free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Gusti Puger : Persahabatan Ki Ageng Henis dan Ki Ageng Beluk Bukti Islam Disebarkan Secara Damai

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

26 - Aug - 2023, 00:34

Placeholder
Budayawan Keraton Kasunanan Suakarta KGPH Puger

JATIMTIMES - Kota Surakarta atau Kota Solo adalah kota multikultural yang paling nyaman ditinggali manusia di Indonesia. Sejarah mencatat multikulturalisme di Surakarta sudah ada sejak zaman kuno. Kota Surakarta yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo, sudah menjadi tempat tinggal warga dari berbagai agama sejak lama. Hal itu dapat dibuktikan dengan berdirinya masjid, gereja Katolik, gereja Kristen, wihara pura dan klenteng.

Salah satu bukti otentik multikuluralisme dan tingginya toleransi di Kota Surakarta adalah Masjid Laweyan. Masjid yang terletak di Kelurahan Pajang, Kecamatan Kartasura ini adalah masjid tertua di Kota Solo. Catatan sejarah menyebutkan masjid ini dibangun pada zaman Kasultanan Pajang tepatnya tahun 1546 di masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir. Nama Laweyan yang kita kenal sekarang diambil dari daerah tempat masjid ini berdiri.

Baca Juga : Mitos Safar adalah Bulan Sial, Benarkah?

Masjid Laweyan berusia lebih sepuh dari Masjid Agung Surakarta yang berada di kawasan Alun-alun Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejarah berdirinya Masjid Laweyan ini bermula dari persahabatan Ki Ageng Henis dan Ki Ageng Beluk. Ki Ageng Beluk adalah pemuka agama Hindu yang pada zaman Kasultanan Pajang membangun sebuah pura di pinggir Kabanaran, sungai yang digunakan sebagai lalu lintas perdagangan batik. 

Sedangkan Ki Ageng Henis adalah putera dari Ki Ageng Selo. Dari jalur silsilah, Ki Ageng Henis adalah ayah dari Ki Ageng Pamanahan dan kakek dari Raja Pertama Kasultanan Mataram Danan Sutawijaya yang naik tahta bergelar Panembahan Senopati.

“Jika melihat silsilahnya Ki Ageng Henis ini adalah putera dari Ki Ageng Selo. Nah, ini Ki Ageng Beluk tiba berdomisili lebih dulu dibanding Ki Ageng Henis di wilayah yang saat ini disebut Laweyan. Tapi orang bilang dulu di daerah ini namanya Belukan, Masjid Ki Ageng Henis, lalu Laweyan, jadi banyak nama di sini, tapi yang terkenal akhirnya adalah Ki Ageng Henis,” jelas putra Sunan Pakubuwono XII dan Budayawan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningtat, KGPH Puger kepada pewarta JATIMTIMES.

Catatan sejarah secara umum menyatakan, sebagai pemuka agama Ki Ageng Beluk memiliki banyak murid. Ia menjalin persahabatan dengan Ki Ageng Henis, salah satu penasehat Raja Pajang Sultan Hadiwijaya. Ki Ageng Beluk dan Ki Ageng Henis sering berdiskusi seputar Islam hingga akhirnya Ki Ageng Beluk tertarik untuk memeluk Islam.

Usai memeluk Islam Ki Ageng Beluk pun kemudian mewakafkan Pura tempat peribadatan umat Hindu tersebut untuk menjadi masjid. Konstruksinya yang menyerupai Pura menjadi daya tarik masjid ini. Arsitekturnya unik, ditambah dua belas pilar utama dari kayu jati kuno masih kokoh berdiri.

Berbeda dengan catatan sejarah secara umum, Putera Sri Susuhunan Pakubuwono XII sekaligus Budayawan Keraton Kasunanan Surakarta KGPH Puger saat diwawancarai JATIMTIMES menyampaikan, benar Ki Ageng Beluk tiba lebih dulu di Laweyan dibanding Ki Ageng Henis. Namun demikian Ki Ageng Beluk tidak meninggalkan keyakinan Hindunya dengan sangat menghormati Ki Ageng Henis. Kedatangan Ki Ageng Henis di Laweyan dalam misi menyebarkan islam di wilayah timur Demak pada waktu itu disambut baik dan dihormati oleh Ki Ageng Beluk yang berbeda agama.

“Ki Ageng Henis kesini sudah ada Ki Ageng Beluk. Tapi Islam yang sudah diizinkan disebarkan di akhir Majapahit dan kemudian disebarkan oleh putera Brawijaya V yakni Sultan Patah dari Demak Bintoro. Nah, Ki Ageng Henis ini adalah ulama yang menyebarkan Islam di wilayah timur termasuk wilayah sini (Solo),” ungkap Gusti Puger.

Gusti Puger menambahkan, sikap hormat Ki Ageng Beluk ini merupakan bukti jika Islam disebarkan secara damai di tanah Jawa khususnya di Kota Surakarta yang pada waktu itu berada dibawah kekuasaan Kesultanan Pajang. Sikap damai itu juga ditegaskan oleh Raja Majapahit di akhir pemerintahanya yang menyatakan Islam boleh disebarkan kepada masyarakat Jawa secara luas.

“Nama-nama Ki Ageng itu pasti masih trah dari Majapahit. Dan Ki Ageng Beluk waktu itu Hindunya masih kuat banget. Beliau akhirnya sadar tetapi tetap menjalankan (keyakinan Hindu) sampai sedo (meninggal dunia). Maka disini Ki Ageng Beluk tidak masuk di kawasanya Ki Ageng Henis, Lakum Dinukum Waliyadin (bagiku agamaku dan bagimu agamamu),  Aku ya aku kamu ya kamu. Inilah bukti jika Hindu dan Islam di Jawa tidak ada peperangan sebenarnya. Tidak ada kekerasan dalam syiar Islam. Hidup antar beragama berjalan damai,” tandas Gusti Puger.

Sebagai bentuk dukungan kepada Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk kemudian memberikan tanah dan kuilnya kepada Ki  Ageng Henis. Bekas kuil ini kemudian oleh Ki Ageng Henis dirubah menjadi masjid. Tak berapa lama kemudian masjid yang dibangun Ki Ageng Henis tumbuh menjadi sebuah pesantren dengan pengikut cukup banyak. Masjid Laweyan berdiri di atas lahan seluas 162 meter persegi dengan kondisi yang terawat. Hingga saat ini Masjid Laweyan masih digunakan sesuai fungsi masjid pada umumnya. 

Waktu terus berjalan, kehidupan pesantren di masjid Laweyan memunculkan kebiasaan unik. Yakni menanak nasi tiada berhenti untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren. Keunikan ini akhirnya membuat wilayah tersebut tersohor dengan sebutan kampung belukan(asap).

Baca Juga : Tak Dilekati Pita Cukai, Kejari Kabupaten Malang Musnahkan Barang Bukti 29.199 Bungkus Rokok

 “Bekas kuilnya Ki Ageng Beluk ini oleh kemudian dirubah menjadi masjid oleh Ki Ageng Henis. Masjid ini direnovasi oleh Pakubuwono X. Konon ceritanya Pakubuwono X ini memang semua masjid-masjid peninggalan leluhurnya direnovasi termasuk Masjid Laweyan. Bukti renovasi di Masjid Laweyan ini ada tandatanganya PB X,” imbuh bangsawan yang dikenal sederhana dan merakyat.

Karena dulunya merupakan pura, arsitektur masjid pun dipengaruhi budaya Hindu yang cukup kental. Hal ini juga dilihat dari bangunannya yang memiliki pondasi cukup tinggi dari permukaan tanah yakni sekitar dua meter.

Keunikan lain dari Masjid Laweyan adalah memiliki beberapa pintu masuk sebelum sampai di bangunan utama. Termasuk anak tangga di bagian depan untuk naik ke atas kompleks masjid yang cukup tinggi dari badan jalan. Kemudian ada lorong yang harus dilewati untuk sampai pada pintu utama masjid. 

Ternyata tiga lorong pintu tersebut mengandung makna filosofi yang mendalam. Yaitu tiga tahapan keimanan seseorang iman, Islam, dan ihsan. Selain itu jumlah pintu yang ada di masjid ini juga mencerminkan lima rukun Islam.

Hingga kini Masjid Laweyan peninggalan Ki Ageng Henis masih dipergunakan sebagai tempat beribadah, berkumpul dan musyawarah warga. Termasuk untuk penyelenggaraan majelis ilmu/pengajian serta taman pendidikan alquran atau TPA anak-anak di wilayah Laweyan sekitaran masjid.

Tepat di sebelah barat Masjid Laweyan, terdapat makam Ki Ageng Henis dan keluarganya. Di pemakaman ini dimakamkan pula kerabat dan keluarga Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pemakaman ini jelasnya bukan pemakaman biasa dan sangat keramat. Di tempat ini ada petilasan sholat Sunan Kalijaga dan petilasan makam Raja Solo Sri Susuhunan Pakubuwono II.

Keberadaan petilasan sholat Sunan Kalijaga ini tidaklah mengherankan. Cerita tutur turun temurun mengisahkan Sunan Kalijaga adalah sahabat dari Ki Ageng Henis. Sunan Kalijaga pula yang menyampaikan akan turun wahyu Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan (putera Ki Ageng Henis) dan Ki Ageng Giring. Selanjutnya setelah memenangka sayembara membunuh Arya Penangsang, Ki Ageng Pamanahan dan puteranya Danang Sutawijaya membuka alas Mentaok pemberian Sultan Hadiwijaya. Mentaok dikemudian selanjutnya menjadi kerajaan besar Kasultanan Mataram.

Makam Ki Ageng Henis ini menjadi ikon wisata Kota Bengawan dan banyak dikunjungi umat Islam, pecinta sejarah dan pelaku spiritual. Pasarean Ki Ageng Henis Laweyan berada dibawah pengelolaan Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dan tentunya, Masjid yang berada di kawasan ini jadi bukti tingginya sikap toleransi antar umat beragama. Masjid Laweyan adalah monumen multikultural.

 


Topik

Serba Serbi Kota solo KGPH Puger Ki Ageng Henis



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya