JATIMTIMES - Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), Dr. Arfan Kaimuddin, SH, MH, memberikan kritik tajam terhadap sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Menurutnya, beberapa ketentuan dalam RUU tersebut berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan yang dapat mengganggu integritas sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dalam pernyataannya belum lama ini, Dr. Arfan secara khusus menyoroti Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP yang memungkinkan masyarakat melaporkan langsung sebuah kasus kepada kejaksaan apabila dalam waktu 14 hari laporan mereka tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Menurutnya, ketentuan ini berisiko menciptakan dualisme kewenangan antara penyidik kepolisian dan kejaksaan.
Baca Juga : Viral, Kemacetan Panjang di Bromo Saat Libur Isra Miraj dan Imlek
“Kewenangan penyidikan adalah bagian integral dari sistem peradilan pidana yang diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP. Jika kejaksaan diperbolehkan langsung memproses laporan tanpa melalui mekanisme penyidikan polisi, ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dalam proses hukum,” jelas Dr. Arfan.
Sebagai akademisi dengan konsentrasi hukum pidana, ia menekankan pentingnya pembagian kewenangan berdasarkan asas specialty dan separation of powers. Menurutnya, peran spesifik antara penyidik dan jaksa penuntut umum harus tetap dijaga untuk menghindari intervensi dan konflik kepentingan.
Dr. Arfan juga menyoroti bahwa Pasal 12 Ayat 11 berdampak negatif terhadap asas due process of law prinsip bahwa setiap proses hukum harus dilakukan sesuai prosedur yang ketat dan akuntabel. “Jika penuntut umum langsung terlibat dalam penyidikan, hak-hak tersangka bisa terancam karena tidak ada pembagian kewenangan yang jelas,” tegasnya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa penyidikan merupakan tahap awal yang sensitif dalam sistem peradilan pidana. Kejaksaan, yang fungsi utamanya adalah memproses perkara hasil penyidikan, akan terbebani tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab kepolisian.
Pasal lain yang menjadi perhatian adalah Pasal 111 Ayat 2, yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk mengajukan permohonan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan. Menurut Dr. Arfan, hal ini melanggar prinsip peradilan yang adil dan imparsial (fair trial).
“Jaksa dan polisi adalah bagian dari rantai penegakan hukum yang harus bekerja secara kolaboratif, bukan saling menilai atau mengintervensi. Ketentuan ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang serius,” ujarnya.
Baca Juga : Tak Cukup Dimasukkan dalam Koper Jadi Alasan Pelaku Memutilasi Jasad Uswatun
Dr. Arfan juga mengkritisi perluasan kewenangan kejaksaan yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 dan UU Nomor 11 Tahun 2021. Ia menilai beberapa fungsi tambahan kejaksaan, seperti pengawasan multimedia dan penciptaan kondisi mendukung pembangunan, tidak relevan dengan fungsi utama institusi tersebut sebagai penegak hukum.
“Kejaksaan didesain untuk menegakkan hukum, bukan untuk melaksanakan tugas pembangunan atau pengawasan multimedia yang sifatnya abstrak,” tegasnya. Ia menambahkan, kewenangan ini dapat tumpang tindih dengan institusi lain seperti Kepolisian, TNI, dan BIN.
Sebagai akademisi, Dr. Arfan mengusulkan agar legislator mempertimbangkan kembali ketentuan-ketentuan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia menekankan pentingnya koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dalam membangun sistem peradilan pidana yang efektif.
“Pendekatan dalam sistem peradilan pidana harus menitikberatkan pada koordinasi dan sinkronisasi antar lembaga, bukan memberikan ruang yang justru berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan,” tutupnya.