JATIMTIMES - Pakar hukum administrasi negara Universitas Brawijaya (UB) menyoroti ramainya pemberitaan tentang musyawarah olahraga kota (musorkot) KONI Kota Malang. Menurutnya, musorkot bisa disebut tidak sah jika memang cacat secara formil.
Pakar hukum administrasi negara UB Malang Bahrul Ulum Annafi mengatakan, organisasi seperti KONI yang bentuknya organisasi kemasyarakatan tentu pengangkatan, pemilihan ketua dan semacamnya harus disesuaikan dengan AD/ART yang ada. Jika tidak sesuai, tentu hal itu menurutnya akan menjadi problem.
Baca Juga : Melalui Anugerah Desa Terbaik, Diskominfo Kabupaten Malang Berharap TIK Bisa Jadi Habits
“Formilnya bisa jadi salah karena tidak sesuai dengan prosedurnya. Yang dilihat adalah AD/ART nya. Jika AD/ART organisasi menyatakan secara formil, harus 14 hari tapi tidak memenuhi ketentuan itu, sebenarnya itu cacat secara formil. Bisa dikatakan tidak sah secara formil,” ungkap Ulum kepada JatimTIMES, Rabu (14/12/2022).
Sebelumnya, KONI Kota Malang akan menggelar musorkot pada Sabtu 17 Desember 2022. Namun, beberapa cabor menganggap ada pasal pada AD/ART yang dilanggar menjelang penyelenggaraan tersebut.
Salah satunya yakni Pasal 35 angka 3 huruf b yang disebut tidak dijalankan. Karena seharusnya, peserta musorkot harus mendapatkan pemberitahuan minimal 14 hari sebelum musorkot. Selain itu 7 hari menjelang musorkot, peserta juga telah mendapat bahan yang akan dibahas.
Sementara, baru-baru ini Wali Kota Malang Drs Sutiaji menyebut bahwa Ketua Umum KONI Kota Malang belum melaporkan laporan terkait pertanggungjawaban anggaran di tahun 2022.
Bicara terkait hal tersebut, Ulum mengaku terkait pengelolaan dana di KONI memang didapat dari hibah Pemerintah Kota (Pemkot) Malang. Jika mengacu aturan, ada Permendagri nomor 77 tahun 2020 terkait pengelolaan keuangan daerah.
Baca Juga : Digelontor Modal Rp 50 Miliar, Komisi C Rekomendasikan Bank Tulungagung Berbenah
“Memang dana hibah kan perlu ada proposal dulu untuk mendapatkannya. Kalau dapat kan ada kewajiban bagi penerima hibah untuk membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana itu. Kalau kemudian sampai diperiksa oleh aparat penegak hukum, itu saya lihat ada yang bermasalah di SPJ-nya atau di laporan pertanggungjawaban penggunaan dananya,” beber Ulum.
“Bentuknya bisa macam macam, misal tidak sesuai dengan peruntukan hibahnya atau apa. Tapi tentu yang tahu APH (aparat penegak hukum). Setahu saya memang ada kewajiban bagi penerima hibah untuk memberikan pertanggungjawaban,” imbuhnya.
Secara harfiah, jika penyelenggaraan musorkot tidak memenuhi AD/ART, Ulum menyatakan hal itu layak disebut tidak sah. Sebab, ada syarat yang telah cacat hukum. “Kalau tidak memenuhi AD/ART sebenarnya secara formal (musorkot) sudah tidak layak dilanjutkan. Karena itu kan syarat formil yang harus dilaksanakan. Syarat formil tidak terpenuhi sudah cacat hukum itu,” tutup Sekretaris Lembaga Pengembangan Hukum Pemerintahan (LPHP) FHUB tersebut.