JATIMTIMES- Situs Setono Gedong, yang terletak di jantung Kota Kediri, bukan sekadar tempat bersejarah. Situs ini menyimpan cerita para tokoh besar, termasuk wali, ulama, dan pejabat tinggi dari masa kerajaan hingga era kolonial.
Salah satu tokoh penting yang dimakamkan di sini adalah Raden Mas Tumenggung Panji Tondo Adi Tjokro, Bupati Kediri yang menjabat dari tahun 1901 hingga 1914. Kepemimpinannya menjadi saksi hidup dari letusan Gunung Kelud hingga wabah pes yang melanda Kediri.
Baca Juga : Sopir Truk Demo Pembatasan Jalan, Halaman Pemkab Jember Mirip Terminal Angkutan Barang
Namun, cerita tentang Tondo Adi Tjokro seringkali terlupakan, tenggelam oleh nama-nama besar seperti Syech Samsudin al-Wasil atau Susuhunan Amangkurat III yang juga dimakamkan di situs ini. Sebuah narasi yang menanti untuk dihidupkan kembali.
Sebuah Era yang Bergejolak
Raden Mas Tumenggung Panji Tondo Adi Tjokro lahir dari keluarga ningrat Kediri. Sebagai putra dari Bupati Kediri sebelumnya, RMT Panji Djojo Koesoemo, ia telah memahami seluk-beluk pemerintahan sebelum menjabat sebagai bupati pada 2 Maret 1901. Namun, masa kepemimpinannya tidak berjalan mulus.
Dua bulan setelah ia dilantik, Gunung Kelud, yang menjadi simbol alam Kediri, meletus dahsyat. Letusan malam hari pada 22-23 Mei 1901 itu mengubur desa-desa di sekitarnya dengan material vulkanik, menghancurkan lahan pertanian, dan menewaskan ratusan jiwa. Tidak hanya menjadi bencana alam, peristiwa ini juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang menghantam wilayah Kediri.
“Dalam situasi seperti ini, seorang pemimpin diuji. RMT Tondo Adi Tjokro adalah sosok yang berusaha bangkit bersama rakyatnya. Sayangnya, narasi tentang upayanya jarang dituturkan,” ungkap M. Yusuf Wibisono, juru kunci Situs Setono Gedong, Senin (3/2/2025).
Perubahan Struktur Pemerintahan
Tahun-tahun awal kepemimpinan Tondo Adi Tjokro juga menandai perubahan besar dalam administrasi Hindia Belanda. Pada 1 April 1906, Kota Kediri resmi menjadi wilayah otonom berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 13. Pemisahan ini menjadi langkah awal modernisasi tata kota, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam pembagian wewenang antara kabupaten dan kota.
Sebagai bupati, Tondo Adi Tjokro diangkat menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteraad). Posisi ini menempatkannya di antara kebijakan pemerintah kolonial dan kebutuhan masyarakat lokal. Di satu sisi, ia harus menjalankan arahan pemerintah Hindia Belanda, sementara di sisi lain, ia harus merangkul rakyatnya yang menghadapi berbagai kesulitan akibat perubahan tersebut.
Wabah Pes dan Keputusan Berat
Puncak krisis kepemimpinan Tondo Adi Tjokro terjadi pada 1911, ketika wabah pes (black death) melanda Kediri. Wabah ini menyebar cepat, merenggut banyak nyawa, dan menyebabkan ketakutan yang meluas. Untuk menangani situasi ini, pemerintah Hindia Belanda membangun laboratorium penelitian pes di kawasan Tosaren, sebelah timur Sumber Etje. Namun, upaya ini belum cukup untuk meredam dampak penyakit yang terus meningkat hingga 1914.
“Wabah pes adalah cobaan terbesar bagi Kediri. Dalam situasi ini, Tondo Adi Tjokro menunjukkan dedikasinya sebagai pemimpin, meski akhirnya ia memutuskan untuk mundur,” jelas Yusuf Wibisono.
Baca Juga : Link Nonton Drama Korea Study Group dan Sinopsis Filmnya
Pada puncak wabah di tahun 1914, Tondo Adi Tjokro memilih mengundurkan diri dari jabatannya. Keputusan ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti tanggung jawabnya untuk memberi ruang bagi pemimpin baru dengan energi segar. Setelah mundur, ia kembali ke Baletur, sebuah wilayah yang menjadi tempat peristirahatan keluarga besar bupati Kediri.
Setono Gedong: Makam Para Tokoh
Setelah wafat, RMT Tondo Adi Tjokro dimakamkan di Situs Setono Gedong, tempat peristirahatan tokoh-tokoh besar Kediri. Situs ini dikenal sebagai kompleks makam yang tidak hanya menyimpan sejarah Islam, tetapi juga cerita tentang kebangsawanan Jawa.
Nama-nama seperti Syech Samsudin al-Wasil, Susuhunan Amangkurat III, dan Pangeran Teposono menjadi magnet bagi para peziarah dan peneliti sejarah. Keberadaan makam Tondo Adi Tjokro di tempat ini memperkaya narasi situs sebagai penghubung antara masa kerajaan dan era kolonial.
Menurut sejarah lisan yang berkembang, Syech Samsudin al-Wasil, tokoh paling terkenal di Setono Gedong, adalah ulama besar abad ke-12 yang memiliki hubungan dekat dengan Prabu Jayabaya, Raja Kediri. Peranannya dalam menyebarkan Islam di pedalaman Kediri menjadi salah satu alasan mengapa makamnya banyak dikunjungi hingga kini.
Menghidupkan Kembali Kisah yang Terlupakan
Kepemimpinan Tondo Adi Tjokro di masa-masa sulit merupakan kisah yang layak untuk diangkat kembali. Dalam sejarah Kediri, ia adalah sosok yang mengabdi dengan tulus di tengah berbagai tantangan. Dari letusan Gunung Kelud hingga wabah pes, ia tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai pemimpin daerah.
“Saya berharap generasi muda dapat belajar dari beliau. Tondo Adi Tjokro bukan sekadar bupati; ia adalah bagian penting dari sejarah Kediri yang harus dihormati,” kata Yusuf Wibisono menutup perbincangan.
Melalui cerita ini, Situs Setono Gedong menjadi saksi bisu dari perjalanan seorang pemimpin yang setia pada tugasnya. Lebih dari sekadar kompleks makam, tempat ini adalah pengingat akan kejayaan, krisis, dan kebijaksanaan masa lampau yang seharusnya tidak pernah dilupakan.