INDONESIATIMES- Bernyanyi merupakan salah satu hobi dan pekerjaan beberapa orang di berbagai negara. Namun siapa sangka ada salah satu negara yang melarang perempuan di atas usia 12 tahun untuk bernyanyi di depan umum.
Hal itu terjadi di ibu kota Kabul, Afghanistan. Melansir melalui BBC, terkait hal ini pemerintah Afghanistan akan menyelidikinya.
Baca Juga : Mudik Lebaran Tak Dilarang, Ini Mekanisme yang Disiapkan Pemerintah
Tentunya, larangan tersebut langsung menuai kritikan dari masyarakat. Kabar ini muncul setelah para perempuan membagikan video mereka bernyanyi diiringi tagar #IAmMySong.
Tak ayal, isu panas ini menggelinding bersana wacana pemerintah dan kelompok pemberontak Taliban mengakhiri konflik yang telah terjadi lebih dari satu dekade.
Pasalnya, jika Taliban kembali pada kekuasaan, para gadis akan dilarang mengenyam pendidikan dan bermusik.
Bahkan baru-baru ini, direktorat pendidikan di Kabul mengeluarkan pernyataan gadis di atas 12 tahun dilarang menyanyi di muka umum. Tak cuma itu, murid putri yang lebih tua dilarang memiliki guru musik pria.
Dalam keterangannya, Kementerian Pendidikan Afghanistan menegaskan larangan itu tak mewakili sikap mereka. Mereka juga menekankan akan menggelar penyelidikan, dan jika perlu, menetapkan tindakan disipliner terhadap pelaku.
Larangan yang dirilis beberapa hari lalu itu lantas banjir kritikan, karena dianggap langkah mundur dari dunia pendidikan.
Salah satu yang turut mengkritisi kebijakan itu dengan lantang yakni penulis sekaligus pujangga Shafiqa Khpalwak, di Twitter.
Baca Juga : Bongkol Bambu dan Limbah Kayu Jadi Karya Seni Unik Bernilai Tinggi di Tangan Pria Ngawi Ini
"Ampuni kami Tuhan, umat manusia yang bahkan bisa kejam hanya karena melihat anak dari gendernya," kecam Khpalwak.
Sementara itu, aktivis HAM Simar Samar menilai, jika larangan tersebut mirip dengan era Taliban sebelum mereka digulingkan pada 2001.
Terikat Janji kepada AS "Ini adalah bentuk Talibanisasi di dalam republik," jelas Samar.
Saat ini, pemerintah Taliban memang tengah berada dalam tekanan untuk segera merealisasikan perjanjian damai. Kendati demikian banyak perempuan Afghanistan menginginkan berakhirnya konflik. Namun di balik itu, mereka juga khawatir terhadap masa depan jika Taliban kembali berkuasa.