free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Menelisik Situs Setono Gedong di Kota Kediri, Ada Makam Pangeran Mekah hingga Raja Mataram Amangkurat III

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

21 - Jan - 2023, 17:33

Placeholder
Gapura depan Situs Setono Gedong di Kota Kediri.(Foto : Aunur Rofiq/JATIMTIMES)

JATIMTIMES - Sebagai sebuah kota kuno di Nusantara, Kediri menyimpan banyak warisan sejarah dan kebudayaan bagi peradaban. Salah satu warisan sejarah yang bisa dinikmati hingga hari ini adalah Situs Setono Gedong.

Di tulisan kali ini JATIMTIMES akan mengajak pembaca untuk menelisik lebih dalam Situs Setono Gedong. Lokasi situs ini berada di tengah-tengah perkotaan, tepatnya di Jalan Doho Kota Kediri, Jawa Timur. Lokasinya berada di seberang Stasiun Kereta Api Kediri. Dengan lokasinya yang strategis, situs ini sangat mudah dijangkau oleh wisatawan yang ingin berkunjung ke Situs Setono Gedong.

Baca Juga : Polisi Militer Proses Pengemudi Rantis Kostrad yang Lindas Ibu-Ibu hingga Meninggal

Bagi kalangan spiritual, Setono Gedong bukan tempat yang asing. Sedangkan bagi kalangan peneliti dan pencinta sejarah, Setono Gedong adalah tempat untuk mempelajari kisah dan sejarah masa lalu. Di situs ini dimakamkan sejumlah tokoh dari kalangan wali, ulama, pejabat tinggi era kerajaan dan darah biru.

Beberapa tokoh yang dimakamkan di tempat ini diantaranya Syech Al Wasil Syamsudin,Sunan Bagus, Sunan Bakul Kabul, Wali Akba, Pangeran Sumende, Sunan Bagus, Kembang Sostronegoro, Mbah Fatimah dan Sri Susuhunan Amangkurat III (Raja ke-6 Kasultanan Mataram Islam).

Di situs ini terdapat pula beberapa makam keturunan dan pengikut setia Sri Susuhunan Amangkurat III. Di antaranya Pangeran Teposono (Putera Amangkurat III) dan Raden Ajeng Reksoprodjo (Abdi Dalem Amangkurat III). Serta R.Ng Pringgodigdo (Bupati  ke-4 Nganjuk, menjabat 1852-1878, mertua Patih Blitar Djoyodigdo).

Dari keseluruhan tokoh yang dimakamkan di Setono Gedong, tokoh Mbah Wasil atau Syech Al Wasil Syamsudin adalah yang paling banyak diziarahi. Cerita turun temurun Kediri menyebutkan Mbah Wasil adalah pangeran Mekah yang diperintahkan untuk datang ke Jawa Dwipa (Pulau Jawa). 

Setelah menginjakkan kaki di pulau Jawa, Mbah Wasil sempat bermukim di wilayah Kabupaten Nganjuk tepatnya di wilayah Kecamatan Sawahan yakni di Gunung Wilis (Sadepok).

Syekh Al Wasil Syamsudin memiliki pengikut sekaligus murid yaki Ki Hajar Subroto, hingga pada tataran kemakrifatan. Dakwah Syekh Al Wasil Syamsudin tidak hanya pada tataran kemakrifatan saja. Namun dilanjutkan ke Wilayah Kediri, dakwah/ syi’ar beliau sampai kepada Prabu Joyoboyo. Melihat kebijaksanaan Sang Ulama, akhirnya Sri Aji Joyoboyo pun menimba ilmu kemakrifatan. Sehingga Syekh Al Wasil Syamsudin memiliki dua murid dengan tataran kemakrifatan tapi dari sisi berbeda, Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan), sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yang berbeda.

“Hubunganya dengan Prabu Joyoboyo ini dikisahkan cukup menarik. Menurut cerita turun temurun Kediri, beliau (Mbah Wasil) ini ikut membantu Joyoboyo membuat kitab Jangka Joyoboyo yang terkenal itu. Wallahualam,” kata Juru Kunci Situs Setono Gedong, Muhammad Yusuf Wibisono.

