JATIMTIMES - Pada saat puncak transisi antara keruntuhan Majapahit dan bangkitnya kekuatan Islam di tanah Jawa, terdapat dua sosok bangsawan yang memilih menjauh dari hiruk-pikuk kekuasaan: Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah pangeran dari kerajaan Pengging, keturunan langsung Prabu Brawijaya V.
Namun, keduanya tidak memilih tahta atau kekuasaan sebagai jalan hidup. Mereka melangkah di jalan sunyi: menjadi santri, petapa, dan guru ruhani. Jejak-jejak spiritual mereka merekam satu bab penting dari sejarah Islamisasi Jawa, yang tidak dibangun dengan pedang, tetapi dengan ilmu dan laku batin.
Baca Juga : Mau Konten Viral? Intip Tips Jitu dari Para Ahli Media Sosial
Babad dan tembang Dandanggula dari abad ke-15 mencatat bahwa setelah wafatnya Raja Pengging, Prabu Andayaningrat, serta penguasa Mandura, Lembupeteng, dua putra Raja Pengging, yakni Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, memilih jalan berbeda dari jalur kekuasaan. Adipati Mandura merasa berat hati untuk kembali memerintah di Pengging karena kekecewaan terhadap pusat kekuasaan di Demak. Mereka menyadari bahwa meskipun darah biru mengalir di tubuh mereka, kemuliaan bukan semata diukur dari tahta.
Raden Kebo Kenanga menanggalkan gelar kebangsawanannya, hidup layaknya santri biasa, memimpin penduduk Pengging dengan keteladanan. Seluruh rakyatnya—tercatat dalam babad Jawa—mengikutinya dalam ibadah dan pencarian spiritual. Ia dikenal kemudian sebagai Ki Ageng Pengging, sosok yang karismatik, penuh wibawa, dan menjalani kehidupan asketik. Tiga ribu pengikut setianya tersebar di wilayah Pengging-Pajang, namun hanya empat ratus orang yang benar-benar mengikuti laku kesehariannya yang keras.
Sementara itu, saudaranya Raden Kebo Kanigara memilih menetap di Gunung Merapi. Ia menjadi ajar—guru suci yang hidup bersama istri dan anak-anaknya dalam keterasingan dari pusat kekuasaan. Gunung Merapi yang wingit dan sakral menjadi laboratorium spiritualnya. Ia tidak membentuk pemerintahan, melainkan komunitas kecil yang hidup dalam kesadaran mistik dan harmoni dengan alam. Dalam pandangan masyarakat setempat, beliau bukan sekadar pertapa, melainkan penjaga ilmu gaib dan rahasia leluhur.
Babad menyiratkan kekecewaan dua raja-putra ini terhadap dinasti Demak. Sebagai keturunan kerajaan Pengging—yang dahulu merupakan kerajaan penuh sebelum dijadikan kadipaten oleh Prabu Brawijaya—mereka tidak memperoleh tempat dalam struktur kekuasaan baru. Tidak satu pun adipati diangkat dari trah mereka. Ini menjadi luka batin yang dalam. Namun alih-alih melakukan pemberontakan, mereka memilih menempuh jalan spiritual dan menanamkan nilai Islam pada rakyat dengan damai.
Ki Ageng Pengging menjalani hidup santri, tetapi kewibawaannya melampaui kebangsawanan. Tata krama dan perilakunya membuat rakyat tetap memandangnya sebagai raja. Ia membimbing umat dalam ibadah, mengajarkan laku batin, serta menanamkan nilai keislaman yang kuat. Dalam keseharian, ia bekerja di sawah dan ladang setelah menunaikan sembahyang. Ia bukan hanya tokoh religius, tetapi juga simbol transisi kekuasaan yang etis.
Salah satu episode terpenting dalam kehidupan Ki Ageng Pengging adalah pertemuannya dengan tokoh kontroversial dalam sejarah Wali Songo, yakni Syekh Siti Jenar. Dalam banyak sumber, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai wali sakti yang ahli dalam ilmu hakikat dan makrifat. Ia datang ke Pengging dengan nama lain, Syekh Sunyata Jatimurti atau Syekh Walilanang. Ki Ageng Pengging menyambutnya dengan rendah hati.
Selama bermukim di Pengging, Syekh Siti Jenar mentransmisikan seluruh ilmunya kepada Ki Ageng Pengging. Dari laku tapa-brata, pengetahuan tentang "kawula dan gusti," hingga pemahaman terdalam tentang kemanunggalan dengan Tuhan. Tak ada ilmu yang disembunyikan. Bahkan masyarakat menganggap Ki Ageng Pengging sebagai penerus ruhani dari Syekh Siti Jenar.
Di saat para elite politik di Demak sibuk dengan urusan ekspansi dan perebutan pengaruh, dua putra raja dari Pengging justru memilih jalan sunyi. Mereka menolak segala bentuk popularitas dan kekuasaan demi mengejar ilmu, keikhlasan, dan kesempurnaan spiritual. Dalam bahasa Jawa kuno, mereka menjalani hidup "unggah-ungguh tanpa bandha, tatag tanpa pangkat."
Keputusan mereka meninggalkan kekuasaan bukan hanya bentuk protes diam terhadap sistem, tetapi juga peneguhan terhadap nilai-nilai transenden yang lebih tinggi dari politik. Dalam kisah mereka, sejarah mencatat bentuk lain dari revolusi: bukan melalui perang, tetapi dengan pembentukan karakter dan peradaban batin.
Historiografi modern perlu membaca ulang narasi tentang Ki Ageng Pengging dan Raden Kebo Kanigara bukan sebagai tokoh mistik semata, melainkan sebagai agen transformasi sosial yang efektif. Keberadaan mereka menandai pergeseran paradigma dari kekuasaan fisik menuju kekuasaan spiritual. Dalam tradisi Jawa-Islam, mereka termasuk sosok yang membawa suluk ke dalam masyarakat, dan bukan sekadar mendakwahkan syariat secara formalistik.
Dokumen seperti tembang Dandanggula, babad Pengging, hingga kisah dalam naskah Sunan Giri menunjukkan bahwa proses Islamisasi di Jawa bukanlah proyek homogen yang digerakkan oleh satu kelompok semata. Justru dari pinggiran, dari orang-orang seperti Ki Ageng Pengging, Islam tumbuh dalam bentuk yang lebih dalam dan filosofis.
Hingga kini, jejak Ki Ageng Pengging masih terasa di wilayah Boyolali dan sekitarnya. Makamnya dikeramatkan, dan namanya hidup dalam legenda masyarakat. Namun lebih dari itu, warisan sesungguhnya adalah pada nilai: kerendahan hati, keteguhan, dan laku hidup sederhana namun mendalam secara spiritual. Ia mengajarkan bahwa menjadi besar tidak harus menjadi raja. Menjadi agung tidak harus memiliki istana.
Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara memilih dua jalan yang berbeda—satu sebagai santri desa, satu sebagai ajar gunung—namun dengan satu tujuan yang sama: pengabdian kepada Tuhan, bukan kepada tahta. Di tengah sejarah yang sering dipenuhi nama-nama raja dan perang, kisah mereka menghadirkan selingan yang lembut namun mendalam: bahwa revolusi paling sejati adalah mengalahkan ego, dan membangun peradaban dari dalam.
Dari Pengging ke Ampel: Asal Usul Ki Ageng Pengging dalam Lintasan Sejarah Transisi Majapahit-Islam
Dalam lembar sejarah yang menjadi titik peralihan penting antara kejatuhan Majapahit dan kebangkitan Islam di Nusantara, tersimpan kisah dua tokoh bangsawan muda asal Pengging, yakni Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara. Mereka bukanlah sosok biasa, melainkan cucu Prabu Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit, yang juga merupakan putra Prabu Andayaningrat—penguasa terakhir Kadipaten Pengging.
Pengging, yang kini menjadi bagian wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada masa lalu merupakan sebuah kerajaan kecil yang berdiri kokoh di pedalaman Jawa. Setelah wafatnya Prabu Andayaningrat, status Pengging merosot menjadi kadipaten yang terbagi menjadi dua wilayah, Pengging Tua dan Pengging Muda, masing-masing dikelola oleh keturunan dan sentana yang dipercaya.
Namun, nasib kedua pangeran muda ini berubah drastis setelah ibunda mereka, Retno Pembayun, wafat. Dalam kondisi yatim piatu, Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara diangkat sebagai putra oleh kakek mereka sendiri, Prabu Brawijaya V (Sri Prabu Kertawijaya), di pusat Kerajaan Majapahit. Di sinilah mereka menerima pendidikan dan pembinaan dari Ratu Dwarawati, permaisuri Majapahit yang berasal dari Champa dan dikenal sebagai seorang muslimah taat serta wanita bijaksana.
Ratu Dwarawati bukan hanya seorang pengasuh biologis, melainkan juga pembimbing spiritual yang mengantar kedua pangeran dan keturunan kerajaan lainnya memasuki dunia baru pluralitas agama, khususnya Islam yang mulai berkembang pesat di pelabuhan-pelabuhan Jawa. Ia menjadi figur transformatif, menanamkan nilai-nilai Islam kepada generasi bangsawan yang menjadi pelaku utama penyebaran agama baru tersebut.
Dari rahim pernikahan Sri Prabu Kertawijaya dan Ratu Dwarawati lahir pula sederet tokoh yang kemudian dikenal sebagai pionir Islamisasi Jawa: Arya Damar (Adipati Palembang), Bhattara Katong (Adipati Ponorogo), Arya Lembu Peteng (Adipati Pamadegan), Arya Menak Koncar (Adipati Lumajang), dan Raden Patah di Demak, yang kelak menjadi raja pertama Kesultanan Demak. Tokoh-tokoh ini menggambarkan bagaimana darah Majapahit berpadu dengan ruh dakwah Islam dalam mencipta era baru.
Selain itu, tokoh penting lain adalah Raden Rahmat, keponakan Ratu Dwarawati yang dikenal luas sebagai Sunan Ampel. Bersama cucunya, Sunan Bonang, mereka menjadi ujung tombak Walisongo dalam menyebarkan Islam secara sistematik dan spiritual di Jawa. Dalam lingkungan inilah Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara tumbuh, hidup bersama dan belajar dalam suasana religius yang erat dan penuh makna.
Namun, sejarah mencatat bahwa pasca runtuhnya Majapahit dan kebangkitan Demak sebagai kekuatan Islam, Ki Ageng Pengging (nama lain Raden Kebo Kenanga) memilih jalan berbeda. Ia menolak tunduk pada kekuasaan Demak dan lebih memilih hidup sederhana sebagai petani dan santri di Pengging, membina masyarakat melalui pendidikan agama dan kehidupan spiritual. Sementara saudaranya, Raden Kebo Kanigara, memilih menjadi pertapa yang mengembara jauh meninggalkan dunia keduniawian.
Baca Juga : Tips Menyiapkan Dana Pendidikan Anak meski Ekonomi Lagi Sulit
Pilihan hidup Ki Ageng Pengging sebagai petani dan guru spiritual rakyat ini menandai transformasi sosial dan kultural penting. Dalam tradisi Babad Tanah Jawi dan Serat Kandaning Ringgit Purwa, ia digambarkan sebagai tokoh yang menegaskan ajaran sufistik manunggaling kawula gusti—sebuah konsep kesatuan antara hamba dan Tuhan yang kontroversial di masa itu.
Kesederhanaan dan kharismanya justru menimbulkan kecurigaan di kalangan penguasa Demak. Sultan Trenggana merasa terganggu dengan pengaruh Ki Ageng yang tak berada dalam kendali istana. Maka, Sunan Kudus, ulama yang dikenal tegas dan ortodoks, dikirim untuk memeriksa dan menindak. Debat terbuka terjadi antara keduanya, dengan tuduhan bahwa Ki Ageng Pengging menyebarkan ajaran sesat dan berpotensi membangun kekuatan tandingan.
Meski membantah dan menegaskan bahwa dirinya hanya menjalani jalan spiritual tanpa ambisi politik, Ki Ageng Pengging akhirnya dihukum mati dalam sebuah eksekusi yang tercatat secara rinci dalam sumber-sumber sejarah dan babad Jawa. Versi populer menyebutkan bahwa ia memohon agar Sunan Kudus sendiri mengakhiri hidupnya dengan cara menyayat lengannya menggunakan keris. Dalam keadaan duduk, ia wafat dengan penuh ketenangan, menandai akhir perjalanan seorang spiritualis yang menolak tunduk pada tekanan politik.
Meninggalnya Ki Ageng Pengging bukanlah titik akhir. Putranya, Raden Jaka Tingkir, kemudian mendirikan Kesultanan Pajang, yang menjadi jembatan bagi lahirnya Kesultanan Mataram Islam. Dengan demikian, dua kerajaan besar dalam sejarah Islam Jawa justru berasal dari rahim seorang tokoh yang pernah dicap sesat dan dianggap ancaman oleh kekuasaan Demak.
Sementara itu, wafatnya Ratu Dwarawati sendiri menandai peralihan simbolis antara era Hindu-Buddha Majapahit dan dominasi Islam Demak. Upacara pemakamannya di Karang Kemuning diwarnai oleh tradisi campuran antara ritual lama dan doa Islam, menegaskan bagaimana Islam telah menjadi jantung budaya Jawa yang baru.
Kisah Ki Ageng Pengging dan Ratu Dwarawati adalah cermin dari pergeseran kekuasaan, budaya, dan spiritualitas di Tanah Jawa. Mereka mewakili lapisan-lapisan kompleks sejarah di mana darah bangsawan Majapahit bertemu dengan semangat dakwah Islam, membentuk fondasi utama perkembangan peradaban Jawa Islam yang kita kenal sekarang.
Ki Ageng Pengging: Fondasi Sunyi Peradaban Jawa Pasca-Demak
Dalam dinamika sejarah Jawa, tokoh-tokoh besar kerap dikenang karena kuasa dan perang. Namun sesekali, sejarah disusun oleh mereka yang menolak tahta dan memilih sunyi. Salah satunya adalah Ki Ageng Pengging—nama yang mungkin tak sepopuler Sultan Trenggana atau Panembahan Senapati, tetapi peran dan warisannya jauh menjangkau ke masa depan. Membahasnya bukan semata urusan biografi seorang santri tua dari lereng Merapi, melainkan menggali akar dalam dari terbentuknya poros kekuasaan baru di Jawa setelah runtuhnya Demak.
Ki Ageng Pengging, yang bernama asli Raden Kebo Kenanga, adalah bangsawan dari Kadipaten Pengging dan cucu Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Ia hidup pada masa transisi yang sangat menentukan: dari kejayaan Hindu-Buddha ke dominasi Islam, dari Majapahit ke Demak. Namun alih-alih menjadi raja atau adipati, ia memilih menjadi santri, petani, dan guru ruhani, serta menjauh dari segala hiruk-pikuk kekuasaan.
Mengapa Penting Dibahas?
Karena dari garis keturunannya, Jawa akan dibentuk ulang. Ia bukan raja, tapi ayah dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), pendiri Kesultanan Pajang, kerajaan Islam pertama setelah Demak runtuh. Sultan Hadiwijaya ini kemudian menikahkan putranya, Pangeran Benawa, dengan tokoh perempuan penting: Ratu Mas Hadi, putri Panembahan Hanyakrawati—anak dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.
Dari pernikahan antara darah Pajang dan Mataram itulah lahir Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar dalam sejarah Islam Jawa abad ke-17. Maka, dari Ki Ageng Pengging lah mengalir darah spiritual dan dinasti yang mengikat Demak, Pajang, dan Mataram menjadi satu kontinuitas sejarah.
Ki Ageng Pengging tidak hanya mewariskan garis keturunan. Ia juga dikenal sebagai murid dan penerus pemikiran Syekh Siti Jenar, seorang tokoh kontroversial dalam Wali Songo yang mengajarkan ajaran manunggaling kawula gusti—kesatuan antara hamba dan Tuhan. Dalam ajaran ini, spiritualitas tidak dibangun atas dogma, tapi atas pencarian makna yang otentik dan kebebasan berpikir.
Pilihan hidupnya menjadi petani dan guru spiritual rakyat, bukan sekadar laku pribadi, tetapi bentuk perlawanan diam terhadap struktur kekuasaan Demak yang menilai kebenaran dari pusat politik. Ia dihukum mati bukan karena memberontak secara militer, melainkan karena pengaruh moral dan intelektualnya terlalu luas untuk dikendalikan.
Historiografi klasik seringkali melupakan tokoh seperti Ki Ageng Pengging karena ia tidak pernah mendirikan istana atau memimpin pasukan. Namun dalam tradisi babad dan silsilah Jawa, namanya selalu muncul sebagai simpul penting antara masa lalu dan masa depan. Ia adalah penghubung antara spiritualitas Majapahit dan kesultanan Islam, antara dunia batin dan dunia kekuasaan.
Bila Majapahit runtuh dalam perang saudara, dan Demak hancur oleh konflik internal, maka fondasi Kesultanan Pajang dan Mataram dibangun atas semangat pengabdian dan pengajaran yang diwariskan oleh Ki Ageng Pengging. Ia tak menciptakan kerajaan dengan pedang, tapi dengan akhlak, ilmu, dan kesetiaan pada jalan sunyi.
Dengan demikian, menulis tentang Ki Ageng Pengging adalah menulis tentang fondasi tak terlihat dari sejarah Jawa. Dialah akar dari pohon kekuasaan Islam Jawa: tak tampak di mahkota, tapi menancap dalam di tanah sejarah.
______________
Catatan Redaksi: artikel ini merupakan hasil rangkuman berbagai sumber