JATIMTIMES - Dalam sejarah Islam di Nusantara, nama Syekh Siti Jenar selalu mengundang perdebatan. Ia digambarkan sebagai seorang sufi yang ajarannya dianggap kontroversial, hingga akhirnya dihukum mati oleh Wali Songo. Namun, historiografi yang berkembang menunjukkan banyak distorsi sejarah. Salah satunya adalah keberadaan dua tokoh yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, yakni Hasan Ali dan San Ali Anshar.
San Ali Anshar al-Tabrizi al-Isfabhani adalah seorang perantau dari Isfahan, Persia. Ia datang ke Baghdad dengan ambisi besar dalam ilmu filsafat dan kebatinan. Kecerdasannya tidak diragukan, begitu pula kefasihannya dalam berbicara. Namun, dalam perjalanannya ke Nusantara, ia justru menjadi penyebar ajaran yang menyimpang, bahkan menyesatkan, dengan mengaku sebagai Syekh Siti Jenar.
Baca Juga : Debut Buruk Kluivert Jangan Jadi Start Kemunduran Sepak Bola Indonesia
Kisah San Ali Anshar yang berakhir tragis di tiang eksekusi bukan sekadar cerita tentang seorang tokoh yang dihukum mati. Ini adalah bagian dari upaya besar para wali dalam menjaga kemurnian ajaran Islam di Nusantara dari penyimpangan dan fitnah yang sengaja disebarkan oleh kelompok tertentu.
San Ali Anshar: Dari Persia ke Nusantara
San Ali Anshar berasal dari lingkungan cendekiawan di Isfahan. Ia dikenal haus akan ilmu pengetahuan dan memiliki kecenderungan kuat dalam kajian filsafat serta mistisisme. Namun, dalam banyak hal, pemikirannya sering kali bertentangan dengan para ulama ortodoks, termasuk dengan Syekh Datuk Abdul Jalil, yang dikenal sebagai sosok yang mendidik Syekh Siti Jenar dalam tarekat dan makrifat.
Ketika sampai di Nusantara, San Ali Anshar mulai menarik perhatian banyak orang dengan ajaran-ajarannya yang terdengar revolusioner. Namun, bagi para wali, ajarannya lebih dekat dengan penyimpangan ketimbang pencerahan spiritual.
San Ali Anshar mengajarkan konsep Wahdat al-Wujud secara terbuka, sesuatu yang sangat berbahaya pada masa itu. Berbeda dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang lebih menekankan Kesatuan Penyaksian (Wahdat asy-Syuhud), San Ali Anshar justru mengajarkan bahwa manusia adalah jelmaan Tuhan. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam diri para rasul terdapat sifat Ilahiyyah yang menitis dari satu rasul ke rasul lainnya.
Tidak berhenti di situ, San Ali Anshar mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW sekaligus titisan Wisnu, Wakil Tripurusa (Brahma-Wisnu-Syiwa). Klaim ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi berhasil menarik perhatian para pengikut yang masih memiliki akar kepercayaan Hindu-Buddha yang kuat.
Selain itu, ia juga mengajarkan ritual zikir berjemaah laki-laki dan perempuan secara campur dengan gaya yang lebih menyerupai trance atau kesurupan. Ritual ini banyak dilakukan di makam-makam tokoh suci dan memiliki kemiripan dengan praktik yang dilakukan oleh kelompok Syiah Rafidhah.
Akibat penyebaran ajaran-ajaran ini, namanya mulai diperhitungkan oleh para penguasa Islam di Nusantara. Namun, karena ia mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, maka ajarannya pun melekat pada sosok tersebut dalam berbagai babad dan serat. Inilah awal mula fitnah yang membuat nama Syekh Siti Jenar dikaitkan dengan ajaran sesat.
Salah satu pengaruh ajaran San Ali Anshar yang paling mengkhawatirkan adalah praktik bebas dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Seorang muridnya, Ki Ageng Lontang, bahkan dikisahkan melakukan hubungan suami-istri di halaman masjid setelah shalat Jumat. Praktik semacam ini, yang diklaim sebagai ajaran Syekh Siti Jenar, adalah bagian dari warisan ajaran San Ali Anshar.
Lebih jauh, kebiasaan kungkum bersama antara laki-laki dan perempuan dalam ritual tertentu juga dinisbahkan kepada ajaran Syekh Siti Jenar, padahal sejatinya itu adalah tradisi warisan San Ali Anshar yang kemudian bertahan dalam beberapa komunitas tertentu hingga masa kini.
Karena berbagai penyimpangan ini, Wali Songo menyebut ajaran San Ali Anshar dan Hasan Ali sebagai Suluk Malang Sungsang, sebuah jalan rohani yang justru menjauhkan para pengikutnya dari Kebenaran Sejati.
Eksekusi Mati: Akhir Perjalanan San Ali Anshar
Setelah bertahun-tahun membiarkan ajaran San Ali Anshar menyebar, para wali akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan. Jika awalnya fitnah yang berkembang menyebut bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati di Masjid Agung Demak oleh Wali Songo, maka fakta sejarah menunjukkan bahwa hukuman sebenarnya dijatuhkan kepada dua tokoh yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar: Hasan Ali dan San Ali Anshar.
Hasan Ali dijatuhi hukuman di Ndalem Kanggaraksan, Cirebon, dengan eksekusi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati menggunakan keris Kantanaga. Sementara itu, San Ali Anshar dihukum mati di Pamantingan, Demak, oleh Sunan Kalijaga.
Dalam beberapa catatan seperti Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Tanah Sunda, disebutkan bahwa eksekusi Hasan Ali dilakukan oleh Sunan Kudus atas perintah Sunan Gunung Jati. Namun, yang jelas, eksekusi tidak dilakukan di dalam masjid, seperti yang selama ini disebarluaskan oleh kelompok-kelompok anti-Islam atau oleh intelektual kolonial Belanda yang berusaha mendiskreditkan para wali.
Baca Juga : Apa Arti 'Velocity', Aksi TikTok yang Kerap Dilakukan saat Bukber
Para wali menegaskan bahwa masjid adalah tempat suci untuk ibadah, bukan tempat eksekusi. Oleh karena itu, berita tentang eksekusi di Masjid Agung Demak adalah propaganda yang dibuat oleh para pengikut San Ali Anshar untuk menyudutkan Wali Songo.
Membongkar Distorsi Sejarah
Sejarah Syekh Siti Jenar telah mengalami banyak distorsi, salah satunya akibat keberadaan dua tokoh yang mengaku sebagai dirinya. Hasan Ali dan San Ali Anshar adalah tokoh yang menyebarkan ajaran menyimpang, mengatasnamakan Syekh Siti Jenar, sehingga menyebabkan munculnya fitnah besar di kalangan umat Islam Nusantara.
Eksekusi mati terhadap San Ali Anshar dan Hasan Ali bukanlah tindakan semata-mata karena ajaran mereka yang menyimpang, tetapi juga karena kejahatan moral dan politik yang mereka lakukan. Mereka menggunakan nama Syekh Siti Jenar untuk mengembangkan ajaran sesat dan membangun pengaruh di masyarakat dengan cara yang menyesatkan.
Dengan mengungkap fakta ini, diharapkan kita dapat memahami sejarah secara lebih objektif dan tidak lagi terjebak dalam mitos bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Wali Songo karena ajarannya. Yang dihukum mati adalah mereka yang mencemarkan namanya dan merusak ajarannya yang sejati.
Syekh Siti Jenar, yang memiliki nama asli Syekh Datuk Abdul Jalil, berasal dari garis keturunan ulama besar dan bangsawan yang bermuara pada Rasulullah Muhammad SAW. Berdasarkan Naskah Wangsakerta, ia lahir di Malaka sebagai putra Syekh Datuk Sholeh dan cucu Syekh Datuk Isa, seorang ulama dari Bharata Nagari (India). Silsilahnya terhubung dengan Sayyid Abdul Malik dari Bharata Nagari hingga Syekh Abdul Qadir al-Jilani, menunjukkan bahwa ia bukan tokoh mistis yang muncul tiba-tiba, melainkan bagian dari jaringan ulama berpengaruh dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Syekh Datuk Sholeh, ayahnya, terpaksa meninggalkan Malaka akibat konflik politik setelah Sultan Muhammad Iskandar Syah digulingkan pada 1424 M. Ia awalnya menetap di Palembang, tetapi karena masih menghadapi ancaman, ia berpindah ke Cirebon di bawah perlindungan Ki Samadullah (Pangeran Walangsungsang), seorang tokoh penting dalam Islamisasi di Jawa Barat.
Syekh Siti Jenar sendiri lahir sekitar 1426 M dan dibesarkan di lingkungan Pakuwuan Caruban (Cirebon). Ia diasuh oleh Ki Danusela dan dididik oleh Syekh Datuk Kahfi, yang membentuk dasar keilmuannya. Setelah dewasa, ia memperdalam tasawuf dan mengembangkan ajaran yang kemudian menjadi kontroversial.
Tidak seperti para wali lain, makam Syekh Siti Jenar masih menjadi perdebatan. Beberapa lokasi yang diklaim sebagai makamnya antara lain Kompleks Pemakaman Kemlaten (Cirebon), Bukit Amparan Jati (Cirebon), Desa Lemah Abang (Jepara), dan Mantingan (Tuban). Pengikut tarekat Akmaliyah meyakini bahwa makamnya sengaja dibiarkan tanpa tanda untuk menolak pengkultusan individu.
Banyak naskah seperti Serat Seh Siti Jenar dan Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa ia dieksekusi oleh Wali Songo karena ajarannya dianggap sesat. Namun, kajian kritis terhadap Serat Bayanullah menunjukkan bahwa ia justru dihormati oleh para wali. Syekh Siti Jenar menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam pengasingan di Kemlaten, Cirebon, bersama sahabat dan muridnya seperti Nyi Mas Gandasari dan Ki Ageng Pengging.
Ketika wafat sekitar 1530 M, jenazahnya tetap dimakamkan dengan penghormatan oleh Wali Songo, menegaskan bahwa ia tetap dianggap sebagai ulama besar. Kisah eksekusi tampaknya lebih bermuatan politis, berkaitan dengan peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak.
Sejarah Syekh Siti Jenar perlu dikaji dengan pemisahan antara mitos dan fakta. Narasi bahwa ia berasal dari cacing adalah distorsi yang bertujuan mendiskreditkannya. Berdasarkan bukti silsilah dan sejarah, ia adalah seorang ulama sufi yang memiliki pengaruh besar dalam Islamisasi Nusantara. Kisah hidup dan wafatnya yang kontroversial mencerminkan dinamika intelektual Islam di tanah Jawa yang masih relevan hingga kini.