free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Pangeran Blitar, Pemberontak Mataram yang Jadi  Inspirator Perjuangan Pangeran Sambernyawa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

10 - Aug - 2023, 23:59

Placeholder
Monumen Mangadeg di kawasan Astana Mangadeg Makam Pangeran Sambernyawa di Matesih, Kabupaten Karanganyar. Monumen ini dibangun Presiden Soeharto pada tahun 1971 untuk mengenang perjuangan Pangeran Sambernyawa melawan Belanda.(Foto : Instagram @infosoloraya)

JATIMTIMES - Selain campur tangan Belanda, kejayaan Kesultanan Mataram di era pemerintahan Sultan Agung perlahan-lahan memudar dengan pemberontakan-pemberontakan dari internal keraton. Pemberontakan itu mengakibatkan terjadinya perang saudara, di antaranya pemberontakan yang dipimpin Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar. Pemberontakan ini dikenal dengan Perang Suksesi Jawa II (1719-1723).

Dalam perang ini, dua pangeran Mataram, Purbaya dan Blitar memberontak terhadap saudara laki-laki mereka, yakni Sunan Amangkurat IV. Ketiga tokoh ini merupakan putra dari Sunan Pakubuwono I dan Ratu Pakubuwono (Ratu Mas Blitar dari Madiun). Terkhusus Pangeran Blitar, ia merupakan putra kesayangan sang ratu. Bahkan, ibu dan anak bergelar Blitar ini dimakamkan berdampingan di pemakaman milik Dinasti Mataram di Nusukan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca Juga : Terealisasi, Kementerian PUPR Tingkatkan Kelas Jalan Menuju Pabrik Gula RMI Blitar

Perang Suksesi Jawa Kedua memang kalah terkenal dengan Perang Suksesi Jawa Ketiga yang dipimpin Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. Perang Suksesi Jawa Kedua  hanya berlangsung empat tahun saja dengan tujuan utama melengserkan Amangkurat IV.Tapi jika dicermati, perang suksesi kedua merupakan embrio meletupnya perang suksesi berikutnya yang berlangsung lebih dahsyat. Tokoh lain yang ikut serta begabung dengan kalangan pemberontak adalah Pangeran Arya Mangkunegara, putra dari Sunan Amangkurat IV. Pangeran ini kelak menurunkan putra bernama Raden Mas Said, tokoh pemberontak dan pejuang tanah Jawa yang dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa.

Tokoh yang paling sering dibicarakan dari Perang Suksesi Jawa Kedua ini jelas adalah Pangeran Blitar. Beberapa kalangan memiliki keyakinan ia pernah menjadi adipati di Blitar, Jawa Timur. Namun demikian, keyakinan tersebut belum bisa dibuktikan karena belum ditemukan catatan dan bukti-bukti yang mendukung. Pangeran Blitar si pemberontak ini adalah putra kesayangan Ratu Mas Blitar adalah keturunan Panembahan Juminah, bekas bupati Madiun yang menurunkan jalur keturunan dengan  gelar Blitar. Gelar ini menurun kepada putranya Pangeran Blitar sang pemimpin Perang Suksesi Jawa II.

Ratu Mas Blitar adalah bangsawan yang memiliki garis keturunan Retno Dumilah dari Madiun. Balitar dan kemudian Blitar, adalah gelar kebangsawanan yang diberikan raja pertama Mataram Panembahan Senopati kepada keturunan Retno Dumilah, permaisuri Senopati yang berasal dari Madiun. Setelah mengangkat dirinya menjadi Raja pertama Kesultanan Mataram dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, Panembahan Senopati juga memberikan gelar-gelar kebangsawanan dan kenaikan pangkat untuk anggota keluarga, saudara, putra-putranya dan patihnya. Beberapa pengangkatan itu diantaranya memakai gelar Pangeran Singasari, Pangeran Puger dan Pangeran Juminah. Keturunan Pangeran Juminah itulah yang kemudian bergelar Blitar, termasuk Pangeran Blitar yang memberontak terhadap Amangkurat IV.

Perang Suksesi Jawa II berhasil diredam VOC dan berakhir pada 1723. Pangeran Blitar meninggal dunia di Malang karena sakit pada 1721. Sebagian besar pemberontak ditahan dan diasingkan ke Srilanka. Sedangkan Pangeran Purbaya nasibnya berakhir tragis, ia ditahan di Batavia hingga ajal menjemputnya di penghujung tahun 1726.

Pangeran Arya Mangkunegara bernasib lebih baik. Ia diampuni oleh ayahnya Amangkurat IV  dan diizinkan kembali ke Kartasura pada pertengahan tahun 1723. Kembalinya Arya Mangkunegara disambut secara besar-besaran di  Kartasura. Namun sayang, Amangkurat IV lebih putranya yang lain Raden Mas Prabasuyasa yang berusia lebih muda menjadi penerus tahta dengan gelar Pakubuwono II.

Kembali ke istana tidak menjadikan kehidupan Arya Mangkunegara lebih baik. Saat Raden Mas Said berusia 2 tahun, istrinya Raden Ayu Wulan meninggal dunia. Kehidupan Arya Mangkunegara semakin miris setelah ia dicurigai akan kembali melakukan pemberontakan. Ia kemudian dibuang ke Srilanka dan meninggal dunia di daerah pengasingan itu. Memang pada waktu itu, Pangeran Arya Mangkunegara dikenal sebagai pangeran paling berpengaruh di Kartasura. Ia dikenal sebagai pangeran paling cerdas dan paling berkharisma. Banyak kalangan internal keraton lebih setuju jika Mangkunegara lah yang jadi Pakubuwono II.

Nasib Raden Mas Said semakin miris setelah ayahnya dibuang ke Srilanka. Pada umur remaja, Raden Mas Said resah karena karena sikap Pakubuwono II yang menempatkannya sebagai Gandhek Anom (Bangsawan Rendahan) di Mataram. Padahal seharusnya ia mendapat kedudukan sebagai Pangeran Sentana. Dengan penuh dendam, Mas Said kemudian memutuskan keluar dari istana dan melakukan pemberontakan di berbagai daerah Mataram bersama para bangsawan yang merasa kecewa dengan pemerintahan Pakubuwono II seperti Sutawijaya dan Suradiwangsa. Mas Said ketika usia belasan tahun, juga ikut serta dalam pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin Raden Mas Garendi, cucu Sunan Amangkurat III.

Keadaan sulit sejak kecil membuat Raden Mas Said tumbuh sebagai pribadi yang kuat dan keras. Tak salah memang jika ia akhirnya menjadi pemberontak karena keluarganya memang dari lingkungan ini. Mas Said adalah putra dari Pangeran Arya Mangkunegara dengan istri tingkat dua (garwa pangrembe). Ia lahir pada sekitaran 7 April 1726. Mas Said adalah cucu Raja Amangkurat IV dari garis keturunan ayahnya.

Baca Juga : Depresi Ditinggal Suami, Perempuan di Blitar Berdiri di Atas Rel dan Tewas Tertabrak KA

Ibu Raden Mas Said adalah Raden Ayu Wulan, putri Pangeran Blitar. Pangeran Blitar adalah putra Sunan Pakubuwono I yang memimpin Perang Suksesi Jawa Kedua bersama Pangeran Purbaya terhadap pemerintahan Raja Amangkurat IV.  Jiwa pemberontak dari Pangeran Blitar inilah yang mungkin menginspirasi Mas Said untuk memilih hidup sebagai pemberontak. Ia mantap memilih jalur perang gerilya, ketimbang diinjak-injak kehormatannya sebagai jongos oleh Pakubuwono II. Mas Said memilih jalan hidup mengikuti jalan hidup kakeknya, memberontak dengan akhir menang atau mati.

Nama Raden Mas Said benar-benar dikenang dalam sejarah setelah ia bergabung dengan Pangeran Mangkubumi. Koalisi dua bangsawan Mataram ini benar-benar membuat pasukan gabungan Keraton Surakarta dan Belanda keteteran. Selama 16 tahun, Raden Mas Said terlibat dalam 250 pertempuran melawan pasukan gabungan Keraton Surakarta dan Belanda. Ia sangat mahir strategi perang dan sulit dikalahkan meskipun tubuhnya pendek. Ia kemudian lebih sering dipanggil Pangeran Sambernyawa,  julukan yang diberikan Belanda karena ia dianggap sebagai penebar maut (Penyambar Nyawa) bagi siapa saja musuhnya pada setiap pertempuran.

Perang panjang antara Mangkubumi-Raden Mas Said dengan Surakarta-Belanda ini berakhir dengan Perjanjian Giyanti 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mangkubumi mendapat wilayah Yogyakarta dan menjadi penguasa pertama dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.

Perjanjian Giyanti tidak menyelesaikan masalah karena Sambernyawa tidak puas dengan pembagian wilayah.  Ia pun memilih untuk tetap berperang dengan lawannya kini ada tiga yakni Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta dan Belanda. Sambernyawa resmi mengakhiri pertempurannya dalam Perjanjian Salatiga pada 1757. Perjanjian terebut berisi VOC dan Pakubuwono III dan mengangkat Sambernyawa senagai Adipati Mangkunegaran dan memberinya status pangeran merdeka dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I.

Adapun wilayah kekuasaan Kadipaten Mangkunegaran adalah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Saat ini Kadipaten Mangkunegaran masih ada, tapi sudah tidak lagi memiliki kekuasaan atas rakyatnya. Tugas dan fungsi dari Kadipaten Mangkunegaran saat ini adalah merawat dan menjaga kebudayaan Jawa.


Topik

Serba Serbi pangeran purbaya pangeran blitar perang suksesi jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya