free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Keruntuhan Kesultanan Pajang: Wafatnya Joko Tingkir, Perjuangan Pangeran Benowo dan Penyatuan dengan Mataram

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

26 - Dec - 2024, 10:39

Placeholder
Masjid Laweyan, jejak kejayaan Islam dari era Kesultanan Pajang. Perpaduan arsitektur Jawa dan nilai-nilai Islami ini menjadi saksi sejarah penyebaran Islam di Kota Solo. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sebelum Mataram Islam muncul sebagai kekuatan besar di tanah Jawa, sebagian besar wilayah ini pernah dikuasai oleh Kesultanan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya, lebih dikenal sebagai Joko Tingkir (1549-1582). Di bawah kepemimpinannya, Pajang memainkan peran penting dalam dinamika politik dan militer di Jawa Tengah, menciptakan fondasi yang berpengaruh terhadap perkembangan kerajaan-kerajaan berikutnya, termasuk Mataram. Namun, masa kejayaan Pajang berakhir dengan runtuhnya kesultanan ini, membuka jalan bagi kebangkitan Mataram sebagai kekuatan dominan baru di Jawa.

Prestasi gemilang Raden Joko Tingkir di Kesultanan Demak membawanya naik pangkat sebagai Adipati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya, dan ia menikahi putri Sultan Trenggana, Ratu Mas Cempaka. Namun, setelah Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546, putranya, Sunan Prawoto, yang seharusnya menggantikan takhta, tewas dibunuh oleh Arya Penangsang pada tahun 1549.

Baca Juga : Penetapan Hasto sebagai Tersangka KPK Diisukan Bermuatan Politis, Pengamat: Hukum dan Kekuasaan Tak Bisa Dipisahkan

Pembunuhan ini dipicu oleh dendam dari peristiwa sebelumnya antara anggota keluarga Demak. Sunan Prawoto, sebelumnya, telah membunuh ayah Arya Penangsang, Pangeran Sekar Seda Lepen, saat sedang menunaikan salat Asar di tepi Sungai Bengawan Sore. Pangeran Sekar adalah kakak kandung Sultan Trenggana dan murid pertama dari Sunan Kudus. Pembunuhan ini menggunakan Keris Kiai Setan Kober, senjata yang juga digunakan dalam pembunuhan lainnya.

Selain itu, Arya Penangsang juga melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Hadiri, suami dari Ratu Kalinyamat yang menjabat sebagai bupati Jepara. Dengan peristiwa-peristiwa tragis ini, dendam antara keluarga Demak semakin membara, menciptakan latar belakang yang gelap bagi konflik berikutnya dalam sejarah Kesultanan Pajang.

Arya Penangsang juga mengirim utusan untuk membunuh Adipati Adiwijaya, namun usahanya gagal. Malah, Adiwijaya menerima para pembunuh dengan baik dan memberikan mereka hadiah, mempermalukan Arya Penangsang.

Atas dorongan Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, Adiwijaya mengadakan sayembara untuk menumpas Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi, cucu Ki Ageng Sela, ikut serta dalam sayembara ini. Dalam perang yang terjadi, Ki Juru Martani berhasil merancang strategi cerdik yang memungkinkan Danang Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan, untuk menewaskan Arya Penangsang.

Setelah peristiwa ini, pusat pemerintahan Demak dipindahkan ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai raja pertama, gelarnya pun berganti menjadi Sultan Hadiwijaya. Demak dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto sebagai Adipatinya. Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan, seperti Mas Manca sebagai Patih Mancanegara, Mas Wila, dan Ki Wuragil sebagai menteri berpangkat ngabehi. Dengan demikian, Kesultanan Pajang berdiri sebagai hasil dari perjuangan dan pengorbanan tokoh-tokoh tersebut. Namun, ironisnya, kesultanan yang baru dibangun tersebut hanya bertahan selama 19 tahun saja.

Setelah kematian Pangeran Arya Penangsang, penguasa wilayah Jipang, Kesultanan Pajang mengendalikan wilayah yang mencakup beberapa daerah kunci. Di pedalaman, kekuasaan Pajang meliputi Pajang, yang sekarang dikenal sebagai Surakarta. Madiun diperintah oleh Pangeran Timur, seorang penguasa yang tumbuh besar di istana Pajang dan kemudian memegang gelar Panembahan. Sementara itu, Mataram (Yogyakarta) dikuasai oleh Kiai Gede Pamanahan, yang merupakan seorang vasal Pajang, sehingga daerah ini masih tetap berada dalam kekuasaan Pajang.

Namun, informasi tentang sejauh mana perluasan kekuasaan Pajang ke arah barat tidaklah jelas. Di wilayah pesisir, Kerajaan Prawata (Demak) dan Kalinyamat (Jepara) pernah ditawarkan kepada Pajang oleh Ratu Kalinyamat, sehingga secara nominal wilayah tersebut masuk dalam kekuasaan Pajang meskipun tidak secara signifikan mengurangi kekuasaan ratu setempat.

Sejak kekalahan Arya Penangsang, Jipang (Bojonegoro) juga menjadi bagian dari kendali Pajang. Selain itu, tampaknya Pati juga tunduk pada pengaruh Pajang karena wilayah ini diserahkan kepada seorang vasal.

Kabar dari luar negeri kemudian mengungkap bahwa kekuasaan Pajang telah merambah hampir seluruh Pulau Jawa, termasuk Jawa Timur. Namun, cara di mana kekuasaan tersebut merentangkan pengaruhnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Tentang upaya ekspansi ke arah barat, data yang ada sangatlah terbatas, begitu juga dengan informasi tentang perluasan ke arah timur.

Yang menarik, Pajang ternyata tidak berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke perairan laut, menandakan sifatnya sebagai negara daratan. Bahkan, wilayah Madura tidak termasuk dalam cakupan kekuasaannya. Juga tidak ada bukti bahwa Pajang terlibat di Blambangan. Dari informasi yang jarang terdengar, kabarnya kerajaan kecil ini berhasil mempertahankan kemerdekaannya dengan sangat baik.

Wafatnya Sultan Hadiwijaya dan Kemunduran Kesultanan Pajang

Setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya atau yang lebih dikenal sebagai Joko Tingkir, Kesultanan Pajang berada di persimpangan sejarah yang penuh dengan gejolak dan konflik internal. Kegagalan Pajang dalam menyerang Mataram menjadi awal dari krisis yang berkepanjangan. Kekuatan Mataram yang semakin besar di bawah kepemimpinan Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senopati, Adipati Mataram, menjadi ancaman nyata bagi stabilitas Pajang. Di tengah ketidakpastian ini, perebutan tahta Kesultanan Pajang pun memanas.

Selepas wafatnya Joko Tingkir, muncul dua kubu yang masing-masing mendukung calon berbeda untuk naik tahta. Sebagian pejabat menginginkan Arya Panggiri, menantu Jaka Tingkir dan putra Sunan Prawoto yang pernah menjadi Raja Demak sebelum dibunuh oleh Arya Penangsang, sebagai pengganti. Di sisi lain, kelompok yang lebih loyal kepada dinasti Jaka Tingkir mendukung Pangeran Benowo, putra kandung Joko Tingkir, untuk menjadi sultan berikutnya.

Tarik ulur soal tahta ini menyebabkan kekisruhan di Istana Pajang. Saat istana dilanda konflik internal, Mataram justru semakin kuat dan wilayah Pajang satu demi satu jatuh ke bawah kendali Mataram. Dalam situasi genting ini, akhirnya diambil keputusan bahwa Arya Panggiri yang akan naik tahta, sementara Pangeran Benowo ditugaskan menjadi Adipati di Jipang.

Namun, masa pemerintahan Arya Panggiri diwarnai oleh ketidakpuasan dan kecurigaan. Orang-orang asli Pajang merasa dianaktirikan karena Arya Panggiri lebih banyak menempatkan orang-orang dari Kadipaten Demak di posisi-posisi penting. Hal ini menyebabkan ketegangan di dalam pemerintahan dan masyarakat Pajang.

Selama pemerintahan Arya Panggiri, Pajang mengalami kemerosotan yang signifikan. Banyak pejabat kerajaan yang merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan yang penuh kecurigaan dan diskriminatif, sehingga mereka memilih untuk mengungsi ke Jipang, mencari perlindungan di bawah Pangeran Benowo. Ketidakpuasan ini memuncak ketika Arya Panggiri melanggar wasiat Jaka Tingkir yang melarang serangan terhadap Mataram. Arya Panggiri mengabaikan wasiat tersebut dan beberapa kali melancarkan serangan ke Mataram dengan menggunakan tentara bayaran dari Bali, karena orang-orang Pajang sendiri sudah tidak mau lagi bertempur melawan Mataram.

Situasi semakin memburuk ketika rakyat Pajang semakin menderita di bawah pemerintahan Arya Panggiri. Menurut laporan dari Babad Tanah Djawi, Arya Panggiri, yang memimpin di Pajang, menghadapi sejumlah tantangan yang serius. Panggiri menetap di Pajang dan membawa sebagian penduduk dari Demak ke wilayah tersebut, menyebabkan ketidakpuasan di kalangan penduduk asli Pajang yang kehilangan tanah mereka akibat kebijakan ini. Para pengikut dari Demak ini memiliki kebutuhan akan sandang, pangan, dan juga prestise. Mereka mendapatkan pasokan bahan makanan dari tanah sitaan penduduk Pajang, sementara prestise mereka diperoleh melalui kenaikan pangkat. Di wilayah pedalaman yang kasar, derajat bangsawan pesisir jauh lebih tinggi. Kondisi ini menciptakan ketegangan dan perlawanan dengan kekerasan di Pajang.

Situasi semakin memburuk ketika beberapa warga Pajang bahkan memilih untuk meninggalkan wilayah tersebut dan beralih ke Mataram sebagai dampak dari kebijakan tersebut.Mantri Pangalasan melaporkan kekacauan ini kepada Panembahan Senopati dan mendesaknya dengan kuat untuk menyatakan dirinya sebagai raja. Namun, Senopati menolak untuk melakukannya, meskipun dia kemudian menambahkan bahwa jika ada perintah dari Allah dan dia ditugaskan untuk menjadi raja, dia yakin akan mudah menghancurkan Pajang. Melihat penderitaan ini, Pangeran Benowo merasa tergugah hatinya. Ia kemudian menjalin kerjasama dengan Panembahan Senopati, Adipati Mataram, untuk menggulingkan Arya Panggiri.

Kesedihan Pangeran Benowo

Dalam Babad Tanah Djawi, diceritakan betapa Pangeran Benowo dari Jipang mengekspresikan perasaan ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Arya Panggiri dengan penuh perasaan. Dia merasa sangat sedih, mengalami kekurangan makan dan tidur, bahkan sampai tidur di bawah teriris. Suatu hari, dalam mimpi, almarhum ayahandanya Sultan Hadiwijaya datang dan memerintahkan untuk meminta bantuan dari Panembahan Senopati. Keesokan harinya, ia mengirim utusan ke Mataram dengan harapan kedatangan Senopati di Jipang. Namun, Senopati menolak untuk campur tangan dalam urusan keluarga yang memicu pertengkaran, menyatakan bahwa urusan Mataram sudah cukup. Dengan demikian, Benowo mengirimkan lagi utusan ke Mataram, kali ini menawarkan Kerajaan Pajang, karena menurutnya, lebih baik mati jika Arya Panggiri menjadi raja Pajang.

Setelah menerima tawaran tersebut, Senopati merasa sangat bahagia dan merasa kasihan terhadap Pangeran Benowo. Dia mengundang Benowo untuk bertemu dengannya melalui Gunung Kidul, tempat di mana mereka akan berdiskusi. Pertemuan itu terjadi di Weru, Gunung Kidul, di dalam sebuah pondok, di mana mereka saling merangkul dan bermusyawarah. Benowo pergi ke sana bersama 1000 orang Jipang, dan Senopati menjemputnya di Randugunting. Setelah pertemuan itu, mereka memutuskan untuk menyerang Pajang.

