JATIMTIMES - Persoalan kelangkaan pupuk bersubsidi yang menjadi keluhan petani jeruk ternyata bukan menjadi pekerjaan rumah (PR) satu-satunya bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang. Sebab, petani jeruk juga masih harus dihadapkan dengan maraknya buah impor yang datang di Kabupaten Malang.
Menyikapi keluhan tersebut, Pemkab Malang tengah melakukan berbagai upaya agar jeruk hasil panen petani lokal tetap bisa bersaing di pasaran. Salah satunya akan direncanakan dengan menjalin kerja sama dengan pihak ketiga terkait pemasaran.
Baca Juga : Cegah KKN, Pembangunan Blitar Selatan Bakal Dikawal Langsung Masyarakat
“Kita sedang mencari peluang offtaker. Dalam artian yang menjembatani petani dan pasar. Itu mungkin ada pihak ketiga. Entah itu dengan kemitraan atau swasta, kami sedang jajaki sekarang,” ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang Avicenna Medisica Sani Putera.
Berdasarkan catatannya, kurang maksimalnya jeruk lokal yang dirasakan masyarakat juga tergambar melalui hasil panen dari total lahan tanam yang ada. Saat ini, setidaknya ada lahan seluas 5.000 hektare yang ditanami jeruk dan didominasi oleh jenis jeruk keprok, siem madu, dan jeruk baby.
Namun dari total lahan yang ditanami jeruk, ternyata hanya sekitar 50 persen atau sekitar 2.500 hektare yang bisa terpanen. Di samping adanya kendala perubahan iklim, upaya optimalisasi dari sisi perkebunan petani dinilai masih minim. Ia mengakui problem pupuk mahal memang berdampak.
"Sebenarnya jeruk kita tidak kalah dengan impor. Tetapi ada kendala pupuk mahal sehingga biaya produksi cukup tinggi. Sehingga petani keuntungannya jauh berkurang," terang pria yang akrab disapa Avi ini.
Di sisi lain, Avi berharap kepada petani agar lebih kreatif dan melakukan inovasi baru. Petani jeruk diharapkan tidak terpatok menjual dalam bentuk buah, namun ada inovasi baru seperti membuat olahan berbahan baku jeruk.
“Mungkin berupa sirup jeruk atau makanan makanan berbahan baku dasar jeruk mungkin bisa kita galakkan lagi. Jadi, saya sedang mendalami itu sekarang,” terang Avi.
Sementara itu, keluhan atas dampak maraknya jeruk impor salah satunya disampaikan oleh petani jeruk asal Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Purwati. Berdasarkan data dari laman resmi bps.go.id, pada 2021 jumlah impor buah Indonesia mencapai 775.422 kilogram lebih.
Hal tersebut disinyalir membuat produksi buah hasil panen petani lokal menjadi tidak terserap maksimal di pasaran. Salah satunya juga turut dialami Purwati, yang menurutnya salah satu jenis jeruk, yakni Java baby, sudah tak begitu laku di pasaran.
Baca Juga : Bappeda Kota Malang Targetkan RPD 2024-2026 Maksimal Ditetapkan Maret 2023
“Penjualan jeruk menjadi menurun. Sekarang Jeruk jenis Java baby sudah tidak laku lagi. Kami kalah bersaing dengan buah impor itu,” ujar Purwati.
Karena tidak laku di pasaran, saat ini dirinya hanya menjual buah jeruk dengan jenis siam Pontianak di pasaran. Sedangkan untuk jenis Java baby sudah jarang diproduksi lagi.
“Dulu sebelum masuk buah impor, jeruk Java baby harganya Rp 6 ribu hingga Rp7 ribu. Langsung dari pohon. Diambil sama pembeli. Tapi sekarang saya lepas Rp 5 ribu tidak ada yang beli,” katanya.
Sementara itu, berdasarkan catatan DTPHP Kabupaten Malang, potensi jeruk di Kecamatan Dau tercatat lebih dari 1.500 hektare, dengan jumlah tanaman jeruk 1.414 hektare dan luas panen 635 hektare. Para petani Dau dapat menghasilkan roduksi 45.979 ton saat panen raya.