JATIMTIMES - Keberadaan Jepara sebagai kekuatan maritim yang disegani di Nusantara pada abad ke-16 perlahan meredup seiring dengan ekspansi militer Mataram. Dinasti Kalinyamat yang pernah berjaya di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat akhirnya jatuh ke tangan Panembahan Senapati pada penghujung abad ke-16, menandai transisi besar dalam sejarah politik pesisir utara Jawa.
Kejayaan Jepara sebagai pusat perdagangan dan kekuatan militer maritim berakhir. Dan daerah ini harus menerima realitas baru di bawah hegemoni Mataram yang berorientasi agraris dan ekspansionis.
Jepara-Kalinyamat Pasca Ratu Kalinyamat
Baca Juga : Yupi Indo Jelly Gum Siap Melantai di BEI, Bagaimana Prospeknya?
Setelah wafatnya Ratu Kalinyamat, Jepara masih mempertahankan statusnya sebagai kerajaan pesisir yang kuat. Catatan Belanda dan Portugis menyebutkan bahwa hingga 1593, Jepara masih diperintah oleh seorang raja yang tidak disebutkan namanya. Raja ini diketahui berhasil merebut Pulau Bawean atau Lubak dan menempatkan seorang satria beserta seratus anak buahnya sebagai penguasa di sana.
Lima tahun kemudian, pada 1598, Jepara masih memiliki seorang raja yang berkuasa, baik di laut maupun di darat. Armada pelayaran Belanda yang pertama singgah di Jepara pada tahun itu mencatat bahwa kota ini hanya dikelilingi pagar kayu, bukan tembok batu seperti pelabuhan besar lainnya di Jawa. Namun, meski tanpa perlindungan tembok batu, Jepara tetap dikenal sebagai pusat perdagangan yang penting.
Pada 1599, Babad Sangkala mencatat runtuhnya Jepara dengan istilah "bedhahé Kalinyamat". Istilah ini menandakan bahwa kerajaan yang sebelumnya disegani itu mengalami kehancuran. Tidak diketahui secara pasti bagaimana proses kejatuhan ini terjadi, tetapi berbagai sumber menunjukkan bahwa pada periode tersebut, pengaruh Mataram mulai merambah wilayah pesisir utara Jawa.
Ekspansi Mataram dan Jatuhnya Kalinyamat
Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram, adalah tokoh utama dalam proses penaklukan wilayah pesisir utara Jawa. Berbeda dengan kerajaan pesisir yang berorientasi pada perdagangan dan hubungan maritim, Mataram lebih mengedepankan ekspansi militer berbasis agraris.
Mataram yang mulai meneguhkan kekuasaannya sejak 1580-an memiliki ambisi besar untuk menyatukan Jawa di bawah satu kepemimpinan. Setelah menaklukkan Pajang pada akhir abad ke-16, Panembahan Senapati mulai mengarahkan perhatiannya ke wilayah pesisir utara, termasuk Jepara.
Pada 1599, kekuasaan Jepara secara resmi berakhir. Meski tidak ada catatan spesifik mengenai peristiwa militer yang menyebabkan kejatuhan ini, dapat diduga bahwa Mataram melakukan ekspansi besar ke daerah pesisir, baik melalui jalur diplomasi maupun peperangan. Jepara, yang sejak lama dikenal sebagai kerajaan yang kaya dan strategis, menjadi sasaran utama Mataram dalam usahanya mengamankan jalur perdagangan dan menguasai pelabuhan utama di utara Jawa.
Jepara di Bawah Mataram
Setelah jatuh ke tangan Mataram, status Jepara mengalami perubahan signifikan. Jika sebelumnya dikenal sebagai kerajaan merdeka dengan kekuatan maritim yang besar, Jepara kini menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram. Catatan Belanda pada 1613 menyebutkan bahwa Jepara masih memiliki "raja-raja" yang berkuasa di daerah tersebut, tetapi mereka berada di bawah kendali raja Mataram.
Pada 1615, istilah "raja" secara resmi digantikan dengan "gubernur" dalam dokumen-dokumen Belanda. Pergantian istilah ini menunjukkan bahwa Jepara tidak lagi memiliki status kerajaan merdeka, melainkan menjadi daerah administratif di bawah kekuasaan Mataram. Ini berbeda dengan Surabaya, yang hingga 1625 masih disebut sebagai "kerajaan" oleh Belanda.
Kemunduran Jepara sebagai Pusat Perdagangan
Pada masa kejayaannya, Jepara dikenal sebagai pusat perdagangan utama di Jawa. Orang Portugis bahkan mencatat bahwa Jepara adalah kota pelabuhan paling terkenal di seluruh Jawa, dan banyak daerah lain tunduk kepada kekuasaannya. Namun, setelah jatuh ke tangan Mataram, status ini perlahan memudar.
Mataram yang lebih berorientasi agraris tidak menaruh perhatian besar pada perdagangan maritim. Akibatnya, aktivitas perdagangan yang dulu ramai di Jepara mulai menurun. Catatan Belanda pada awal abad ke-17 menyebutkan bahwa Jepara tidak lagi menjadi pusat perdagangan utama, dan banyak pedagang beralih ke pelabuhan lain yang lebih bebas dari pengaruh Mataram.
Baca Juga : Anti Mepet-mepet, ini Tips Agar Sahur Bangun Lebih Awal
Meski demikian, Jepara masih mempertahankan beberapa unsur kejayaannya di masa lalu. Salah satu peninggalan yang mencerminkan status Jepara sebagai pusat kekuasaan adalah keberadaan jabatan Kiai Demang Laksamana. Jabatan ini ditemukan dalam dokumen-dokumen Belanda dari 1622 hingga 1674, menunjukkan bahwa meski telah jatuh ke tangan Mataram, Jepara tetap memiliki sistem pemerintahan lokal yang berakar pada tradisi maritimnya.
Istana Jepara: Sisa Kejayaan Masa Lalu
Salah satu peninggalan terpenting dari era kerajaan Jepara adalah istana rajanya yang terletak di kawasan yang kini menjadi kabupaten. Nicolaus de Graeff, seorang penjelajah Belanda, menyebutkan bahwa istana ini dibangun dengan cara yang "tidak baik". Sementara A. Bogaert dalam Historische Reizen menggambarkan istana itu lebih menyerupai labirin daripada kediaman kerajaan.
Bangunan ini terdiri dari banyak struktur berbahan kayu dan batu. Salah satu ciri khasnya adalah keberadaan gajah di halaman istana, yang memberikan kesan sebagai kediaman seorang raja besar. Sayangnya, pada akhir abad ke-17, istana ini dirombak dan digantikan dengan bangunan baru yang lebih sesuai dengan kebijakan pemerintahan kolonial pada masa itu.
Kalinyamat dan Akhir Dinasti Maritim di Jawa
Jatuhnya Kalinyamat ke tangan Mataram bukan sekadar pergantian kekuasaan, tetapi juga menandai berakhirnya era kerajaan maritim di Jawa. Sebagai salah satu pusat perdagangan dan kekuatan militer laut yang tangguh, Jepara pernah memainkan peran penting dalam sejarah Nusantara. Namun, ekspansi agraris yang dilakukan oleh Mataram mengubah struktur kekuasaan di Jawa, dengan menekankan dominasi kerajaan pedalaman atas wilayah pesisir.
Meskipun kekuatan politik Jepara meredup, jejak kejayaannya tetap terlihat dalam berbagai catatan sejarah dan peninggalan budaya. Hingga kini, Jepara masih dikenal sebagai kota yang memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap kolonialisme, sebagaimana diwariskan oleh Ratu Kalinyamat dan para penguasa setelahnya.
Jepara bukan hanya sekadar kota pesisir yang pernah berjaya, tetapi juga simbol ketahanan dan keberanian dalam menghadapi perubahan zaman. Kejatuhannya ke tangan Mataram merupakan bagian dari dinamika politik yang lebih besar di Jawa, tetapi semangat perjuangan yang diwariskan oleh para penguasanya tetap hidup dalam ingatan sejarah Nusantara.