JATIMTIMES – Kasus dugaan korupsi proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) senilai Rp 1,4 miliar tahun 2022 di Kota Blitar memicu perdebatan publik. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Blitar menetapkan Glady Tri Handono, seorang tenaga fasilitator lapangan, sebagai tersangka. Namun, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sebagai pelaksana proyek dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Blitar yang membidangi proyek tersebut tidak tersentuh hukum.
Ketua Ormas Masyarakat Peduli Blitar (MPB), Haryono, menilai langkah Kejari ini kurang obyektif. “Kejaksaan harus menjerat tersangka dengan minimal dua alat bukti yang sah sesuai hukum. Kenapa hanya fasilitator yang disasar, sementara pelaksana proyek yang bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dibiarkan?” tegas Haryono, Selasa (14/1/2025).
Baca Juga : Anggaran Terbatas, Pemkab Blitar Fokus Perbaikan Jalan Sirip JLS
Haryono juga mendesak agar penanganan kasus ini transparan dan menyeluruh. Menurutnya, kasus ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap potensi keterlibatan pihak-pihak lain. “Kami akan memantau hasil keputusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Blitar. Jika ada indikasi ketidakadilan, MPB akan mengambil langkah hukum lebih lanjut,” ujarnya.
Dalam sidang praperadilan yang diajukan Glady Tri Handono, kuasa hukumnya, Hendi Priono, mengungkap sejumlah kejanggalan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah penetapan status tersangka tanpa hasil audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Hendi menyebut bahwa bukti yang diajukan Kejari berupa Laporan Hasil Perbandingan Volume hanya bersifat analisis konstruksi dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). “Bukti itu bukan hasil audit forensik keuangan yang dilakukan oleh akuntan publik bersertifikasi, melainkan produk individu yang tidak memiliki kewenangan menentukan kerugian negara,” ungkapnya.
Selain itu, Hendi menilai tanggung jawab Glady sebagai fasilitator tidak seharusnya dikaitkan dengan potensi kerugian negara. “Tugas fasilitator sebatas mendampingi teknis lapangan, bukan bertanggung jawab atas perencanaan atau pengelolaan dana,” tambahnya.
Proyek IPAL tahun 2022 ini dilaksanakan oleh KSM Wiroyudhan di Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar. Namun, hingga kini, KSM sebagai pelaksana proyek dan Dinas PUPR yang mengawasi proyek tersebut belum diperiksa secara mendalam.
“Kejaksaan seharusnya memeriksa KSM dan Dinas PUPR karena mereka memiliki peran strategis dalam proyek ini,” kata Haryono. Ia menilai pengusutan yang setengah-setengah hanya akan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum.
MPB juga menyoroti kasus lain yang dinilai mandek di Kejari Kota Blitar. Salah satunya adalah dugaan pungutan liar di Dinas Perhubungan Kota Blitar senilai Rp 2 miliar yang dilaporkan oleh juru parkir pada tahun 2022. Hingga kini, kasus tersebut belum ada perkembangan.
Baca Juga : Profil Rudi Valinka, Sosok Buzzer Jokowi yang Kini Jadi Stafsus Bidang Strategis Komunikasi
“Jangan sampai penegakan hukum di Blitar hanya dijadikan alat transaksional. Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas,” tegas Haryono.
Kasus ini bermula ketika Glady Tri Handono ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Kota Blitar pada Desember 2024. Namun, dalam proses praperadilan, pihak kuasa hukum mempertanyakan dasar penetapan tersebut, mengingat kerugian negara belum dideklarasikan oleh BPK RI atau akuntan publik bersertifikasi.
Hakim PN Blitar yang menangani praperadilan, M Iqbal Hutabarat, menyatakan bahwa keputusan akan mempertimbangkan seluruh fakta yang terungkap di persidangan. “Kami memiliki pertimbangan hukum yang matang berdasarkan alat bukti yang diajukan,” ujarnya saat dikonfirmasi usai sidang.
Kasus ini kini menjadi ujian bagi Kejaksaan Kota Blitar untuk menunjukkan komitmen dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih. Sementara itu, MPB dan masyarakat terus memantau jalannya proses hukum untuk memastikan tidak ada pihak yang kebal dari jerat hukum.