JATIMTIMES - Tahun ini tepatnya 5 Agustus 2023, Blitar Raya genap berusia 699 tahun. Sepanjang perjalanannya, Blitar banyak melahirkan tokoh-tokoh besar, khususnya di masa perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satu tokoh pejuang itu adalah Raden Darmadi.
Raden Darmadi, namanya memang tak setenar dari puteranya pahlawan pemberontakan PETA Shodanco Supriyadi. Namun di balik kesederhanaanya, Darmadi dalam catatan sejarah punya andil untuk terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia.
Baca Juga : Rumail Abas Kritik Hasil Bahtsul Masail Ponpes di Cirebon yang Sebut Sunan Gunung Jati Bukan Ba'alawy
Setelah penjajah pergi dari negeri ini, sumbangsih Darmadi untuk pembangunan Blitar pasca kemerdekaan sungguh luar biasa. Tak hanya itu, Darmadi juga adalah bupati pertama Kediri setelah proklamasi kemerdekaan. Ia menutup kariernya yang panjang sebagai Bupati Blitar.
Raden Darmadi mengawali kariernya di pemerintahan sebagai pegawai Hindia Belanda. Sering berpindah tugas dari satu kota ke kota lain di Jawa Timur, puncak karier Raden Darmadi di pemerintahan adalah ketika menjabat Bupati ke-12 Kediri (1945) dan Bupati ke-9 Blitar (1945-1947 dan 1950-1956).
Selain terkenal di kalangan masyarakat Blitar, Darmadi juga cukup dikenal kiprahnya di Kecamatan Gorang-Gareng Kabupaten Magetan. Ya, bagi kalangan sepuh Gorang-Gareng, Darmadi meninggalkan memori tak terlupakan saat menjabat wedana di wilayah tersebut.
Darmadi menjabat Wedana Gorang-Gareng pada 1919, saat masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Tahun-tahun saat Darmadi jadi pejabat, Bupati dan pegawai negeri di Jawa Timur pada masa itu bukan lagi utusan keraton, tapi pegawai Hindia Belanda.
Dilansir dari buku Wong Blitar karya Herry Setyabudi, pada masa itu, Gorang-Gareng masuk dalam wilayah Kabupaten Madiun dan dikenal sebagai sarang para penyamun. Praktek perampokan, penjarahan, dan perbanditan saat itu cukup marak dan mencengkeram keamanan warga. Para rampok mengamuk dengan merampok perkebunan, pribumi hingga warga keturunan Tionghoa.
Madiun adalah daerah di Jawa Timur yang menyimpan jejak sejarah besar. Dan bagi kalangan keraton serta penganut kejawen, Gorang-Gareng merupakan tempat suci. Di daerah di gunung yang disebut Gunung Bancak, terdapat makam Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Maduretno adalah permaisuri Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirdjo III dan putri Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta.
Maduretno dikenal sebagai putri tercantik dari Jogja dan pejuang yang gigih melawan Belanda. Bagi rakyat Madiun Raya, Maduretno hingga kini dipuja dan dianggap sebagai pahlawan. Gunung Bancak berlokasi di Desa Giripurno Kecamatan Gorang-Gareng, saat Darmadi menjadi Wedana, desa itu merupakan wilayah perdikan Keraton Yogyakarta.
Darmadi yang saat itu menjadi wedana di daerah tersebut tampil sebagai pemimpin di garis depan. Bersama-sama dengan masyarakat setempat, Darmadi berhasil melumpuhkan kelompok perampok yang mengacak-acak keamanan daerah Gorang-Gareng. Keberhasilan ini menjadi awal karier cemerlang baginya, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mempromosikannya naik jabatan.
Karier Darmadi semakin meroket saat putranya Raden Supriyadi beranjak dewasa. Saat kolonalisme beralih dari Belanda ke Jepang, Darmadi dimutasi sebagai pegawai pemerintah di Kabupaten Kediri. Kariernya semakin menanjak, pada pertengahan 1944, Darmadi naik jabatan lagi menjadi patih di Nganjuk. Tak lama menjabat patih di Nganjuk, Darmadi digadang-gadang sebagai calon terkuat Bupati Kediri.
Baca Juga : Tinjau Pangkalan Stok Gas Melon Aman, Wakil Rakyat Pertanyakan Letak Kelangkaan
Belum sampai Darmadi dilantik sebagai bupati Kediri, Nusantara yang dikuasai Jepang dikejutkan dengan Pemberontakan PETA di Blitar yang dipimpin Supriyadi. Supriyadi adalah putra pertama Raden Darmadi. Pemberontakan ini membuat Darmadi ikut terseret, ia ditangkap pasukan Jepang dan kemudian dijebloskan ke kantor Kompetei di Blitar. Darmadi tidak sendirian, para orang tua pasukan PETA yang ikut dalam pemberontakan juga dijebloskan ke penjara.
Raden Darmadi akhirnya keluar penjara setelah Jepang dikalahkan sekutu. Ia kemudian diangkat menjadi Bupati Blitar pada tanggal 23 Oktober 1945. Raden Darmadi menjabat bupati selama kurang lebih dua tahun hingga tahun 1947. Tidak lamanya jabatan ini karena pada masa itu wilayah Blitar ikut bergejolak dengan meletusnya Agresi Militer Belanda II. Kedatangan Belanda ini Darmadi tidak tinggal diam, ia memutuskan untuk ikut angkat senjata. Jiwanya membela rakyat kembali muncul, sama seperti ketika ia menjabat wedana di Gorang-Gareng.
Darmadi, orang yang dikenal lincah itu membentuk pasukan yang terdiri dari para Wong Blitar. Keputusan Darmadi pada masa itu tergolong berani. Pada masa itu, banyak pejabat di Kota Blitar yang memihak Belanda. Darmadi bersama Raden Samadikun (sebelumnya juga menjabat Bupati Blitar), berjuang dengan bergerilya di wilayah Blitar selatan.
“Bersama Samadikun inilah, Darmadi membentuk pemerintahan darurat di sekitar Lodoyo, Blitar Selatan. Pembentukan pemerintahan darurat ini untuk menunjukkan pemerintahan daerah Blitar tetap eksis menopang perjuangan kemerdekaan Indonesia , kendati pusat Kota Blitar telah dikuasai Belanda,” jelas Herry Setyabudi dalam buku Wong Blitar.
Sebagai informasi, berdasarkan catatan silsilah, Raden Darmadi adalah putera dari Raden Prawirokusumo, seorang bangsawan dan pegawai Hindia Belanda keturunan KRT Sosrokoesoemo (Kanjeng Jimat Brebek, bupati pertama Nganjuk). Selama hidupnya, Raden Darmadi menikah dua kali. Pernikahan pertama adalah dengan Roro Rahayu, bangsawan Jawa keturunan Kasultanan Mataram. Roro Rahayu meninggal dunia saat Supriyadi masih kecil. Setelahnya, Raden Darmadi menikah lagi dengan seorang bangsawan Jawa bernama Susilih.
Dari pernikahan pertama dengan Roro Rahayu, lahirlah Raden Supriyadi, si bayi kecil yang di kemudian hari tampil sebagai ksatria Nusantara melawan penjajah Jepang dalam pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945.