JATIMTIMES - Ratu Mas Blitar tercatat sebagai Bupati Madiun perempuan kedua dalam sejarah setelah leluhurnya Retno Dumilah. Sayang, kiprah sang ratu di bumi Madiun itu kurang begitu terkenal. Namanya jauh lebih mentereng di Keraton Mataram dengan sebutan yang berbeda, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pakubuwono.
Ya, Ratu Mas Blitar yang juga dikenal sebagai Raden Ayu Puger dan kemudian bergelar Ratu Pakubuwono, cukup berpengaruh di lingkungan Keraton Kartasura pada awal hingga pertengahan abad ke-18. Ratu Mas Blitar merupakan seorang bangsawan Jawa terhormat yang kelak menurunkan raja-raja di Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Ratu Mas Blitar juga pernah menjabat singkat sebagai Bupati Madiun (1703-1704), jabatan ini hanya seumur jagung karena suami sang ratu yakni Pangeran Puger menjadi raja di Kartasura dengan gelar Pakubuwono I.
Baca Juga : Maksimalkan Pelayanan Informasi Publik, Wali Kota Blitar Launching Aplikasi DIOPEN
Dari perkawinannya dengan Pakubuwono I, Ratu Mas Blitar memiliki beberapa putra. Putra yang paling menonjol adalah Sunan Amangkurat IV yang menjadi penerus tahta Kasultanan Mataram. Sunan Amangkurat IV memiliki putra-putra yang kemudian menjadi penerus dinasti Mataram Islam yakni Sunan Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kasultanan Yogyakarta, aktor Perjanjian Giyanti).
Dari jalur silsilah ini kelak juga lahir Sunan Pakubuwono III (putra Pakubuwono II, aktor Perjanjian Giyanti, pendiri Kasunanan Surakarta), Raden Mas Said (kelak bergelar Mangkunegara I, pendiri Kadipaten Mangkunegaran) dan Pangeran Notokusumo (kelak bergelar Pakualam I, pendiri Kadipaten Pakualaman, putra Sultan HB I). Para raja-raja ini kemudian melahirkan penerus kepemimpinan Jawa yang bisa kita saksikan hingga saat ini di Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman.
Selain melahirkan generasi emas Dinasti Mataram, pengaruh Ratu Pakubuwono merambah berbagai lini hingga lingkup spiritual dan sastra. Ratu yang dikenal sebagai ahli ilmu ghoib ini juga mungkin adalah satu-satunya sufi perempuan Indonesia yang diketahui menulis dan menyalin karya-karya sufistik Jawa seperti sufi lainya. Ketiga karya yang dijuluku “Buku Magis” itu yakni Carita Iskandar, Serat Yusuf dan Kitab Usulbiyah. Karya-karya ini lahir berkat pengetahuan Ratu Pakubuwono yang luas tentang sufisme Jawa.
Selain tiga karya yang disebutkan diatas, Ratu Pakubuwono juga melahirkan karya-karya lain yang lebih kecil. Salah satu karya kecil yang terkenal itu adalah Serat Garwa Kancana.Rupanya serat ini merupakan karya penting yang digunakan sang ratu sebagai doktrin untuk cucu mudanya yang baru saja naik tahta sebagai raja Mataram di Kartasura yakni Sunan Pakubuwono II.
Dilansir dari buku Sambernyawa karya M.C Ricklefs, Suluk Garwa Kancana menggambarkan model kerajaan yang diharapkan Ratu Pakubuwono untuk membentuk pola pemerintahan cucu remajanya Pakubuwono II. Karya tersebut dibuka dengan metafora panca indra sebagai pejabat kerajaan yang bujukannya harus diabaikan oleh sang jiwa (yaitu sang raja sendiri). Dalam serat ini, Ratu Pakubuwono menegaskan raja harus mendekati semua kemalangan dan kesulitan “dengan benteng visi yang jelas” serta menolak kenikmatan seksual duniawi.
Dalam sebuah metafora besar mengenai mengenai tahapan jalan sufi sebagai senjata dan pakaian kerajaan, teks Serat Garwa Kancana memberi peringatan kepada raja. Peringatan itu, dalam pertempuran bentengnya haruslah merupakan mujahadah, senjatanya adalah kontemplasi tentang Allah, dan kendaraanya adalah kepercayaan teguh kepada Allah (musahadah). Takwa harus berfungsi sebagai busur dan zikir sebagai panahnya.
Serat Garwa Kancana juga merupakan kritik Ratu Pakubuwono terhadap sikap raja dan elite politik yang tunduk pada kekuatan politik kompeni. Ketundukan itu yang menyebabkan hilangnya etika dan moral para ksatria Jawa termasuk cucunya Sunan Pakubuwono II. Dalam serat ini sang ratu dengan tegas menyatakan, pakaian kerajaan raja haruslah suatu mahkota realitas (Khak) dengan tarekat sufi sebagai puncaknya syariah (sarengat) sebagai pakaian bawahnya.
Baca Juga : Kisah Pangeran Mangkubumi Bertarung dan Kalahkan Raja Arwah dengan Ayat Suci Al-Quran
“Demikianlah suluk ini mengawinkan tradisi Jawa sebagai kerajaan militer dengan sufi sebagai jalan mistis. Ini berakar dalam tradisi Sufi jihad al-akbar, “Perang Suci yang agung’, perjuangan untuk mencapai kesucian dengan melawan tuntutan dari fisik,” ungkap M.C Ricklefs dalam buku Sambernyawa.
Serat Garwa Kancana ini lahir mungkin saja karena Ratu Mas Blitar atau Ratu Pakubuwono yang ahli ilmu ghoib itu telah menerawang masa depan kehancuran Keraton Kartasura dibawah kepemimpinan cucunya Pakubuwono II. Raja muda itu dekat dengan Belanda, kondisi Negara saat itu pun berada di situasi yang benar-benar sulit, Pakubuwono II yang tidak cakap memimpin tengah merenungkan kehancuran rezimnya sendiri.
Setelah Ratu Pakubuwono wafat pada 5 Januari 1732 di usia 75 tahun, perang dan pemberontakan menghiasai kisah dan perjalanan dari Keraton Kartasura, dan yang paling terkenal terjadi pemberontakan Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III, putra Pangeran Teposono) pada tahun 1742. Pemberontakan ini, Garendi dibantu etnis Tionghoa menyerbu dan menghancurkan Keraton Kartasura dalam peristiwa Geger Pecinan yang terkenal itu.
Pemberontakan kala itu berlangsung panas, Raja Kartasura Sunan Pakubuwana II melarikan diri ke Ponorogo dengan perlindungan VOC.Raja kembali ke Kartasura pada akhir tahun 1743 namun kondisi kota saat itu sudah hancur. Raja kemudian memutuskan membangun ibukota baru di Desa Sala yang kemudian bernama Surakarta. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri dan ditempati sejak tahun 1745.