Perempuan Korban 1998: Tersakiti di Tubuh, Terhapus di Sejarah
Editor
Redaksi
29 - Jun - 2025, 03:25
oleh: Dr Fidela Dzatadini Wahyudi SSosio MSos, dosen Sosiologi Univeritas Cipta Wacana Malang
Reformasi ditulis dengan tinta perlawanan. Namun tubuh-tubuh perempuan yang dikorbankan dalam perjuangan meraih kemenangan ternyata hanya menjadi catatan yang tak pernah dicari, tak pernah diakui, bahkan dibungkam dan dilupakan.
Baca Juga : Napak Tilas Bung Karno: Mas Ibin dan Eri Cahyadi Guyub Tanamkan Nilai Kebangsaan untuk Generasi Penerus
Di balik tonggak kebebasan reformasi dan simbol kemenangan rakyat atas tirani, terdapat tubuh-tubuh perempuan yang terseret ke sudut tergelap sejarah. Perempuan-perempuan –yang sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa—telah disiksa, diperkosa secara massal, bahkan dibunuh secara brutal di depan mata keluarga mereka. Ketika negara enggan mengakui kekerasan seksual yang terjadi secara sistematis terhadap para perempuan korban pada peristiwa 1998, maka negara ini bukan hanya gagal sebagai negara hukum, namun pengingkaran ini adalah bentuk kekerasan baru, pembungkaman dan pengkhianatan sejarah yang dilembagakan (institutionalized symbolic violence).
Tubuh Perempuan sebagai Medan Perang dan Luka Kolektif Bangsa
Tubuh perempuan yang telah menjadi korban kekerasan ternyata bukan hanya sekadar menjadi objek penyerangan, tapi juga dijadikan sebagai medan perang dan alat terror yang strategis untuk menyampaikan pesan. Dalam beberapa konflik sosial dan politik yang terjadi, tubuh perempuan sering menjadi ruang pertama yang akan diserang dan dihancurkan ketika kekuasaan ingin menunjukkan dominasinya. Tubuh perempuan dimaknai sebagai simbol kehormatan. Sehingga, ketika tubuh perempuan mengalami penyerangan dari musuh, maka sebenarnya musuh sedang memberikan pesan, bahwa kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan adalah upaya untuk menghancurkan bukan hanya sekadar tubuhnya, namun juga sedang menghancurkan komunitas, identitas, dan rasa aman bersama.
Ironisnya, tubuh perempuan yang telah dijadikan medan perang, kini masih dipaksa memikul beban diam. Setelah tubuh perempuan dijadikan objek kekerasan, mereka harus dibebani rasa malu, stigma, dan pembungkaman yang tidak bisa mereka pilih dan hindarkan. Lebih menyakitkan lagi, negara yang dulu mereka perjuangkan bersama untuk mencapai reformasi, justru menolak mengakui luka yang menyertainya, bahkan memilih untuk menyangkal realita kekerasan perempuan yang telah terjadi. Tidak ada perlindungan, tidak ada pendampungan, tidak ada pengakuan...