Ketapel atau di Kabupaten Tulungagung di sebut dengan istilah pelintheng sudah sulit dicari keberadaannya. Mainan yang pernah trend di tahun 70-80 an ini terbuat dari dahan kayu berbentuk huruf "Y" kemudian diikat dengan tali kolor atau pentil karet pada kedua sisi sehingga bisa melar dan elastis.
Di ujung karet diberi potongan kulit sebagai tempat untuk menaruh kerikil untuk di lontarkan. "Dulu pelintheng ini bisa digunakan berburu burung dan tupai," kata Samsul (47) warga Kalidawir, Jumat (27/11/2020).
Baca Juga : Resmi Tinggalkan Tulungagung, Ini Panggilan Antara Bupati Tulungagung dan AKBP Eva Guna Pandia
Meski sekarang masih ada, ketapel hanya banyak digunakan untuk mengusir burung saat padi mulai menguning. "Itupun tak semua menggunakan pelintheng, sudah ada yang memakai bedil (senapan angin) dan plencung tanah," ujarnya.
Di zaman kecil, Samsul mengaku bersama teman-temannya senang bermain ketapel ini untuk mencari ikan dan burung di pinggiran hutan.
"Jangan salah, meski dengan alat sederhana ini puluhan burung berhasil kita bawa pulang. Bahkan ikan di sungai kita lombakan siapa paling banyak mendapatkan," ungkapnya.
Ada beberapa ketapel lama tanpa pentil yang dia simpan buat mengenang masa lalunya. Menurut Samsul, ketapel di jaman itu juga tidak sembarangan dibuat.
"Kayunya harus memilih yang tua, bentuknya juga harus bagus dengan besar kiri dan kanam sama," jelasnya.
Baca Juga : Terbuat dari Pohon Thuba, Ini Kemewahan dan Warna Pakaian di Surga
Setelah marak mesin bubut, kreativitas warga meningkat. Ketapel disaat itu kemudian dibuat dengan menggunakan kayu yang di dibentuk dengan mesin.
Kemudian, ketapel atau pelintheng juga banyak menggunakan bahan lain seperti besi dan kuningan. Namun, lambat laun ketepel ini seperti tenggelam karena pengaruh teknologi.
"Anak-anak sekarang beralih bermain handphone dengan banyak game online didalamnya," pungkasnya.