Pangeran Benowo dan Panembahan Senopati Menyerang Pajang

Baca Juga : Suami Divonis 6,5 Tahun Penjara, Sandra Dewi Malah Hapus Semua Foto Harvey Moeis di Instagram

Penyerangan Pajang oleh Senopati dan Benowo, seperti yang digambarkan dalam Babad Tanah Djawi, mengisahkan bagaimana prajurit Pajang bereaksi ketika mendengar bahwa Pangeran Benowo akan menyerang. Mereka semua beralih pihak ke Benowo, menyisakan Arya Panggiri hanya dengan pengikut yang dibawanya dari Demak. Kesetiaan yang bergeser ini memberi kesan kepada Senopati dan Benowo bahwa merebut Pajang akan menjadi tugas yang mudah. Sehingga, Senopati mengusulkan untuk mulai menyerang keesokan harinya, dengan Benowo dan pasukan Pajang menyerang dari timur, dan Sutawijaya dengan pasukan Mataram menyerang dari barat.

Tentara Arya Panggiri terdiri dari orang-orang Demak dan "para budak", yang ternyata adalah orang-orang Bali dan Bugis, yang diberi instruksi untuk melawan pasukan Makassar. Senopati mempersenjatai pasukannya dengan peluru emas dan perak. Pertempuran dimulai dengan tembakan senapan dari pihak Pajang, namun Senopati yang duduk di atas kuda Bratayuda yang berwarna keemasan, tidak terluka sedikit pun. Bahkan, makhluk halus pun turut serta dalam pertempuran. Dengan tawaran kemerdekaan kepada para budak Demak, mereka pun membelot.

Kiai Gedong, seorang mantri Pajang yang berpihak pada Mataram, berhasil membobol pintu barat meskipun menghadapi perlawanan dari orang Demak. Setelah Senopati berhasil masuk, ia berjanji kepada Kiai Gedong, yang kemudian gugur dalam pertempuran di alun-alun Pajang.

Sementara pasukan Demak diserang dengan sengit, Panembahan Senopati berlutut dan berdoa kepada Allah. Baru setelah kemenangan diraih, ia mendapat teguran keras dari pamannya. Di gerbang pertama, ia bertemu dengan putri Sultan Hadiwijaya, istri Arya Panggiri, yang memohon pengampunan bagi suaminya. Senopati mengabulkan dengan syarat bahwa Panggiri menyerah dan mau ditawan.

Dalam Serat Kandha, pertempuran digambarkan lebih singkat. Ketika tentara gabungan Mataram-Jipang tiba di Prambanan, 3.000 orang Pajang beralih pihak, kemudian mengepung Pajang. Pertempuran berlangsung hanya beberapa jam, dengan kemenangan cepat bagi Panembahan Senopati dan Pangeran Benowo.

Koalisi antara Jipang dan Mataram akhirnya berhasil menaklukkan Pajang. Arya Panggiri melarikan diri dari istana, namun nasibnya berakhir tragis. Beberapa sumber menyebutkan ia terbunuh di dalam istana, sementara sumber lain mengatakan ia wafat dalam pelarian.

Dengan kejatuhan Arya Panggiri, tahta Kesultanan Pajang dilanjutkan oleh Pangeran Benowo. Dalam kepemimpinannya, Pajang dan Mataram saling menghormati dan berdiri dengan wilayah masing-masing. Namun, kehidupan politik yang penuh intrik tampaknya tidak menarik minat Pangeran Benowo. Ia lebih memilih menjadi seorang ulama, meninggalkan tahta, dan akhirnya memutuskan untuk menggabungkan Pajang ke dalam wilayah Mataram. Keputusan ini menandai berakhirnya Kesultanan Pajang sebagai entitas politik yang berdiri sendiri. Pajang kemudian menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, dengan status sebagai Keadipatian.

Panembahan Senopati Mengangkat Pangeran Benowo Sebagai Raja Pajang

Setelah meraih kemenangan gemilangnya, Pangeran Benowo menawarkan Kerajaan Pajang kepada Senopati, dengan niatan untuk menjalani hidup sebagai seorang bangsawan. Dalam Babad Tanah Djawi (Meinsma, Babad: 98-100), terungkap bahwa ia bahkan rela menyerahkan harta benda yang sangat berharga, termasuk pusaka-pusaka warisan Sultan Hadiwijaya, kepada Senopati sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan atas jasanya.

