free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Telusur Perang Suksesi Jawa III

Ngamuk di Perang Giyanti, Pangeran Sambernyawa Hancurkan Situs Suci Makam Ki Ageng Selo

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13 - Jun - 2023, 21:21

Placeholder
Makam Ki Ageng Selo, situs bersejarah yang pernah dihancuran pasukan Pangeran Sambernyawa. (Foto : Instagram @royaryawijaya)

JATIMTIMES- Pangeran Sambernyawa tampil sebagai tokoh utama Perang Suksesi Jawa III bersama Pangeran Mangkubumi. Kedua tokoh besar Dinasti Mataram ini benar-benar tangguh tak terkalahkan dalam perang besar ini dengan dukungan Kiai Wirosentiko dari Sukowati yang ahli seni perang. Kompeni Belanda bersama sekutunya Kasunanan Surakarta dibuat repot yang mengakibatkan kekacauan di Jawa.

Sayangnya, koalisi Mangkubumi dan Sambernyawa yang kuat ini harus berakhir di masa-masa akhir Perang Suksesi Jawa III. Ketidakcocokan antara Mangkubumi yang lebih senior dengan keponakan sekaligus menantunya Sambernyawa memaksa keduanya untuk memecah kongsi. Sambernyawa memilih berjuang sendiri, dan pada akhirnya harus berhadapan dengan pangeran senior paling dihormati di Mataram yakni Mangkubumi.

Baca Juga : Mewahnya Rumah Kampung Pengemis di Sumenep, Mirip Istana di Sinetron

Di akhir-akhir tahun peperangan dan persiapan Perjanjian Giyanti antara Pakubuwono III dengan Mangkubumi, Sambernyawa terus melakukan serangkaian serangan mematikan ke wilayah kekuasaan Surakarta dan wilayah yang dikuasai pemberontak dibawah pimpinan Mangkubumi. Serangan bukan hanya di wilayah kota dan pemukiman, namun juga menyasar tempat-tempat bersejarah. 

Dalam salah satu serangan yang kontroversial di tahun 1754, pasukan Sambernyawa yang kesetanan menodai salah satu situ suci dinasti Mataram yakni Makam Ki Ageng Selo yang terletak di timur Purwodadi, Kabupaten Grobogan.

Dalam catatannya, Sambernyawa menyatakan penodaan di Selo menyiratkan rasa bersalah bagi dirinya. Dalam serangan ini, pasukannya menjarah desa-desa walaupun sudah diperintahkan untuk berhenti. Ketika tiba di Selo, distrik orang-orang saleh (Pakauman) dan masjidnya dijarah. Yang lebih membuat kalangan bangsawan marah, pasukan Sambernyawa juga merusak makam Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Selo dianggap sebagai tokoh suci dan terhormat di kalangan Dinasti Mataram Islam. Ki Ageng Selo adalah keturunan langsung dari Raja Majapahit terakhir Brawijaya V. Ki Ageng Selo juga adalah kakek dari Ki Ageng Pamanahan, tokoh yang pertama kali membabat alas mentaok bersama putranya Danang Sutawijaya yang kelak mendirikan Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan Senopati (berkuasa sekitar 1584-1601). 

Dalam perkembangannya, Mataram menjadi kerajaan yang besar di era pemerintahan Sultan Agung dan selanjutnya turun temurun menurunkan raja yang menguasai tanah Jawa hingga, kala Perang Suksesi Jawa III meletus Mataram dipimpin Raja Pakubuwono III dengan keratonnya berpusat di Surakarta.

Ki Ageng Selo memiliki nama asli Bagus Songgom. Ia adalah bangsawan keturunan Majapahit yang hidup sebagai petani biasa yang suka mencari ilmu. Ilmu apa saja dipelajari untuk pegangan hidup. 

Awalnya masyarakat sekitar juga melihatnya sebagai orang biasa. Sampai suatu terjadi sebuah peristiwa di mana, Ki Ageng Selo yang juga dijuluki Ki Ageng Ngabdurrahman itu bisa menangkap petir. Peristiwa menangkap petir itu jadi awal ‘sumorote’ (tampak kesaktiannya) Ki Ageng Selo. Peristiwa itu terjadi saat Pati Unus meninggal, yakni sekitar tahun 1521 masehi. Ketika itu, Ki Ageng Selo masih berusia sekitar 20-an tahun.

Perusakan makam Ki Ageng Selo oleh pasukannya membuat Sambernyawa berang, tetapi juga merasa terganggu. Sambernyawa berpikir bahwa ini sama artinya dengan membuat tuhan murka dan membawa kemalangan di masa depan kala perang masih berlanjut. Dia kemudian memerintahkan agar apa pun yang dicuri dari Selo dikembalikan kepada pemiliknya. Sambernyawa juga memerintahkan agar makam Ki Ageng Selo, yang juga leluhurnya itu dibangun kembali, sebagaimana diminta oleh komuntas keagamaan (pethakan).

Pengrusakan makam Ki Ageng Selo mendapat kecaman dari Pangeran Mangkubumi, saudara koalisi yang di periode ini telah pecah kongsi dan menjadi lawan abadi Sambernyawa. Babad Giyanti mengabarkan, Mangkubumi yang tak lama lagi akan menjadi Sultan Yogyakarta mencela penodaan Sambernyawa dan pasukannya atas situs makam  Ki Ageng Selo. Patih Natakusuma di pihak Mangkubumi berkata “Tak seorangpun yang tahu dengan Kulhu dan tak seorangpun yang sadar dengan ‘istana ‘ Sela, yang melahirkan semua garis keturunan raja.

Sejarawan M.C Ricklefs dalam buku Samber Nyawa menjabarkan, Istilah Kulhu mengacu pada Surah 112 dalam Al-Quran, al-Ikhlash (Memurnikan Keesaan Allah), yang merupakan sebuah penegasan singkat tentang keesaan dan kesatuan tuhan.

“Dengan kata lain, surah ini menyampaikan dotrin yang fundamental. Dengan mengatakan bahwa orang-orang Mangkunegara (Sambernyawa)  tidak tahu dengan ini maupun dengan arti penting makam Ki Ageng Sela,” tegas M.C Ricklefs.

Baca Juga : Ziarah ke Makam Pendiri NU Kiai Hasyim Asy'ari, Habib Jindan: Kami Mengenang Hubungan yang Terjalin

Masih dari Babad Giyanti, Patih Natakusuma menggambarkan pasukan  Sambernyawa sebagai orang barbar yang tidak sadar dengan keyakinan Islam dan tradisi Jawa mereka sendiri. Pangeran Mangkubumi yang geram dengan perbuatan Sambernyawa naik darah, dia ingin menyerang keponakan yang juga menantunya itu namun dicegah oleh Natakusuma.

Kepada Mangkubumi yang benar-benar marah, Natakusuma menyampaikan nasihat yang sangat bijak. Pertama, berperang di makam leluhur sama saja artinya dengan tidak menunjukkan rasa hormat ataupun penghargaan kepada sang leluhur. Kedua, Mangkubumi yang bersiap menjadi Sultan Yogyakarta kini disertai oleh pasukan VOC yang memeluk agama berbeda, yang menurut Natakusuma kehadirannya akan mencemari situs suci itu dan merusak kekuatan bermanfaat yang ada disana.

Sebagai informasi, peperangan Suksesi Jawa III dimulai pada 11 Desember 1749 hingga 13 Februari 1755. Dalam perang tersebut, rakyat Mataram memberikan dukungan penuh kepada Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang berjuang melawan kolonialisme Belanda dan sekutunya Keraton Kasunanan Surakarta.

Selain rakyat Mataram, kelompok pejuang dibawah pimpinan Mangkubumi juga mendapat dukungan dari rakyat Jawa Timur salah satunya dari Madiun. Dalam perang ini, salah satu tokoh kunci lainnya adalah Kiai Wirosentiko (setelah 1755 bernama Raden Ronggo Prawirosentiko, setelah 1758 bernama Raden Ronggo Prawirodirdjo I dan menjabat Bupati Wedana Madiun).

Puncak dari perang yang melelahkan ini adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini sepakat memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta yang dipimpin Pakubuwono III dan kerajaan baru Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I.

Semangat perjuangan Pangeran Sambernyawa tidak kendor. Dia kemudian seorang diri memimpin perang  melawan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi (Hamengkuwono I) adalah mertua sekaligus paman dari Pangeran Sambernyawa. Dalam perang ini Pangeran Sambernyawa memandang Pangeran Mangkubumi berkhianat dan dirajakan oleh VOC. Selama kurun waktu 16 tahun, Laskar Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.

Perdamaian yang diharapkan oleh VOC akhirnya terwujud.Perdamaian tersebut diformalkan Sunan Pakubuwono III dengan Pangeran Sambernyawa dalam perjanjian Salatiga Pada 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Kabupaten Wonogiri.Perjanjian tersebut hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC.

Perjanjian Salatiga menyepakati Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I ini kemudian dikenal dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Perang Suksesi Jawa III Pangeran Sambernyawa Ki Ageng Selo Perjanjian Giyanti



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri