JATIMTIMES- Siapa yang tak mengenal Blitar, daerah dengan tanah subur dan kaya dengan jejak masa lalu yang menyimpan kenangan sejarah. Blitar sebagai daerah penting kerajaan-kerajaan Jawa di masa lalu terkenal memiliki banyak situs heritage, salah satunya makam gantung Eyang Djojodigdo di Jalan Melati, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar.
Makam gantung Patih Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo atau Pesanggrahan DJojodigdan di telinga masyarakat Blitar tentu sudah tidak asing lagi. Keberadaan makam tua yang banyak dikaitkan dengan sosok yang memiliki ilmu ajian pancasona yang dikuasainya.
Baca Juga : Masih Anak-anak, Pelaku Penganiayaan yang Menewaskan Siswa MTs di Blitar Ditahan
Ajian itu sering digunakan oleh orang zaman dahulu untuk memperkuat diri dan juga sebagai pertahanan di medan perang. Konon dimilikinya ajian ini membuat Djojodigdo amat disegani. Bahkan Belanda pun takut dan tidak berani macam-macam terhadap sang patih.
Dengan ajian pancasona yang dikuasainya, konon orang tersebut akan bisa hidup kekal abadi meski kepalanya telah dipenggal sekalipun. Seorang dengan ajian ini dikatakan hanya akan mati jika tubuhnya dipisah menyeberangi sungai dan digantung agar tidak menyentuh tanah. Namun jika jasadnya menyentuh tanah, bagian-bagian tubuh tersebut akan kembali bersatu, dan hidup kembali seperti sediakala.
“Dalam sebutan masyarakat Eyang Djojodigdo makamnya digantung, padahal sebenarnya makamnya ndak digantung. Eyang makamnya tetap di tanah. Dulu ceritanya Eyang meninggal sulit dikebumikan hidup kembali,” ungkap juru kunci makam Patih Djojodigdo, Ramiyati (72).
Cerita lisan yang berkembang, pada waktu itu ternyata guru dari Eyang Djojodigdo yaitu Eyang Djoego masih hidup. Akhirnya Eyang Djoego didatangkan untuk menyempurnakan jasad Eyang Djojodigdo.
Eyang Jugo atau Mbah Jugo bernama asli Raden Mas Suryo Diatmojo, putra Kiai Zakaria, ulama besar dari Keraton Yogyakarta. Dalam beberapa sumber Mbah Jugo seringkali disebut dengan nama Kiai Zakaria II. Menurut cerita, Mbah Jugo termasuk salah satu pimpinan pasukan Laskar Diponegoro.
Ia terpaksa menyamar dan bersembunyi untuk menghindari kejaran kompeni. Di Blitar, ia tinggal dan menetap di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben. Di tempat baru inilah ia mendapat nama baru yaitu Mbah Jugo atau Eyang Jugo.
Setelah diruwat oleh Mbah Jugo, Djojodigdo kemudian disempurnakan dan dikebumikan di belakang rumah kediamannya yang luas. Di atas pusaranya, digantung sebuah papan berbentuk limas dengan empat payung semacam mahkota di tiap sudutnya. Di tempat inilah, konon tersimpan ilmu Pancasona, baju kebesaran dan pusaka milik Eyang Djojodigdo.
“Jabatan Eyang dulu kan Patih Blitar, jadi kayak orang keraton dulu. Jadi yang disebut makam gantung itu cuman baju kebesarannya, pusaka dan ilmunya tadi,” jelas Ramiyati.
Ya, Patih Djojodigdo hingga hari ini masih terus diingat oleh warga Blitar. Di samping legenda kesaktiannya karena memiliki ilmu pancasona, kiprah Djojodigdo sebagai patih Kabupaten Blitar memang benar-benar meninggalkan warisan pembangunan yang luar biasa untuk Bumi Penataran.
Bersama dengan Bupati kedua Blitar KPH Warsoekoesoemo, Djojodigdo berhasil meletakkan dasar-dasar pembangunan infrastruktur di Blitar yang bisa disaksikan oleh generasi hari ini. Jembatan, jalan-jalan protokol, dan bangunan-bangunan kolonial banyak dibangun pada era Bupati Warsoekoesoemo-Patih Djojodigdo. Jabatan patih pada waktu itu adalah administratur tertinggi di bawah bupati.
Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo lahir pada 29 Juli 1827 di tengah-tengah meletusnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Diperkirakan Djojodigdo lahir di Kabupaten Kulonprogo.
Ia merupakan putra dari Raden Tumenggung Kartodiwirjo dan cucu Raden Tumenggung Kartoprodjo, Bupati Kulonprogo. Djojodigdo juga adalah menantu dari Raden Mas Ngabehi Pringgodigdo, Bupati Berbek (Nganjuk) yang wafat pada tahun 1866 dan dimakamkan di Setono Gedong Kota Kediri.
Dari beberapa sumber disebutkan, Raden Tumenggung Kartodiwirjo ayah Djojodigdo merupakan simpatisan Pangeran Diponegoro. Saat meletus Perang Jawa , Kartodiwirjo yang saat itu menjabat bupati Kulonprogo memberikan dukungan kepada sang pangeran.
Keputusan ini berdampak terhadap berkahirnya karier pemerintahan Kartodiwirjo sebagai bupati Kulonprogo. Setelah Perang Jawa berakhir dengan tertangkapnya Diponegoro pada 1830, Kartodiwirjo ikut jadi target orang yang diburu Belanda.
Djojodigdo menjadi patih di Kabupaten Blitar mendampingi Bupati KPH Warsokoesoemo yang terlebih dulu menjabat sejak 3 Mei 1869. Djojodigdo dilantik sebagai patih pada 8 September 1877. Ia menjabat patih ketika Blitar sudah tidak lagi menjadi bagian wilayah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sejak 31 Desember 1830, Blitar dan daerah-daerah lain di wilayah Mancanegara Timur (Jawa Timur) resmi masuk dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
Baca Juga : Rafael Alun Akan Ajukan Eksepsi, Ini Aset Lengkap Hasil Pencucian Uangnya
Sebuah sumber mengisahkan, sebelum menjadi patih, Djojodigdo mendengar kabar tentang Kabupaten Blitar yang berada dalam situasi tidak aman. Blitar pada waktu itu marak berkeliaran para begal, kecu dan perampok sakti.
Situasi ini benar-benar tidak terkendali dan tidak satupun pemangku kepentingan di Blitar yang mampu meredam gangguan keamanan tersebut. Melihat situasi yang semakin panas, Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo menawarkan diri kepada Bupati Blitar KPH Warsokoesoemo.
Kepada bupati, Djojodigdo dengan pede menyatakan sanggup melumpuhkan para perampok. Djojodigdo yang memiliki ajian pancasona itu turun tangan dan para perampok pada akhirnya memilih kabur dari Blitar daripada mati ditangan Djojodigdo.
Bupati Warsokoesoemo merasa senang dan bangga atas kesuksesan Djojodigdo mengusir begal dan perampok. Sebagai bentuk apresiasi, Warsokoesoemo mengangkat Djojodigdo sebagai Patih Kadipaten Blitar. Peristiwa pengangkatan itu terjadi pada 8 September 1877.
Duet Bupati Warsokoesoemo dan Patih Djojodigdo diharapkan Belanda menjadi pembawa perubahan bagi Kabupaten Blitar yang hancur lebur. Harapan ini karena pemerintahan bupati Blitar sebelumnya yakni Raden Adipati Ronggo Hadi Negoro sangat penuh dengan konspirasi dan skandal korupsi.
Kabupaten Blitar pada waktu itu masih merupakan kabupaten baru di Hindia Belanda, dan pemerintahannya benar-benar jadi sorotan publik akibat skandal pemerintahan yang korup.
Bawadiman Djojodigdo adalah bangsawan keturunan dari Keraton Mataram. Ia adalah orang yang cerdas, ahli ilmu bela diri dan sepak terjangnya benar-benar memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan Kabupaten Blitar pasca skandal korupsi besar di era pemerintahan Ronggo Hadi Negoro. Duet Warsoekoesoemo-Djojodigjo mampu berjalan harmoni seirama dan bisa bekerja baik dengan pegawai negeri Belanda.
Selain mampu jadi penghubung penguasa kolonial, Djojodigdo juga menjadi motor bagi lahirnya kebijakan-kebijakan dan pengambilan keputusan untuk kemajuan pembangunan Kabupaten Blitar pada waktu itu. Djojodigdo sangat pantas disebut sebagai Bapak Pembangunan Blitar. Stasiun Kereta Api Blitar adalah proyek strategis yang diresmikan pada 16 Juni 1884 saat Djojodigdo menjadi patih.
“Djojodigdo sadar akan keadaan. Belanda tidak mungkin bisa berdiri tanpa orang-orang pribumi oleh sebab kondisi (Jawa dan Blitar) sudah sedemikian kritis (dampak Perang Diponegoro). Pun demikian sebaliknya, orang-orang Jawa , khususnya para penguasa Jawa sudah terlanjur lumpuh dan kehabisan tenaga untuk mempertahankan sikap dendamnya kepada Belanda. Oleh karenanya tidak ada salahnya untuk berkolaborasi dengan sang mantan musuh untuk kepentingan yang lebih besar, yakni membangun puing-puing peradaban yang hampir roboh,” jelas pendiri Blitar Heritage, Herry Setyabudi.
Djojodigdo memiliki empat istri dan 30 orang anak. Kesuksesan Djojodigdo berkarier di pemerintahan juga diikuti oleh anak-anaknya. Djojodigdo tidak pernah menempuh pendidikan formal, namun ia mengirimkan anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan terbaik di tempat-tempat khusus pendidikan yang disediakan pemerintah.
Beberapa putra Djojodigdo yang paling terkenal sebut saja Raden Ngabehi Pringgokosoemo (Jaksa Nganjuk) dan KRMAA Singgih Djojo Adhiningrat (Bupati Rembang). Nama terakhir yakni Singgih Djojo Adhiningrat adalah suami dari pahlawan emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini.
Di masyarakat Blitar hingga saat ini, ketokohan Patih Djojodigdo masih terus diingat dan diceritakan lisan seperti kisah legenda. Di luar kiprahnya sebagai patih, orang-orang lebih banyak menceritakan Patih Djojodigdo secara fantasi sebagai orang yang sakti dan memiliki ajian pancasona.
Makamnya yang berada di Jalan Melati Kota Blitar banyak diziarahi orang dan tersohor dengan sebutan makam gantung. Hal demikian tentu sah-sah saja karena orang Jawa sejak dulu kala dikenal menyukai cerita-cerita yang berbau mistik.
Djojodigjo juga sering dikait-kaitkan dengan Rampogan Macan. Tradisi kuno ala gladiator Jawa yang hidup di Blitar pada akhir abad 18 hingga awal abad 19. Tradisi ini memainkan pertarungan antara manusia dengan harimau Jawa di Alun-alun Blitar.