Namun, Senopati menolak tawaran tersebut. Baginya, keinginan hanya satu: menjadi raja atas tanah Mataram yang telah diberikan Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang sebelumnya. Meski begitu, ia memberikan syarat bahwa Pangeran Benowo akan diangkat sebagai raja di Kerajaan Pajang, dengan imbalan beberapa pusaka berharga seperti gong Kiai Sekar Delima, kendali Kiai Macan Guguh, dan pelana Kiai Jatayu. Syarat tersebut pun diterima dengan baik oleh Pangeran Benawa, yang kemudian dinobatkan sebagai Raja Pajang dengan penuh khidmat.

Panembahan Senopati, dengan kata-kata yang kelak menjadi legenda di Mataram, secara resmi mengangkat Pangeran Benowo sebagai sultan Pajang dalam sebuah upacara yang megah. Para hadirin pun menyaksikan peristiwa bersejarah ini, menambah kewibawaan Panembahan Senopati di mata mereka.

Pangeran Benowo, Raja yang Meninggalkan Tahta

Namun, perjalanan cerita tidak berakhir di sana. Berdasarkan Babad Tanah Djawi (102) dan Serat Kandha (589-590), terdapat perbedaan dalam catatan mengenai nasib Pangeran Benowo setelah ia menjadi sultan. Menurut Babad Tanah Djawi, pada tahun 1587, Pangeran Benowo meninggal dunia setelah hanya menjabat sebagai sultan selama satu tahun. Sedangkan menurut Serat Kandha, Pangeran Benowo secara diam-diam meninggalkan takhtanya dan memilih hidup sebagai seorang pertapa di Parakan, Kendal, Jawa Tengah.

Keputusan Pangeran Benowo untuk hidup sebagai seorang pertapa menjadi sebuah misteri yang menarik perhatian. Di Parakan, ia membangun dalem dan menjalani kehidupan yang sederhana, menjauh dari gemerlap kehidupan kerajaan yang sebelumnya ia jalani. Sebagai tanda penghormatan dan pengakuan atas kedermawanannya, penduduk setempat memberikan gelar Susuhunan Parakan kepadanya.

Tahun 1587, menjadi penanda kejatuhan Kesultanan Pajang yang diwarnai dengan berbagai intrik politik dan peristiwa dramatis. Pangeran Benowo, yang pada awalnya dianggap sebagai harapan baru bagi kesultanan, menjadi simbol dari kehancuran yang menghampiri. Kesultanan yang pernah megah itu runtuh, menutup lembaran sejarah yang pernah menjadi salah satu kekuatan utama di tanah Jawa.

Peristiwa tersebut menjadi titik balik dalam sejarah politik Jawa, di mana transformasi Pajang dari sebuah kesultanan menjadi kadipaten yang tergabung dalam Mataram mengubah peta kekuasaan secara besar-besaran. Kejatuhan Pajang bukan hanya akhir dari satu dinasti, tetapi juga menandai awal dari masa baru dalam politik Jawa yang akan memengaruhi nasib wilayah tersebut dalam tahun-tahun berikutnya.

Runtuhnya Kesultanan Pajang adalah cermin dari pergulatan kekuasaan yang terjadi di banyak kerajaan Nusantara pada masa itu. Kekuatan dan pengaruh sebuah kerajaan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer dan kepemimpinan, tetapi juga oleh kemampuan untuk menjaga stabilitas internal dan membangun aliansi yang kuat. Pajang, yang gagal menjaga stabilitas dan menghadapi tantangan dari dalam dan luar, akhirnya harus menyerahkan posisinya kepada Mataram yang lebih kuat dan terorganisir.

Kisah ini bukan hanya tentang kejatuhan sebuah kerajaan, tetapi juga tentang bagaimana konflik internal dan ketidakpuasan sosial dapat menggoyahkan fondasi kekuasaan. Sejarah runtuhnya Kesultanan Pajang mengajarkan bahwa kekuasaan yang tidak didasari oleh keadilan dan kesejahteraan rakyatnya akan rapuh dan mudah runtuh di tengah arus perubahan zaman.

 


Topik

Serba Serbi kesultanan pajang sultan hadiwijaya joko tingkir



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya