JATIMTIMES - Misiyah Rani merupakan warga asal Ponorogo, Jawa Timur. Dia merupakan salah satu Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga (ART).
Dia bekerja sebagai ART di Amerika, sudah selama 21 tahun. Kisahnya ia ceritakan dalam sebuah video dan diunggah oleh akun TikTok bernama @ulum855. Kisahnya tersebut baru-baru ini viral dan banyak diperbincangkan.
Baca Juga : Absennya 2 Tokoh Ini, Rapat Komisi I DPR RI Bersama TNI Kemenhan Ramai Interupsi
Bukan karena pekerjaannya sebagai ART saja, namun juga karena gajinya yang didapat relatif tinggi. Yakni berkisar di antara Rp 50 juta hingga Rp 60 juta lebih per bulannya. Bahkan ia mengaku bisa lebih dari Rp 60 juta.
"Sebulannya Rp 50 juta sampai Rp 60 juta lebih. Pokoknya saya kerja itu demi keluarga di Indonesia," ujar May.
Bukan hanya sekedar mendapat gaji yang baik, May mengaku bahwa selama 21 tahun bekerja sebagai ART di rumah keluarga pasangan Dr. Gary dan Debbie, ia mendapat perlakuan yang sangat baik.
May bercerita pada awal bekerja di rumah Dr. Gary, dia sempat kesulitan untuk berkomunikasi. Sebab dirinya sama sekali belum pernah berbicara dengan bahasa Inggris, bahasa yang biasa digunakan di negeri Paman Sam.
"Waktu itu saya belum bisa sama sekali ngomong bahasa inggris, bisanya hanya yes or not. Cuma pakai isyarat. Jadi bos ku itu, hanya memberi kalimat do this dan do that," terangnya sambil menirukan majikannya saat memerintah suatu hal.
Sama seperti ART atau pembantu rumah tangga (PRT) pada umumnya, May juga banyak mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, membersihkan kamar. Serta mengurus Michael, putra sulung pasangan Dr. Gary dan Debbie.
"Setiap hari, nyuci kamar mandi, dan pekerjaan rutin tiap hari. Dan pekerjaan rutin rumah, jadi harus selalu dibersihkan, apapun itu harus disyukuri, dan dinikmati. Karena apa, saya melakukannya dengan senang," terang May.
Dirinya mengaku bahwa meskipun bergaji yang terbilang di atas rata-rata ditambah perlakuan baik dari majikan beserta keluarganya, dia tidak memanfaatkannya untuk mengambil kesempatan lain. Artinya ia tetap berusaha berbuat baik dan selalu memposisikan diri sebagai seorang ART di rumah majikannya itu.
"Istilahnya orang jawa, kalau dikek i ati ojo ngerogoh rempelo (Dikasih Hati jangaj Ambil Ampela), itu yang saya jaga tidak saya lakukan. Gimana mereka baik sama saya, aku harus lebih baik dari dia," jelas May.
Perlakuan baik itu juga diakui oleh Debbir, majikan May. Ia mengaku bahwa awalnya memang May cukup kesulitan untuk berkomunikasi. Namun ia meyakini bahwa orang Indonesia berkepribadian ramah dan baik. Hal itu lah yang mendasarinya untuk mencoba memberi kesempatan kepada May untuk menjadi bagian dari keluarganya.
Senada dengan Dr. Gary, suami Debbie. Menurutnya, dia memang sengaja memberi kebebasan kepada May untuk bisa melakukan aktivitasnya seperti sehari-hari. Dr. Gary mengaku bahwa dia tidak bisa berhubungan dengan May selayaknya majikan dengan pembantu.
"May juga menceritakan tentang orang-orang dari negara lain yang juga menjadi pembantu, yang hanya mempunyai hubungan antara bos dengan pembantu saja. Kami tidak bisa membayangkan, dan kami tidak seperti itu. Kami membiarkan May untuk menikmati kebiasaannya saat bersama kami," ujar Dr. Gary.
Begitu juga dengan Michael, putra sulung Debbie dan Dr Gary. Dia mengatakan bahwa May datang ke rumahnya saat dirinya berusia 18 bulan. Sama seperti kedua orang tuanya, Michael juga tidak menganggap sebagai orang lain atau seorang pembantu.
"Tidak hanya orang tua saya saja, May juga turut membesarkan saya. Dia selalu ada saat orang tua saya tidak ada di rumah. Dia juga telah menjadi teman baik saya sejak kecil. Dia juga saya pikir sebagai ibu kedua saya," ujar Michael.
Namun begitu, keadaan baik yang didapat May saat ini juga tidak begitu saja ia dapatkan. Sebelum di Amerika dan menjadi ART di rumah Dr. Gary, dia juga pernah bekerja di Arab Saudi selama 10 tahun. Dimana saat itu, ia mendapat perlakuan yang menurutnya cukup buruk.
Namun hal tersebut tetap ia lakukan dan ia syukuri. Meskipun pada akhirnya ia harus berhijrah untuk mencari nafkah di negeri Paman Sam.
May mengaku bahwa pekerjaan tersebut ia lakukan demi mengubah nasib ekonomi keluarganya. Baik orang tuanya, maupun sanak sauadaranya yang juga ada di Indonesia.