sama berjuang mengusir penjajah. Shodanco Supriyadi adalah pahlawan pemberontakan PETA yang lahir di Trenggalek pada 13 April 1923. Supriyyadi memimpin pemberontakan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pendudukan Jepang di Blitar pada 14 Februari 1945. Setelah pemberontakan tersebut Supriyadi menghilang dan tidak pernah muncul.
Pasca kemerdekaan, Supriyadi ditunjuk Bung Karno sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet Presidensial. Karena tidak pernah muncul, Supriyadi sebagai menteri kemudian digantikan oleh Jenderal Sudirman pada 12 November 1945. Hingga hari ini, keberadaan Supriyadi masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Namun hanya sedikit saja yang tahu sepak terjang Darmadi dalam perjuangan.
Berbeda dengan putranya yang dianugrahi gelar pahlawan nasional, perjuangan Raden Darmadi hampir tidak pernah dikenal. Jangankan masyarakat awam, pemerintah daerah Blitar baik Kota maupun Kabupaten nampaknya tidak tahu sepak terjang Darmadi dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Awamnya wawasan sejarah itu terbukti, Darmadi tidak masuk dalam daftar penerima penghargaan Achievement Blitar Land of Kings yang diberikan Pemkab Blitar di puncak peringatan Hari Jadi ke-699 Blitar pada 5 Agustus 2023 yang dipusatkan di Pendapa Agung Ronggo Hadi Negoro.
Baca Juga : Alas Mentaok Dibabat Jadi Kota, Rakyat Mataram Hidup Makmur Bersama Ki Ageng Pamanahan
Darmadi dikenal sebagai bupati dengan gaya hidup sederhana. Di balik kesederhanaanya, Darmadi dalam catatan sejarah punya andil untuk terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah putra pertamanya Supriyadi hilang usai pemberontakan PETA, Darmadi adalah orang yang melanjutkan perjuangan itu. Darmadi memimpin perang gerilya di Blitar. Rumah di Sananwetan yang kini sedikit terbengkalai itu jadi saksi perjuangan.
Setelah perang gerilya dan penjajah pergi dari negeri ini, sumbangsih Darmadi untuk pembangunan Blitar pasca kemerdekaan sungguh luar biasa. Tak hanya itu, Darmadi juga adalah bupati pertama Kediri setelah proklamasi kemerdekaan. Ia menutup kariernya yang panjang sebagai Bupati Blitar.
Raden Darmadi mengawali kariernya di pemerintahan sebagai pegawai Hindia Belanda. Sering berpindah tugas dari satu kota ke kota lain di Jawa Timur, puncak karier Raden Darmadi di pemerintahan adalah ketika menjabat Bupati ke-12 Kediri (1945) dan Bupati ke-9 Blitar (1945-1947 dan 1950-1956). Di tengah-tengah kiprahnya sebagai Bupati Blitar di periode kedua (1950-1956), Darmadi juga sempat menjabat sebagai Pj Wali Kota Blitar.
Selain terkenal di kalangan masyarakat Blitar, Darmadi juga cukup dikenal kiprahnya di Kecamatan Gorang-Gareng Kabupaten Magetan. Ya, bagi kalangan sepuh Gorang-Gareng, Darmadi meninggalkan memori tak terlupakan saat menjabat wedana di wilayah tersebut.
Darmadi menjabat Wedana Gorang-Gareng pada 1919, saat masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Tahun-tahun saat Darmadi jadi pejabat, Bupati dan pegawai negeri di Jawa Timur pada masa itu bukan lagi utusan keraton, tapi pegawai Hindia Belanda.
Pada masa itu, Gorang-Gareng masuk dalam wilayah Kabupaten Madiun dan dikenal sebagai sarang para penyamun. Praktek perampokan, penjarahan, dan perbanditan saat itu cukup marak dan mencengkeram keamanan warga. Para rampok mengamuk dengan merampok perkebunan, pribumi hingga warga keturunan Tionghoa.
Madiun adalah daerah di Jawa Timur yang menyimpan jejak sejarah besar. Dan bagi kalangan keraton serta penganut kejawen, Gorang-Gareng merupakan tempat suci. Di daerah di gunung yang disebut Gunung Bancak, terdapat makam Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Maduretno adalah permaisuri Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirdjo III dan putri Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta.
Maduretno dikenal sebagai putri tercantik dari Jogja dan pejuang yang gigih melawan Belanda. Bagi rakyat Madiun Raya, Maduretno hingga kini dipuja dan dianggap sebagai pahlawan. Gunung Bancak berlokasi di Desa Giripurno Kecamatan Gorang-Gareng, saat Darmadi menjadi Wedana, desa itu merupakan wilayah perdikan Keraton Yogyakarta.
Darmadi yang saat itu menjadi wedana di daerah tersebut tampil sebagai pemimpin di garis depan. Bersama-sama dengan masyarakat setempat, Darmadi berhasil melumpuhkan kelompok perampok yang mengacak-acak keamanan daerah Gorang-Gareng. Keberhasilan ini menjadi awal karier cemerlang baginya, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mempromosikannya naik jabatan.
Karier Darmadi semakin meroket saat putranya Raden Supriyadi beranjak dewasa. Saat kolonalisme beralih dari Belanda ke Jepang, Darmadi dimutasi sebagai pegawai pemerintah di Kabupaten Kediri.
Kariernya semakin menanjak, pada pertengahan 1944, Darmadi naik jabatan lagi menjadi patih di Nganjuk. Tak lama menjabat patih di Nganjuk, Darmadi digadang-gadang sebagai calon terkuat Bupati Kediri.
Belum sampai Darmadi dilantik sebagai bupati Kediri, Hindia Belanda yang dikuasai Jepang dikejutkan dengan Pemberontakan PETA di Blitar yang dipimpin Supriyadi. Supriyadi adalah putra pertama Raden Darmadi.
Pemberontakan yang dipimpin Supriyadi ini membuat Darmadi ikut terseret, ia ditangkap pasukan Jepang dan kemudian dijebloskan ke kantor Kompetei di Blitar. Darmadi tidak sendirian, para orang tua pasukan PETA yang ikut dalam pemberontakan juga dijebloskan ke penjara.
Raden Darmadi akhirnya keluar penjara setelah Jepang dikalahkan sekutu. Ia kemudian diangkat menjadi Bupati Blitar pada tanggal 23 Oktober 1945. Raden Darmadi menjabat bupati selama kurang lebih dua tahun hingga tahun 1947. Tidak lamanya jabatan ini karena pada masa itu wilayah Blitar ikut bergejolak dengan meletusnya Agresi Militer Belanda II.
Kedatangan Belanda ini Darmadi tidak tinggal diam, ia memutuskan untuk ikut angkat senjata. Jiwanya membela rakyat kembali muncul, sama seperti ketika ia menjabat wedana di Gorang-Gareng.
“Raden Darmadi patut diapresiasi sebagai tokoh penting dalam Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah Blitar ketika meletus Agresi Militer Belanda. Bahkan ketika Blitar dan daerah Lodoyo dijadikan Ibukota Provinsi Jawa Timur, Raden Darmadi bersama Wakil Gubernur Jawa Timur saat itu, Raden Samadikun tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda," tegas Ferry Riyandika.
Darmadi, orang yang dikenal lincah itu membentuk pasukan yang terdiri dari para Wong Blitar. Keputusan Darmadi pada masa itu tergolong berani. Pada masa itu, banyak pejabat di Kota Blitar yang memihak Belanda. Darmadi bersama Raden Samadikun (sebelumnya juga menjabat Bupati Blitar), berjuang dengan bergerilya di wilayah Blitar selatan.
“Bersama Samadikun inilah, Darmadi membentuk pemerintahan darurat di sekitar Lodoyo, Blitar Selatan. Pembentukan pemerintahan darurat ini untuk menunjukkan pemerintahan daerah Blitar tetap eksis menopang perjuangan kemerdekaan Indonesia , kendati pusat Kota Blitar telah dikuasai Belanda,” jelas pendiri Blitar Heritage, Herry Setyabudi.
Beberapa saat kemudian setelah Konferensi Meja Bundar, pada tanggal 27 Desember 1949, Jawa Timur dikembalikan oleh Belanda kepada Pemerintah RI. Raden Darmadi menjabat kembali menjabat sebagai Bupati Blitar. Bupati Blitar adalah puncak karier Darmadi di pemerintahan. Ia menjabat jabatan bupati sampai pensiun. Setelah pensiun, ia menikmati hari tuanya dengan damai bersama keluarganya di rumah yang saat ini bernama Wisma Darmadi.
Sebagai informasi, berdasarkan catatan silsilah, Raden Darmadi adalah putera dari Raden Prawirokusumo, seorang bangsawan dan pegawai Hindia Belanda keturunan KRT Sosrokoesoemo (Kanjeng Jimat Brebek, bupati pertama Nganjuk). Selama hidupnya, Raden Darmadi menikah dua kali. Pernikahan pertama adalah dengan Roro Rahayu, bangsawan Jawa keturunan Sunan Amangkurat III (Raja ke-6 Mataram Islam). Roro Rahayu meninggal dunia saat Supriyadi masih kecil. Setelahnya, Raden Darmadi menikah lagi dengan seorang bangsawan Jawa bernama Susilih.
Dari pernikahan pertama dengan Roro Rahayu, lahirlah Raden Supriyadi, si bayi kecil yang di kemudian hari tampil sebagai ksatria Nusantara melawan penjajah Jepang dalam pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945. Jika melihat silsilah diatas, Supriyadi jelas adalah pejuang yang masih keturunan Sunan Amangkurat III, raja Mataram Islam yang dikudeta oleh Pangeran Puger (Sunan Pakubuwono I) pada 1703.
Melihat jejak bersejarah Darmadi dan Supriyadi, sudah sepatutnya jika rumah bersejarah Wisma Darmadi di Sananwetan itu segera diselamatkan. Rumah itu akan jadi monumen bersejarah seperti Istana Gebang. Jika Istana Gebang adalah rumah masa kecil Bung Karno, maka Wisma Darmadi adalah rumah masa kecil Supriyadi. Jas Merah, jangan lupakan sejarah Bung!.