Jumlah pengangguran muda berusia 15-24 tahun atau youth unemployment di Indonesia cukup besar, yakni mencapai 20 persen. Mayoritas penganggur muda ini berpendidikan SMA ke atas yaitu kategori SMA umum, SMK, Diploma, dan Sarjana.
Profesor Bidang Ekonomi Ketenagakerjaan Universitas Brawijaya (UB) Prof Devanto Shasta Pratomo SE MSi PhD membeberkan, terdapat dua hal utama yang menyebabkan pengangguran anak-anak muda.
Pertama yakni tidak matchnya dunia pendidikan dengan dunia industri.
"Yang diperlukan oleh dunia usaha dengan yang disupply oleh Dinas Pendidikan belum pas," katanya dalam Konferensi Pers Pengukuhan Profesor UB di Ruang Rapat Senat Rektorat UB, Selasa (17/12/2019).
Tidak hanya soal kurikulum. Mempertemukan antara dunia pendidikan dengan dunia usaha juga harus diupayakan sehingga dunia pendidikan paham akan hal-hal yang dibutuhkan oleh dunia usaha. Untuk itu, kata Devanto perlu mempererat hubungan antara dunia pendidikan dan dunia usaha.
"Yang kedua, anak muda itu cenderung untuk memilih, choosy youth. Anak-anak muda lebih memilih untuk menganggur dulu," ungkapnya.
Dari data penelitiannya, anak-anak muda rata-rata menganggur sampai 1 tahun untuk mendapatkan pekerjaan yang pas.
"Mereka tidak mau bekerja asal-asalan. Dan itu menyebabkan mereka terkategorikan sebagai penganggur," jelasnya.
Sementara data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2018 menunjukkan bahwa angkatan kerja Indonesia masih didominasi oleh angkatan kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Memang, angka pengangguran Indonesia mengalami penurunan di tahun 2018 sebesar 5,34 persen dibanding 2015 yang berada di dua digit. Namun, di balik prestasi turunnya angka pengangguran, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian.
"Angka pengangguran masih lebih tinggi dibandingkan dibandingkan dengan angka pengangguran di beberapa negara tetangga seperti Malaysia maupun Filipina," ungkap Devanto.
Padahal, Indonesia akan mendapatkan berkah bonus demografi yang disebabkan oleh melimpahnya penduduk dalam usia produktif dibandingkan dengan penduduk dalam usia tanggungan.
Tentunya bonus demografi ini akan benar-benar menjadi berkah apabila Indonesia dapat mengambil manfaat dari momen ini sehingga muncul kekuatan besar bagi Indonesia di era persaingan ini.
"Penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal ketenagakerjaan menjadi kunci, di samping kebijakan makro ekonomi yang mendukung fleksibilitas dan keterbukaan pasar kerja," tegas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB tersebut.
Nah, langkah yang harus ditempuh pemerintah yakni, kebijakan pengembangan ketenagakerjaan harus diselaraskan dengan perkembangan di era ekonomi digital ini.
Dengan datangnya era ekonomi digital, kata Devanto, Indonesia memerlukan kebijakan dan ekosistem yang baik agar penyerapan tenaga kerja tetap dapat terjaga dan di saat yang bersamaan ekonomi tetap tumbuh sesuai rencana.
"Indonesia belum terlambat untuk mengantisipasi, karena hampir semua negara di dunia juga mengalami hal yang sama dengan datangnya perubahan ekonomi digital yang mendadak," timpalnya.
Menurutnya, selain perbaikan kualitas pendidikan, pengembangan Usaha Kecil dan Menengah berbasis digital dan penciptaan ekosistem yang menggambarkan sinergi antara dunia usaha, dunia pendidikan, dan pemerintah (triple helix) diperlukan terutama dalam hal penelitian dan pengembangan (R&D), inovasi, dan upaya peningkatan nilai tambah.