Hingga saat ini tidak ada yang tahu secara pasti asal usul Mbah Wasil. Beberapa sumber meyakini Mbah Wasil berasal dari Turki, sumber ini merujuk pada Mbah Wasil yang dijuluki Pangeran Mekah. Dikutip dari buku berjudul "Inskripsi Islam Tertua di Indonesia" oleh C. Guillot, Luvdik Kalus dan Willem Molen, Mbah Wasil merupakan tokoh penyebaran agama Islam yang terkenal di Jawa Timur, termasuk Kediri pada sekitar abad 10 Masehi. Syekh Wasil masuk ke Kediri pada masa pemerintahan Raja Sri Aji Joyoboyo.

"Beliau dipanggil Mbah Wasil karena beliau sering memberikan wasil (ahli bertutur sapa, berpetuah yang baik)," imbuh Yusuf.

Kehadiran Mbah Wasil pada masa itu disambut baik oleh masyarakat Kediri. Metode dakwah dilakukan Mbah Wasil dengan pendekatan secara humanis. Metode ini dipilih karena pada waktu itu Kediri sudah ada keyakinan lain yang dianut masyarakat. Pada masa itu di Kediri terdapat banyak situs-situs berupa arca sebagai tempat sembahyang.

Pendekatan yang dilakukan Mbah Wasil berhasil. Agama Islam diterima dan berkembang pesat di Kediri.  Sejumlah masjid pun dibangun. Salah satunya Masjid Setono Gedong.

Tidak ada catatan yang menyebutkan kapan Mbah Wasil wafat. Setelah wafat jenazahnya dimakamkan di area Masjid Setono Gedong. 

“Makam Mbah Wasil ini paling ramai peziarah. Ini setelah pandemi, peziarah paling banyak di hari Sabtu dan Minggu. Banyak kelompok yang menggelar tahlil dan pengajian di Makam Mbah Wasil,” terang Yusuf.

Di Situs Setono Gedong juga terdapat beberapa makam tokoh pejabat era kerajaan dan kalangan darah biru. Menurut Yusuf, selain kalangan wali dan ulama, Setono Gedong sejak dulu juga dipergunakan untuk pemakaman darah biru di wilayah eks Karesidenan Kediri. Makam darah biru yang diyakini paling keramat adalah Makam Sri Susuhunan Amangkurat III atau Amangkurat Mas.

Keberadaan Makam Amangkurat III di Kediri ini sejatinya cukup mengejutkan. Cerita sejarah versi keraton dan Belanda menyatakan setelah turun tahta dari Karaton Kasunanan Kartasura (terusan dari Kasultanan Mataram), Belanda menangkap Amangkurat III dan mengasingkanya ke Srilanka hingga meninggal dunia pada tahun 1734. Jadi kesimpulanya, Makam Amangkurat III di Kediri ini merupakan fakta jika raja tidak meninggal di Sri Lanka.  Juga cerita sejarah versi keraton dan Belanda itu adalah sebuah pembohongan sejarah untuk menghapus ketokohan Amangkurat III dari sejarah dan peradaban.

Ya, meskipun kontroversial, Amangkurat III saat bertahta kala itu dikenal sebagai raja yang anti terhadap Belanda. Keberadaanya di singgasana Kraton Mataram dinilai Belanda sebagai sebuah ancaman untuk menancapkan hegemoni kolonialisme di tanah Jawa. Begitupun dengan Pakubuwono I, keberadaan Amangkurat III harus dihapuskan dari sejarah untuk mengamankan tahta dan menjauhkan kerajaan dari benih-benih pemberontakan akibat dendam masa lalu. 

Baca Juga : 7 Orang Anggota LSM Menjadi Tersangka dalam Kasus Pemerkosaan di Brebes

“Setelah turun tahta dari Kerajaan Kartasura akibat dikudeta oleh Pangeran Puger (kemudian naik tahta dengan gelar Pakubuwono I), Amangkurat III diasingkan ke Sri Lanka. Disana beliau disambut dengan baik oleh kalangan kerajaan disana. Setelah Belanda mengalami kemunduran, beliau kembali ke tanah Jawa, tapi menolak untuk kembali ke Solo. Beliau memilih untuk tinggal dan menetap di Kediri karena Kediri dianggap tempat yang aman, Setono Gedong ini dulu adalah tempat beliau melakukan meditasi,” jelas Yusuf.

Di Kediri, Amangkurat III meninggalkan tahta dan keduniawian. Kehidupanya diisi dengan beribadah, mendekatkan diri kepada tuhan, dakwah dan menyebarkan agama Islam. Banyak keturunan Amangkurat III yang kemudian bermukim di wilayah Kediri, Blitar dan Tulungagung. Salah satu keturunan dari Amangkurat III dari garis Pangeran Teposono lahir seorang pahlawan nasional yang berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia, siapakah dia? Nanti JATIMTIMES akan mengulasnya di tulisan berikutnya yang khusus membahas Sri Susuhunan Amangkurat III dan keturunanya.

 “Kalau Amangkurat III ini keturunanya jelas ada, dan banyak yang sering kesini. Cerita dari putro wayah jelas, Amangkurat III meninggalkan tahta dan keduniawian dan memilih untuk menetap di Kediri. Saat mendengar raja mereka pulang dan menetap di Kediri, banyak kalangan pejabat Mataram dan Abdi Dalem setia memilih untuk ikut Raja Amangkurat di Kediri, di Kediri beliau mendapatkan pelayanan khusus karena beliau tetaplah seorang raja,” terangnya.

Yusuf menambahkan, semasa tinggal di Kediri pada waktu itu Amangkurat III tinggal di daerah Joyonegaran. Namun sayangnya, bangunan rumah tempat Amangkurat III tinggal saat ini sudah dibongkar.

“Ada bangunan di Joyonegaran, tapi sayangnya sudah dibongkar. Dulu tinggalnya beliau disitu,” imbuh Yusuf.

Masyarakat percaya kekeramatan Makam Sri Susuhunan Amangkurat III. Cerita turun temurun menyatakan jika makam Raja ke-6 Kasultanan Mataram itu memiliki kekuatan magis yang sangat besar. Bahkan burung yang terbang di atasnya langsung jatuh. Yusuf sendiri mengaku sebagai saksi mata, burung yang jatuh tidak dalam keadaan mati. Setelah hinggap ke tanah, burung itu akan menjadi makanan kucing liar yang ada di sekitar makam. Zaman dulu, makam Amangkurat III di masa Yusuf masih kecil banyak ditumbuhi semak belukar dan alang-alang.

“Sebelum saya dulu juru kunci Setono Gedong adalah abah saya. Cerita keramat itu saya percaya karena saya menyaksikan diri. Saat saya masih kecil, saya menyaksikan, waktu saya masih kecil senang lari-larian di sana mengejar layangan putus. Tiba-tiba ada burung jatuh dan dimakan kucing,” jelas Yusuf.

Dari abahnya, Yusuf juga mendapatkan cerita tentang pesawat terbang yang jatuh saat melintas di atas makam Amangkurat III. Walaupun tidak melihat secara langsung, Yusuf mempercayai cerita yang diungkap leluhurnya itu. Kepercayaan Yusuf dengan keramatnya Makam Amangkurat III semakin kuat dengan banyaknya kejadian mistis yang dia jumpai selama menjadi juru kunci makam. Dia pun menyaksikan sendiri, peziarah yang datang dengan niat tidak baik atau dalam keadaan tidak suci akan mendapatkan ‘hukuman’ saat masuk makam Amangkurat III.

“Pernah ada peziarah yang baru akan masuk, tiba-tiba tubuhnya terpental saat memasuki pintu makam, terpental cukup jauh. Dia seperti menabrak sesuatu. Saat saya tanya, dia mengaku belum mandi junub. Mungkin niatnya pada waktu itu mengingatkan, bukan mencelakai,” lanjut Yusuf.

Makam Amangkurat III menjadi makam yang paling tertutup di Setono Gedong. Makam ini dikelilingi pagar dan dikunci gembok. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Yusuf selaku juru kunci sering mengingatkan peziarah agar menjaga tata krama saat berada di situs Setono Gedong khususnya Makam Amangkurat III. Sebab tidak bisa dipungkiri jika anak-anak jaman sekarang nyaris kehilangan adab, etika dan tata krama.

“Alhamdulillah akhir-akhir ini sudah tidak terjadi lagi kejadian seperti yang dulu-dulu. Namun yang perlu diingat, di manapun tempatnya, apalagi ini adalah makam raja dan wali (Setono Gedong) yang memiliki kearifan dan ilmu tinggi, Amangkurat III raja sekaligus wali, sudah sepantasnya ketika ziarah kita semuanya menjaga etika,” pungkas Yusuf.


Topik

Serba Serbi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya