JATIMTIMES - Francisca Fanggidaej, merupakan seorang pejuang wanita yang namanya hampir terlupakan. Bahkan, ia dihapus dari sejarah pada masa Orde Baru karena peristiwa G30S/PKI.
Kala itu, Francisca berperan aktif dalam diplomasi Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan. Namun saat rezim Orde Baru berkuasa, namanya jarang terdengar karena telah dihapus dalam sejarah Indonesia setelah dikaitkan dengan peristiwa G30SPKI.
Baca Juga : Tokoh yang Dorong Munir Jadi Jaksa Agung Itu Meninggal Dunia
Sebelumnya Francisca merupakan anggota DPR. Pada gonjang-ganjing 1965, ia sedang berada di luar negeri dan tidak bisa pulang karena paspornya dicabut.
Peristiwa berdarah 1965 kala itu telah memisahkan ibu, ayah dan anak-anaknya. Francisca meninggalkan 7 anaknya yang masih bocah dan harus menunggu lebih dari 35 tahun silam untuk bertemu kembali.
"Sebagai seorang ibu, saya meninggalkan anak-anak saya yang waktu itu masih kecil. Ini bukan demi saya, tetapi untuk keselamatan mereka," cerita Francisca Fanggidaej dikutip melalui BBC Indonesia, Kamis (30/9/2021).
9 tahun setelah reformasi, buku memoar Francisca yang ditulis oleh bekas tahanan politik 1965, Hersri Setiawan terbit. Sekitar tahun 1945, Francisca diketahui telah membantu menjalankan siaran Radio Gelora Pemuda di Madiun untuk melawan propaganda NICA.
Lalu pada 1947, Francisca berpidato di konferensi pemuda di Praha dengan tema "solidaritas bersama rakyat yang terjajah". Kemudian 1955, Francisca menjadi wartawan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan INPS.
Pada tahun 1957, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai anggota DPR wakil golongan wartawan. Anak-anak Francisca lalu menjadi tahu bagaimana peranan ibunya sebagai perempuan pejuang melalui buku berjudul 'Memoar Perempuan Revolusioner' itu.
"Setiap kali saya ada persekutuan doa yang satu-satu yang saya doakan selalu ibu saya karena terus terang saya sedih jika ingat beliau. Saya selalu berdoa, kapan bertemu dengan ibu saya? Dan keadaannya seperti apa? Ibu saya sebenarnya ada dimana?" ungkap Savitri Sasanti Rini anak Francisca.
Trauma Savitri hingga kini belum sepenuhnya sirna. Lebih dari 55 tahun silam saat usianya masih 7 tahun ia harus kehilangan ibunya.
Mayanti Trikarini si anak bungsu, juga sulit melupakan tragedi itu.
"Waktu itu kan berita tentang mama masih simpang siur, yang meninggal lah yang apa. Jadi kita juga bertanya-tanya mama mana, kayaknya udah meninggal, gitu kita jadi negatif thinking semua kan karena ga ada berita sama sekali dan ga ada kabar mengenai mama," ujar Mayanti Trikarini anak bungsu Francisca.
Santi dan Maya merupakan anak pasangan Supriyo dan Fracisca, saat peristiwa gonjang-ganjing 1965 meletus, sang ayah seorang wartawan dipaksa masuk bui tanpa proses peradilan.
Kemudian sang ibu Francisca, tengah bertugas di luar negeri. Francisca tidak bisa pulang ke Indonesia karena terus dikaitkan dengan peristiwa G30S PKI.
"Saya punya paspor itu tidak diakui. Waktu itu saya juga sudah menduga situasi sudah menjadi sangat genting," suara almarhum Francisca dalam wawancara dengan Radio Netherlands Worlwide (RNW) setelah reformasi bergulir.
Baca Juga : Kata-kata Bijak dan Link Twibbon Mengenang Pahlawan Revolusi yang Gugur di Peristiwa G30S/PKI
Namun selama Orde Baru, Francisca terpisah dengan 7 orang anaknya hingga puluhan tahun kemudian. Akhirnya, ia menjadi eksil di China dan negeri Belanda.
Namanya kemudian dihilangkan secara resmi dari sejarah oleh pemerintahan Soeharto karena latar belakang politiknya. Ita Fatia Nadia sebagai peneliti sejarah mengungkap fakta jika Francisca adalah seorang pejuang revolusioner yang tidak diakui.
"Kekuasaan Orde Baru ketika itu ada peraturan presidennya, ada keputusan presidennya mengatur bahwa sejarah sebelum 1965 tidak boleh dibuka, itu menjadi wewenang dari negara," jelas Ita.
Padahal menurut Ita, Francisca terlibat dalam beberapa momen penting saat revolusi kemerdekaan seperti upaya diplomasi ke luar negeri untuk mencari dukungan internasional.
"Soekarno mengatakan kepada Francisca "Kamu yang harus pergi, berkeliling ke dunia, berkeliling ke negara-negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaan terutama di Asia, Amerika Latin, dan Eropa untuk kamu bicara bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang digagas atau diperjuangkan oleh rakyat Indonesia untuk melawan kolonial," ungkap Ita bahwa Soekarno telah berpesan pada Francisca.
Dalam atmosfer propaganda Orde Baru anak-anak Francisca yang kemudian dititipkan kepada keluarga ibunya tumbuh besar dalam stigma terkait latar belakang politik sang ibu.
Salah seorang anak laki-lakinya Nusa Eka Indriya, berusia 9 tahun saat mereka diusir oleh tentara dari rumahnya tidak lama setelah G30S pada 1965. Ia masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi.
"Saya kalau cerita masa lalu itu saya hanya berharap jangan ada lagi karena itu membekas sekali, ketika kami bermain (ada yang mengolok) "PKI...PKI.." aduh PKI itu siapa? PKI itu makanan apa? Saya juga tidak tahu waktu itu," ungkap Nusa heran.
Sementara itu, setelah paspornya dicabut dan tidak ada harapan untuk pulang, Francisca terpaksa memilih untuk menjadi warga negara Belanda. Namun, perubahan politik reformasi 1998 dan setelah pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, presiden mempersilahkan para eksil untuk pulang.
Dalam kesempatan itu Francisca sempat pulang ke Indonesia dan bertemu anak-anaknya. Mayanti Trikarini sudah berkeluarga saat pertama kali memeluk ibunya. Diketahui, Francisca telah tutup usia pada 2013 lalu dan dimakamkan di Belanda.