JATIMTIMES - Adanya perayaan tahun baru menandakan berakhirnya satu tahun kalender yang juga menjadi awal bagi tahun berikutnya.
Di Indonesia, tahun baru dirayakan setiap 31 Desember karena negara ini mengadopsi kalender Gregorian, sebagaimana digunakan juga oleh sebagian besar negara di dunia.
Baca Juga : Pemkot Malang Tak Ingin Pasokan Bahan Pokok Terganggu Selama Nataru
Sejarah kalender Gregorian menunjukkan bahwa tradisi memulai tahun baru pada 1 Januari pertama diresmikan oleh Kaisar Romawi Julius Caesar pada 46 sebelum Masehi (SM). Pemimpin Katolik tertinggi, Paus Gregorius XII, juga mengesahkan tradisi ini pada 1582. Kalender Gregorian kemudian diadopsi oleh bangsa Eropa Barat pada 1752.
Umumnya, perayaan tahun baru diisi dengan kegembiraan. Pada momen itu, orang berkumpul bersama keluarga, teman, atau orang tercinta di berbagai tempat seperti alun-alun kota. Mereka menyaksikan beragam pertunjukan, termasuk pesta kembang api, konser musik, dan pentas seni budaya untuk merayakan momen tersebut.
Namun, perayaan itu menimbulkan pertanyaan mengenai hukum merayakannya dalam pandangan Islam. Lantas, apakah boleh merayakan tahun baru Masehi?
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam
Ustaz Abdul Somad (UAS), salah satu penceramah ternama di tanah air, punya pendapat mengenai perayaan malam tahun baru. Dikutip dari Youtube Tsaqofah TV, Abdul Somad menceritakan sejarah penggunaan kalender Masehi di dunia, termasuk Indonesia.
Menurut UAS, kalender Masehi pertama dibuat seorang kaisar dari negeri Romawi bernama Julian. Setiap bulan yang ada di kalender itu kata Somad, memiliki makna tersendiri.
"Setiap bulan ada maknanya, Kaisar Agustinus dibuat Agustus. Ada patung kepalanya dua, namanya patung Januari. Kenapa Januari dibuat awal, karena kepalanya dua, menghadap ke sana (tahun lalu), menghadap ke sana (tahun berikutnya)," kata dia, dikutip Sabtu (28/12/2024).
Saat Kaisar Julian meninggal, kalender tersebut diambil Paus Gregorius dari Vatikan dan diubah namanya menjadi kalender Gregorian. PBB kemudian menjadikan kalender Gregorian sebagai kalender resmi di dunia.
"Yang dulunya kerajaan Islam di Gowa, di Sumatera, Jawa, memakai kalender Hijriah Nabi Muhammad SAW, untuk diseragamkan di seluruh dunia, Indonesia masuk anggota PBB, dikirimilah kalender itu. Maka Abdul Somad pun memakai kalender itu," ujarnya.
Menurut Abdul Somad, umat Islam diperbolehkan menggunakan alat buatan non-Muslim, termasuk kalender Masehi. Tapi ia mengingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti ritual ibadahnya.
"Tapi ketika sudah masuk dalam ritual, ibadah, meniup terompet, itu sudah masuk dalam ritual. Menyalakan lilin itu ritual, apalagi membuang waktu. Apalagi sampai membawa anak gadis orang bukan mahram," paparnya.
Namun ia memperbolehkan umat Islam merayakan tahun baru Masehi dengan menghabiskan waktu ibadah di masjid. "Malam tahun baru, masjid buat tablig akbar, undang ustaz dan lakukan muhasabah, jam 12 jam satu terus," ucapnya.
Selain itu, UAS menyarankan masjid-masjid melakukan pengajian agar pemuda dan warga tidak ikut membakar mercon maupun meniup terompet.
Warga juga bisa menghadiri kajian ilmu di masjid. Atau paling tidak, jika tidak ingin muncul keinginan merayakan, setelah Isya langsung tidur.
"Anak-anak muda yang tidak datang ke masjid, habis Isya tidur. Kalau tidak bisa tidur, makan obat tidur dua biji. Jangan ikut merayakan tahun baru," ujar UAS.
Perkara demikian bisa dijadikan salah satu cara agar tidak ikut merayakan tahun baru Masehi. Apalagi saat ini pengajian-pengajian bisa lihat dari YouTube.
Baca Juga : Meluruskan Sejarah: Syekh Siti Jenar Meninggal secara Wajar, Bukan Dihukum Mati Wali Songo
Menurut UAS, lebih baik warga menyibukkan diri melakukan muhasabah di masjid daripada meniup terompet maupun membakar mercon. Sebab, budaya demikian tidak ada di dalam Islam.
Selain itu, membakar mercon atau kembang api hanya akan merugikan kondisi keuangan. Sebab, uang yang seharusnya bisa dipergunakan untuk beli hal lain yang bermanfaat, malah terbakar dengan membakar mercon.
Maka sebaiknya, hal yang perlu dilakukan adalah merenungi tahun 2024 yang telah dilalui agar pada tahun 2025 bisa menjadi lebih baik.
Penjelasan Buya Yahya
Senada dengan UAS, Ustaz Yahya Zainul Ma'arif Jamzuri atau yang dikenal dengan sapaan Buya Yahya dalam sebuah ceramahnya yang dikutip dalam salah satu tayangan video YouTube menyebutkan bahwa perayaan tahun baru Masehi ini hendaknya dihindari karena budayanya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.
“Tahun baru Masehi, bukan yang dipermasalahkan dzatnya bulan dan hari, tetapi kebiasaan dan kebudayaan yang terjadi di tahun baru tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Buya Yahya menyebutkan umat Muslim hendaknya tidak melakukan perayaan tahun baru karena biasanya hal-hal yang dilakukan dalam perayaan tersebut justru dapat menjerumuskan pada maksiat.
“Apa yang dilakukan umat saat itu? Berhura-hura, berfoya-foya, dan yang banyak merayakan ini orang di luar Islam sana karena bangga dengan tahun baru mereka, kemaksiatan di dalamnya,” ujarnya.
"Jadi, mengikuti budaya-budaya kafir itulah yang tidak diperkenankan. Kalau masalah hari, kita pakai hari, tanggal kita pakai tanggal mereka," imbuhnya.
Selain itu, Buya Yahya membahas suatu hadis yang menggambarkan kondisi umat Muslim yang mengikuti budaya non-Muslim. Meski tampak sepele, namun kita sebagai umat Muslim perlu berhati-hati terhadap budaya non-Muslim yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
"Disebutkan bahwa nanti ada sekelompok dari kalian ini ada yang bakal ngikuti budayanya orang di luar Islam. Budaya, bukan urusan akidah saja, kebiasaan sejengkal demi sejengkal, setengah depa atau sedepa demi sedepa, sampai kalau mereka masuk ke lobang biawak tuh mereka ikut," ujar Buya Yahya memaparkan sebuah hadis.
Lebih lanjut Buya Yahya mengatakan, kebiasaan mengikuti budaya non-Muslim disebabkan oleh lemahnya pendirian seorang Muslim. Beberapa umat Muslim tampak bersuka cita merayakan tahun baru Masehi, namun tidak dengan tahun baru Hijriyah yang merupakan tahun Islam.
"Begitulah umat Islam yang lemah pendiriannya, bekerja ngikut-ngikut saja. Dan memang umat Islam ini banyak yang lemah pendiriannya. Kita itu heboh dengan merayakan tahun baru Masehi," kata Buya Yahya. "Giliran tahun baru Hijriyah, tidur. Muncul kemunafikan di sini," sambungnya.