JATIMTIMES - Pemerintah tengah menggodok aturan baru terkait pembatasan penggunaan media sosial. Aturan ini ditujukan untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial, sebagaimana yang telah diterapkan di beberapa negara lain. Langkah ini mencuat seiring dengan keprihatinan terhadap banyaknya anak di bawah umur yang mengakses platform digital tanpa kendali dan pengawasan memadai.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya (UB) Prof. Anang Sujoko menilai bahwa wacana ini berpotensi membawa dampak positif jika diiringi dengan penerapan sistem yang komprehensif dan akurat. Menurutnya, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui penerapan single ID identity, di mana seluruh aktivitas digital pengguna dihubungkan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Baca Juga : Panen 130 Kg Edamame, Lahan Kosong Jadi Area Produktif di Lapas Kelas I Lowokwaru Malang
"Kalau pemerintah serius menegakkan single identity, usia pengguna dapat teridentifikasi secara akurat. Misalnya, anak usia 7-12 tahun yang seharusnya belum diperbolehkan mengakses media sosial akan lebih mudah diawasi. Namun, hal ini membutuhkan komitmen dan kerja sama yang kuat antara pemerintah dan platform digital," ungkap Prof. Anang.
Prof. Anang menekankan bahwa pembatasan semata tidak cukup tanpa adanya validasi yang akurat dari pihak platform digital. Ia menyoroti bagaimana selama ini banyak anak di bawah umur yang tetap dapat mengakses media sosial dengan memalsukan usia mereka. Sistem validasi yang ada saat ini dianggap masih lemah, bahkan bergantung pada kejujuran pengguna.
"Kalau hanya mengandalkan kejujuran, itu tidak efektif. Anak usia 12 tahun bisa saja mengisi usianya sebagai 17 tahun, dan platform tetap menerima data tersebut. Masalah ini menjadi semakin pelik karena literasi digital masyarakat kita masih rendah," ujar Prof. Anang.
Ia juga menambahkan bahwa mayoritas pengguna seringkali tidak membaca syarat dan ketentuan platform, yang sebenarnya bertujuan melindungi mereka. Dalam data yang dikutipnya, hampir 100 persen pengguna langsung menyetujui syarat tanpa membaca detailnya. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya memahami regulasi dalam penggunaan media sosial.
Meski peran orang tua dalam mengawasi anak-anak tetap penting, Prof. Anang menggarisbawahi bahwa mengandalkan peran orang tua saja tidak cukup. Banyak orang tua yang sibuk dengan pekerjaan, sementara anak-anak mereka mengakses media sosial secara bebas tanpa pengawasan langsung.
"Orang tua tetap memegang peranan penting, tapi tidak bisa bekerja sendiri. Platform digital harus mengambil peran lebih besar dalam memastikan validasi data usia pengguna dan membangun sistem yang akurat. Persyaratan usia yang diterapkan bukan sekadar formalitas, tetapi telah dikaji secara matang berdasarkan aspek kedewasaan dan tanggung jawab," katanya.
Baca Juga : Nyobain MiMo, Kedai Mie di Comboran Tak Kalah dengan Mie Setan atau Mie Gacoan
Langkah menuju pembatasan penggunaan media sosial untuk anak-anak tidak hanya membutuhkan regulasi yang tegas, tetapi juga komitmen bersama antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat. Prof. Anang menegaskan pentingnya meningkatkan literasi digital masyarakat agar mereka lebih memahami risiko dan tanggung jawab dalam penggunaan media sosial.
"Kita perlu memperbaiki budaya literasi digital. Jangan sampai media sosial menjadi ruang yang tidak aman, terutama bagi anak-anak. Perlindungan ini harus menjadi perhatian bersama," tutupnya.
Melalui aturan ini, pemerintah diharapkan dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan sehat bagi generasi muda. Dengan langkah yang tepat dan dukungan semua pihak, dampak negatif media sosial dapat diminimalkan, sementara manfaat positifnya tetap dimaksimalkan.