free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Meluruskan Sejarah: Syekh Siti Jenar Meninggal secara Wajar, Bukan Dihukum Mati Wali Songo

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

27 - Dec - 2024, 14:31

Placeholder
Foto kiri: Situs Tri Tingal, saksi bisu sejarah peradaban Jawa yang terletak di Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar. Situs ini dipercaya menjadi tempat penting pertemuan antara Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Kebo Kenongo, dan Sunan Kalijaga. Foto kanan: Ilustrasi sosok Syekh Siti Jenar. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah panjang Islam Jawa, nama Syekh Siti Jenar muncul bak legenda kontroversial. Figur ini sering digambarkan sebagai sosok pembangkang yang mengusung ajaran “keberadaan manusia yang melebur dalam Tuhan,” sebuah konsep yang oleh sebagian pihak dianggap menyimpang dari doktrin Islam.

Namun, di balik narasi yang bercampur mitos dan politik, fakta sejarah justru memberikan gambaran yang berbeda. Syekh Siti Jenar bukanlah sosok pemberontak atau tokoh yang dihukum mati oleh para Wali Songo. Sebaliknya, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam kesunyian rohani dan meninggal dengan cara yang wajar.

Baca Juga : Pangeran Tirtakusuma: Darah Mataram, Antek Kompeni, dan Takhta yang Tergelincir

Artikel ini berupaya meluruskan narasi sejarah Syekh Siti Jenar dengan menelisik berbagai sumber primer dan sekunder yang sering diabaikan. Dengan pendekatan kritis, kita akan mengupas akar dari kontroversi ini dan menyajikan gambaran faktual tentang kehidupan dan akhir perjalanan Syekh Siti Jenar.

Kilas Balik: Hukuman Mati dan Fitnah yang Menyelimuti Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar, salah satu ulama besar abad ke-15, kerap menjadi korban fitnah dan manipulasi sejarah. Peristiwa hukuman mati terhadap dua tokoh yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, yakni San Ali Anshar dan Hasan Ali, menjadi babak penting dalam pelurusan sejarah beliau. San Ali Anshar di Demak dan Hasan Ali di Cirebon menyebarkan ajaran yang jauh menyimpang dari tasawuf murni yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Keduanya menggunakan nama besar beliau untuk memikat pengikut melalui praktik mistik dan sihir, yang lebih berorientasi pada pemenuhan duniawi ketimbang pencerahan spiritual.

Penyebaran ajaran palsu ini memicu kegelisahan di kalangan masyarakat dan mendapat respons tegas dari Wali Songo. Demi menjaga kemurnian Islam, hukuman mati dijatuhkan kepada kedua tokoh tersebut. Namun, peristiwa ini justru menambah kebingungan dan memperkeruh citra Syekh Siti Jenar yang asli. Fitnah bahwa beliau adalah penyebar ajaran sesat semakin melekat, padahal ajaran Syekh Siti Jenar sejatinya menekankan pemurnian diri dan penafian ego untuk mencapai makrifatullah.

Pengasingan Syekh Siti Jenar: Menjaga Jarak dari Kekacauan

Setelah peristiwa hukuman mati terhadap dua tokoh palsu tersebut, Syekh Siti Jenar memilih untuk menjauh dari hiruk-pikuk politik dan fitnah yang melibatkan namanya. Beliau diasingkan secara simbolis maupun praktis dari pusat kekuasaan, seperti Demak dan Cirebon, demi menghindari konflik lebih lanjut. Pengasingan ini bukan hanya untuk melindungi dirinya, tetapi juga sebagai bentuk pengorbanan agar masyarakat tidak semakin terpecah oleh kontroversi yang ditimbulkan oleh ajaran palsu.

Dalam pengasingan, Syekh Siti Jenar tetap melanjutkan dakwahnya dengan cara yang lebih tersembunyi dan fokus pada pembinaan spiritual di kalangan murid-murid sejatinya. Langkah ini mencerminkan kebesaran hati dan kesadaran beliau akan pentingnya menjaga stabilitas umat serta memisahkan diri dari pengaruh tokoh-tokoh yang merusak namanya.

Meskipun fitnah dan hukuman mati terhadap dua “Syekh Siti Jenar palsu” meninggalkan jejak kelam dalam sejarah, pengasingan ini justru menjadi cerminan keutamaan beliau sebagai seorang sufi yang lebih mementingkan kemurnian ajaran ketimbang popularitas dan pengakuan. Hingga kini, warisan ajaran Syekh Siti Jenar tentang makrifat dan tasawuf murni tetap hidup dalam tradisi spiritual Jawa, meskipun kisah hidupnya masih sering diselimuti kontroversi. 

Kehidupan Syekh Siti Jenar di Dukuh Lemah Abang

Sejak awal, keberadaan Syekh Siti Jenar telah menarik perhatian luas, baik di kalangan penguasa maupun masyarakat Jawa. Setelah hukuman mati terhadap dua orang yang mengaku dirinya, Syekh Siti Jenar memilih untuk mengasingkan diri di sebuah kawasan terpencil di Lemah Abang, Cirebon. Tempat itu dikenal sebagai Kemlaten, sebuah hutan bambu di sebelah selatan Lemah Abang.

Dalam masa pengasingannya, Syekh Siti Jenar tidak sendiri. Ia ditemani oleh beberapa sahabat dekat dan murid setia yang memilih jalan hidup serupa. Mereka di antaranya adalah istrinya, Nyi Mas Shofa, serta Nyi Mas Gandasari, seorang mantan panglima perang Keraton Cirebon yang kemudian menjadi seorang salik (penempuh jalan tasawuf). Selain itu, ada pula Ki Waruanggang, yang dulunya dikenal sebagai Wiku Suta Lokeswara sebelum memeluk Islam, dan tentu saja Ki Ageng Pengging, murid setia yang tetap berada di sisi gurunya hingga akhir hayat.

Bertolak belakang dengan narasi yang berkembang, Syekh Siti Jenar tidak dihukum mati oleh Wali Songo atau penguasa Demak. Keberadaannya sengaja disembunyikan demi menjaga harmoni politik dan agama pada masa itu. Syekh Siti Jenar dikisahkan selalu berada dalam keadaan majdzub, sebuah maqam spiritual di mana seseorang telah melebur dalam “Kehadiran Ilahi.” Pada titik ini, ia tidak lagi menyadari eksistensi dirinya sebagai manusia.

Narasi Politik di Balik Syekh Siti Jenar dan Demak

Kontroversi Syekh Siti Jenar tidak lepas dari pergolakan politik pada masa Kesultanan Demak. Berdirinya Demak sebagai pusat kekuasaan Islam di Jawa membawa konsekuensi terhadap wilayah-wilayah otonom yang masih bertahan, salah satunya adalah Kadipaten Pengging.

Ki Ageng Pengging, yang dikenal sebagai murid Syekh Siti Jenar, menolak tunduk pada kekuasaan Demak. Dalam pandangan Ki Ageng Pengging, Kesultanan Demak tidak memiliki legitimasi karena didirikan di atas keruntuhan Majapahit. Raden Patah, pendiri Demak, dianggap bertanggung jawab atas kejatuhan Majapahit sebagai salah satu pewaris kerajaan tersebut.

Posisi strategis Pengging sebagai tanah mahkota Majapahit dan pengaruh Ki Ageng Pengging semakin merisaukan penguasa Demak. Ketegangan ini memuncak pada masa Sultan Trenggono. Serangan militer Demak ke Pengging dipimpin oleh Sunan Kudus. Meskipun sebagian naskah menyebut Ki Ageng Pengging wafat dalam pertempuran tersebut, narasi tentang Sunan Kudus membunuh Ki Ageng Pengging tidak memiliki dasar kuat. Sebaliknya, terdapat catatan bahwa Sunan Kudus pernah berguru kepada Ki Ageng Pengging.

Syekh Siti Jenar dan Ajaran Tasawuf

Baca Juga : Kota Blitar Waspada Cuaca Ekstrem: 90 Kejadian Bencana Ditangani Sepanjang 2024

Sebagian besar tuduhan terhadap Syekh Siti Jenar berakar pada kesalahpahaman tentang ajaran tasawuf yang ia anut. Konsep manunggaling kawula gusti, yang sering disalahartikan, sebenarnya adalah inti dari ajaran makrifat Islam. Dalam perspektif tasawuf, manusia dapat mencapai penyatuan spiritual dengan Sang Pencipta setelah melewati berbagai maqam (tingkatan) rohani.

Berbagai sumber yang mencatat ajaran Syekh Siti Jenar, seperti Serat Seh Siti Jenar, justru sering kali ditulis oleh pihak yang tidak memahami Islam secara mendalam. Ki Sosrowidjojo, yang disebut sebagai salah satu pengarang Serat Seh Siti Jenar, bahkan kemudian meralat pandangannya dalam karya Serat Bayanullah. Dalam Serat Bayanullah, terlihat jelas bahwa ajaran Syekh Siti Jenar tidak menyimpang dari prinsip tauhid Islam.

 Serat Bayanullah yang ditulis oleh Ki Sosrowidjojo, menegaskan ajaran Syekh Siti Jenar tidak bertentangan dengan prinsip tauhid Islam, melainkan merupakan bentuk pemahaman makrifat yang mendalam. Tuduhan sesat atau murtad yang disematkan pada ajaran Syekh Siti Jenar lebih banyak bermuatan politis, terutama karena pengaruh kuat ajaran tasawufnya di tengah masyarakat Jawa yang saat itu mengalami peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Kesultanan Demak.

Wafatnya Syekh Siti Jenar di Kemlaten

Kisah wafatnya Syekh Siti Jenar juga dikelilingi oleh berbagai versi. Namun, bukti sejarah menunjukkan bahwa ia meninggal dengan cara wajar di tempat pengasingannya di Kemlaten pada sekitar tahun 1530 M. Jenazahnya diperlakukan dengan penuh penghormatan oleh para Wali Songo. Jasadnya dimandikan, dikafani, dan dishalatkan sebagaimana jenazah seorang Muslim.

Lokasi makamnya yang sunyi di Kemlaten hingga kini dikenal sebagai “Suwung,” sebuah tempat yang kerap dikaitkan dengan kontemplasi dan pendekatan diri kepada Tuhan. Bahkan, beberapa versi menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar wafat dalam keadaan moksa, di mana jasadnya melebur bersama ruh dan kembali kepada Ilahi.

Kisah ini bukanlah mitos semata, melainkan bentuk penghormatan terhadap maqam spiritual tertinggi yang dicapai oleh Syekh Siti Jenar. Konsep ini selaras dengan ajaran al-insan al-kamil, manusia sempurna dalam tradisi tasawuf.

Meluruskan Mitos dan Mewujudkan Perspektif Baru

Sejarah sering kali ditulis oleh pihak yang berkuasa, dan kisah Syekh Siti Jenar adalah contoh nyata bagaimana politik dapat membelokkan narasi. Tuduhan sesat terhadap ajaran Syekh Siti Jenar sebagian besar bersumber dari serat dan babad Jawa yang bersifat fiktif dan sastrawi.

Para penulis modern yang kritis, seperti Rinkes (1910), Sunyoto (2005), dan Sudirman Tebba (2003), telah membuktikan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar tidaklah bertentangan dengan Islam. Bahkan, perlakuan Wali Songo terhadap jenazahnya menunjukkan pengakuan terhadap statusnya sebagai seorang Muslim yang taat.

Membuka Jalan Menuju Pemahaman Sejarah yang Jernih

Meluruskan sejarah bukan sekadar membantah mitos, tetapi juga membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang tokoh-tokoh yang membentuk peradaban kita. Syekh Siti Jenar bukanlah tokoh pemberontak yang mati di tangan para Wali, melainkan seorang sufi besar yang mencapai maqam tertinggi dalam perjalanan spiritualnya.

Dengan memahami fakta ini, kita tidak hanya memberikan penghormatan yang layak kepada Syekh Siti Jenar, tetapi juga menegaskan pentingnya kebijaksanaan dan toleransi dalam memahami sejarah. Kemlaten, tempat kesunyian abadi Syekh Siti Jenar, bukan sekadar makam, melainkan simbol dari upaya manusia untuk menyatu dengan Yang Maha Kuasa.

 

 


Topik

Serba Serbi Syekh Siti Jenar Wali Songo sejarah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy