TULUNGAGUNGTIMES - Advokat atau pengacara senior di Tulungagung Nanianto menilai, eksekusi aset tanpa ada surat penetapan eksekusi pengosongan dari pengadilan negeri tempat objek berada bisa dilaporkan ke APH (aparat penegak hukum).
Hal ini disampaikan Nanianto dalam rangka menyoroti serta memberi edukasi kepada masyarakat setelah kejadian eksekusi aset di Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Tulungagung, yang dilakukan dengan menyuruh pihak ketiga tanpa ada surat penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri Tulungagung.
Baca Juga : Pria Nganjuk Akhiri Hidup di Belakang Makam Keramat Gunung Bolo Tulungagung
"Saya melihat ini namanya eksekusi liar. Walaupun bertindak sebagai pemilik hak, tapi kan tidak bisa begitu," kata pria yang akrab disapa Anto itu, Jumat (06/08/2021).
Menurut Anto, dalam persoalan eksekusi aset, pemilik lama atau yang sedang menguasai aset tetap harus dianggap sebagai bezitter. Dalam hukum, pengertian bezitter sendiri adalah orang yang berkuasa atas suatu benda tanpa memperhatikan apakah ia menguasai benda tersebut sesuai atau tidak dengan keadaan yuridisnya.
"Kalau menurut hukum, pembeli lelang itu tidak otomatis bisa memiliki dan menguasai sebuah objek tanpa melalui eksekusi pengosongan dari pengadilan," katanya.
Dijelaskan, pembeli lelang memang dilindungi oleh hukum. Tapi ada pengurusan atau proses lebih lanjut dari hak tanggungan itu. Dalam proses penguasaan hasil pembelian lelang, mestinya harus dilakukan balik nama dulu di BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Selanjutnya mengajukan surat ekseskusi pengosongan kepada pengadilan negeri (PN) tempat objek itu berada, dalam hal ini PN Tulungagung. Tujuannya supaya tidak ada pihak yang terganggu dengan adanya pembelian lelang itu.
"Permohonan eksekusi pengosongan ke pengadilan untuk mengetahui ada yang keberatan atau tidak, ada yang terganggu atau tidak terhadap hasil pembelian lelang itu," jelasnya.
Pengacara senior di Tulungagung ini melihat, kejadian eksekusi pembelian lelang di Kelurahan Kepatihan sudah fatal karena bertindak tanpa mengajukan eksekusi pengosongan ke PN. Apalagi tindakannya melihat pihak ketiga atau preman sehingga perbuatan tersebut bisa dilaporkan ke APH.
Baca Juga : DPRD Kabupaten Madiun Angkat Bicara Terkait Pungutan Uang LKS SD
"Ini bisa kena Pasal 170 KUHP, karena sendiri atau bersama-sama masuk pekarangan atau rumah orang tanpa izin pemilik. Ancamannya 5 tahun dan bisa ditahan orang itu," ucapnya.
Perbuatan tersebut juga masuk Pasal 406 KUHP soal perusakan karena telah merusak barang milik orang lain. Selain itu, bisa dikenakan pasal keranjang sampah yaitu Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Sebagai bahan edukasi, Anto kembali menegaskan, dalam hukum bezitter itu dianggap sebagai orang yang menguasai. Untuk mengeluarkan dia (bezitter) harus ada tindakan dari eksekutor, dalam hal ini adalah ketua pengadilan tempat obyek itu ada.
Anto juga menyontoh kejadian serupa yang di Malang beberapa tahun silam. Saat itu pemilik lelang minta tolong preman untuk melakukan eksekusi pengosongan yang pada akhirnya kena hukuman 2 tahun penjara atas kejadian itu.
"Bezitter itu tetap bisa dianggap sebagai pemilik, dan dalam pelaksanaan eksekusi pengosongan harusnya ada permohonan eksekusi pengosongan ke PN," tutupnya.