free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Pangeran Arya Mangkunegara Pulang ke Jawa: Ketakutan VOC, Kemenangan Moral, dan Harga Sebuah Perlawanan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

15 - Dec - 2024, 14:22

Placeholder
Makam Imogiri, salah satu tempat bersejarah yang turut menyimpan jenazah Pangeran Arya Mangkunegara, menjadi saksi bisu perjuangan seorang tokoh yang mengukir nama dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan. (Foto: Ist)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa pada abad ke-18 mencatat berbagai gejolak yang dipenuhi intrik, pengkhianatan, dan perebutan kekuasaan. Salah satu tokoh sentral dalam babak sejarah ini adalah Raden Mas Said, yang dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa dan kemudian bergelar KGPAA Mangkunegara I (1726–1795). Kelak, ia dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Namun, sebelum namanya diabadikan, perjalanan hidupnya diwarnai oleh tragedi dan perjuangan panjang.

Kisah ini bermula dari sosok ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara atau Mangkunegara Sepuh, seorang pangeran terhormat di istana Mataram di Kartasura. Intrik politik istana menyebabkan nasibnya berubah drastis pada 1728, ketika ia diasingkan oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Awalnya, ia dibuang ke Batavia, ditemani salah satu putranya, Pangeran Tirtakusuma. Namun, perjalanan pengasingan itu berlanjut hingga Sri Lanka. 

Baca Juga : Produsen Imbau Konsumen Segera Beli Mobil sebelum Pajak 12% Naik pada 2025

Di sana, Mangkunegara Sepuh tutup usia pada tahun 1738, meninggalkan anak-anaknya, termasuk Raden Mas Said yang kelak menjadi Mangkunegara I, dalam usia yang masih sangat belia.

Pengasingan ini bukan sekadar hukuman, tetapi sebuah strategi VOC untuk memecah pengaruh bangsawan Jawa. Dengan kepergian Mangkunegara Sepuh, istana Kartasura kehilangan salah satu tokoh berpengaruhnya. Sementara itu, putra-putranya—terutama Raden Mas Said—tumbuh dalam bayang-bayang ketidakadilan yang diwariskan oleh kekuatan kolonial.

Pangeran Arya Mangkunegara: Pewaris Tahta yang Terasingkan

Pangeran Arya Mangkunegara, yang terlahir dengan nama Raden Mas Sura, adalah putra sulung Prabu Amangkurat IV dengan selir Mas Ayu Kusuma Sunarso. Lahir pada 1703, masa kecilnya diwarnai suasana damai di Keraton Kartasura. Namun, situasi ini berangsur berubah ketika sang ayah naik takhta dan mulai merombak struktur kekuasaan di dalam keraton. Perubahan ini memicu keresahan di kalangan para pangeran dan bangsawan.

Sejak kecil, RM Sura dirawat oleh pamannya, Pangeran Purbaya, setelah mendapatkan nama kehormatan Pangeran Riya dari eyangnya, Susuhunan Pakubuwana I. Kedekatan dengan Pangeran Purbaya kelak membentuk perjalanannya dalam menghadapi gelombang konflik yang mengguncang Keraton Kartasura.

Kericuhan di Kartasura bermula ketika Susuhunan Amangkurat IV memutuskan untuk menurunkan pangkat para pangeran, termasuk adiknya, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar. Posisi mereka ditarik hingga hanya menjadi Pangeran Sentana. Hal ini memicu pemberontakan yang menambah beban pemerintahan Amangkurat IV.

Pangeran Purbaya bersama Pangeran Blitar menyingkir ke Bale Kajenar, bekas kediaman Sultan Agung. Mereka membawa serta RM Sura, yang setia mengikuti pamannya dalam pengasingan. Situasi semakin memburuk ketika terjadi musim paceklik yang melanda rakyat dan istana.

Sunan Amangkurat IV, yang dibantu oleh VOC, berusaha keras meredam pemberontakan ini. Namun, tekanan dari pasukan VOC memaksa Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar dan pengikutnya, termasuk RM Sura, berpindah ke Malang. Di sana, perlawanan berlanjut dengan penuh keberanian.

Setelah wafatnya Pangeran Blitar di Malang, Pangeran Purbaya dan Raden Mas Sura bersatu dengan Panembahan Herucakra (yang disebut sebagai Pangeran Diponegoro, putra Sunan Pakubuwana I). Ketiga tokoh ini memimpin gerakan melawan VOC yang semakin mendominasi politik Mataram.

VOC kemudian menggunakan siasat licik dengan mengundang Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra ke Pasuruan dengan janji akan mengangkat mereka sebagai raja. Dari Pasuruan, keduanya dibawa ke Semarang melalui Pelabuhan Surabaya. Namun, setibanya di Semarang, Raden Mas Sura dipisahkan dan dijemput utusan Sunan Amangkurat IV untuk kembali ke Kartasura.

Nasib tragis menimpa Pangeran Purbaya yang ditahan di Benteng Alang-Alang di Batavia dan diasingkan ke Afrika Selatan, sementara Panembahan Herucakra diasingkan ke Sri Lanka. Kedua pemimpin pemberontakan ini menjadi korban politik VOC yang licik.

Berbeda dengan pamannya, Raden Mas Sura mendapatkan pengampunan dari Sunan Amangkurat IV. Ia kembali ke Keraton Kartasura dengan penghormatan dan diberi gelar Pangeran Adipati Arya Amengkunegara. Namun, harapan untuk menduduki takhta pupus ketika Sunan Amangkurat IV dalam surat wasiatnya menyebutkan bahwa pengganti dirinya adalah Pangeran Prabasuyasa, yang kelak bergelar Pakubuwana II.

Tahun 1728 menjadi babak kelam dalam kehidupan Pangeran Arya Mangkunegara. Konspirasi dan fitnah yang dilancarkan oleh Patih Danureja, dengan dukungan VOC, membuatnya dicurigai sebagai ancaman bagi pemerintahan Kartasura. Pangeran Arya Mangkunegara akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Sri Lanka.

Pengasingan ini bukan hanya akhir dari ambisinya untuk memimpin Mataram, tetapi juga simbol dari upaya VOC dalam menyingkirkan tokoh-tokoh pemberontak yang memiliki pengaruh kuat di Jawa.

Sebelum diasingkan, Pangeran Arya Mangkunegara menikahi dua perempuan dari garis bangsawan. Pertama, ia menikahi RAy Raga Asmara, putri Panembahan Cakraningrat dari Madura. Kedua, ia menikahi sepupunya, Raden Ayu Wulan, putri Pangeran Blitar.

Dari pernikahannya, Pangeran Arya Mangkunegara dikaruniai banyak keturunan. Putra sulungnya adalah Raden Mas Ngali, yang kemudian bergelar Pangeran Tirtakusuma. Selanjutnya, Raden Mas Umar dan Raden Mas Sakadi, keduanya dikenal sebagai "Seda Timur" karena meninggal di usia muda, kemungkinan saat masih kecil. Putra ketiganya yang paling terkenal adalah Raden Mas Said, yang kelak bergelar KGPAA Mangkunegara I sekaligus menjadi pendiri Kadipaten Mangkunegaran. 

Ada pula Raden Mas Ambiya, yang kemudian bergelar Pangeran Pamot, dan Raden Mas Sabar, yang menyandang gelar Pangeran Mangkudiningrat. Dari garis keturunan ini juga lahir dua putri, yakni Raden Ayu (RAy) Puspakusuma dan RAy Mangkuyuda. Selain itu, dua putra terakhir dari Pangeran Arya Mangkunegara adalah Raden Mas Arya Tejakusuma dan Raden Mas Arya Warihkusuma. Keturunan inilah yang kemudian melanjutkan garis trah Mangkunegaran, khususnya melalui Raden Mas Said, yang menjadi tokoh penting dalam sejarah Jawa.

Perjuangan dan Reuni Tak Terduga

Ketika dewasa, Raden Mas Said muncul sebagai pemimpin perlawanan yang tangguh. Dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, ia memimpin pemberontakan melawan VOC dan kekuatan yang dianggapnya sebagai pengkhianat Jawa. Perjuangan ini berlangsung di tengah kompleksitas hubungan antara para bangsawan Jawa, termasuk keretakan dengan Pangeran Mangkubumi yang akhirnya berujung pada perang terbuka.

Di tengah perjuangan ini, sebuah babak penting dimulai pada 1751. Pakubuwana III, Susuhunan Surakarta, menulis surat kepada VOC untuk memohon pengembalian jenazah Mangkunegara Sepuh dari Sri Lanka. Permintaan ini juga mencakup pengembalian jenazah Pangeran Aria Purbaya, kerabat Pakubuwana III yang juga diasingkan. Permintaan ini tentu saja membuat VOC waswas.

Pada tahun 1752, VOC akhirnya menyetujui pengembalian jenazah. Namun, pengembalian ini bukan sekadar proses administratif; ada ketakutan politik yang melingkupinya. VOC menyadari bahwa jenazah Pangeran Arya Mangkunegara, simbol kekuatan bangsawan Jawa, dapat menjadi pemantik semangat perlawanan baru. Terlebih lagi, salah satu anggota keluarga yang turut dipulangkan adalah saudara Mangkunegara Sepuh, yakni Pangeran Purbaya, yang keberadaannya dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas kekuasaan VOC.

Kedatangan jenazah Pangeran Arya Mangkunegara ke Jawa, tepatnya di Semarang pada Februari 1753, menjadi momen emosional sekaligus simbolis. Van Hohendorff, pejabat VOC di Semarang, mencatat bagaimana prosesi penjemputan ini diiringi oleh ratusan pengawal berkuda dan pasukan pejalan kaki. 

Baca Juga : Harga Rokok Naik Mulai 1 Januari 2025, Berikut Daftar Lengkapnya

Dalam perjalanan menuju pedalaman, iring-iringan ini dihantam badai dan gempa bumi, seakan-akan alam turut merasakan gejolak perasaan Mangkunegara Sepuh dan putranya, Pangeran Sambernyawa, yang tengah berjuang melawan VOC. 

Babad Giyanti merekam kejadian ini dengan detail, begitu pula catatan Pangeran Sambernyawa. Jenazah Mangkunegara Sepuh dibawa dengan penuh penghormatan, diiringi para santri yang membacakan dzikir di barisan depan, menandai kesakralan momen tersebut. Bagi Sambernyawa, pertemuan ini bukan sekadar pengembalian jenazah; ia merasakan kehadiran sang ayah seolah masih hidup. Perasaan ini tertuang dalam catatan pribadinya:

"Langit marah dengan petir yang bersahutan dan angin yang mengguncang bumi. Seolah-olah ada seseorang yang datang dalam keadaan hidup, tetapi sesungguhnya yang tiba hanyalah jenazah. Ini adalah pertanda menakutkan."

Prosesi penguburan Pangeran Arya Mangkunegara di Imogiri diikuti dengan ritual pembacaan Al-Qur’an selama tujuh hari, disaksikan oleh para santri dan pengikut Pangeran Sambernyawa yang datang dari berbagai distrik. Momen ini menjadi titik balik emosional bagi Mangkunegara, yang sejak kecil kehilangan sosok ayahnya karena politik kekuasaan.

Intrik Politik dan Negosiasi VOC

Pengembalian jenazah Pangeran Arya Mangkunegara  tidak terjadi begitu saja. Di baliknya, terdapat upaya negosiasi antara VOC dan Pangeran Sambernyawa. Van Hohendorff, sebagai perwakilan VOC, memanfaatkan situasi ini untuk membujuk Sambernyawa agar tunduk pada Kompeni. Dalam negosiasi yang penuh kepura-puraan, Sambernyawa mengajukan beberapa tuntutan: VOC harus mempromosikan statusnya sesuai keinginannya, sementara jenazah ayahnya juga harus diserahkan. Selain itu, saudara laki-lakinya, Pangeran Tirtakusuma, harus diizinkan untuk bergabung dengannya.

VOC akhirnya menyetujui dua tuntutan pertama, namun ragu untuk mengizinkan Tirtakusuma bergabung. Van Hohendorff berharap Tirtakusuma bisa menjadi alat untuk menekan Sambernyawa agar menyerah. Ia bahkan mengancam akan mengembalikan keluarga lainnya ke Sri Lanka jika Sambernyawa menolak tunduk.

Namun, Sambernyawa bukan sosok yang mudah dipengaruhi. Dengan sikap tegas, ia menolak tunduk pada tawaran VOC. Baginya, pengembalian jenazah sang ayah adalah simbol kemenangan moral atas ketidakadilan kolonial. Momen ini semakin memperkuat posisinya sebagai pemimpin perlawanan.

Makna Simbolis Pengembalian Jenazah

Bagi Pangeran Sambernyawa, pengembalian jenazah ayahnya bukan sekadar peristiwa pribadi, melainkan momen simbolis yang membangkitkan identitas dan harga diri bangsawan Jawa. Dalam konteks yang lebih luas, peristiwa ini juga menunjukkan bagaimana VOC berusaha menggunakan politik keluarga untuk melemahkan perlawanan.

Namun, Sambernyawa berhasil membalikkan situasi. Dengan arak-arakan yang megah, penguburan Mangkunegara Sepuh menjadi deklarasi simbolis terhadap perlawanan kolonial. Ini adalah peringatan bagi VOC bahwa upaya mereka untuk mengendalikan Jawa melalui strategi pemecah belah tidak sepenuhnya berhasil.

Sebagai pemimpin, Pangeran Sambernyawa memahami pentingnya simbolisme dalam membangun legitimasi. Reuni dengan ayahnya, meskipun dalam bentuk jenazah, memperkuat narasi perjuangannya sebagai penerus sah kekuasaan Jawa. Ritual-ritual keagamaan yang menyertainya juga menegaskan posisi Sambernyawa sebagai pemimpin spiritual dan politik.

Epilog: Warisan Sambernyawa

Kembalinya jenazah Mangkunegara Sepuh menandai babak baru dalam perjuangan Raden Mas Said. Sebagai Pangeran Sambernyawa, ia melanjutkan perlawanan dengan semangat yang semakin kuat. Meskipun VOC terus berusaha menekan dan menawarinya negosiasi, Sambernyawa tetap teguh pada prinsip-prinsipnya.

Sejarah mencatat bahwa Pangeran Sambernyawa tidak hanya dikenal sebagai pemimpin militer yang cemerlang, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Pengembalian jenazah ayahnya adalah salah satu momen penting yang memperlihatkan kekuatan emosi dan simbolisme dalam sejarah perjuangan Jawa.

Dalam peristiwa ini, kita melihat bagaimana sejarah bukan hanya sekumpulan fakta, tetapi juga narasi yang dipenuhi makna. Reuni Sambernyawa dengan ayahnya adalah cerita tentang kehilangan, pemulihan, dan keteguhan hati—sebuah kisah yang membentuk legenda seorang pahlawan nasional.

Pangeran Sambernyawa, yang di kemudian hari dikenal sebagai pendiri Kadipaten Mangkunegaran, meninggalkan warisan yang abadi. Perjuangannya melawan VOC dan intrik internal istana menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Sejarah mencatat namanya dengan penuh hormat, sebagai pemimpin yang tidak pernah menyerah pada ketidakadilan.

"Kembalinya jenazah adalah simbol hidupnya perlawanan. Di dalam peti mati yang diusung para santri itu, terkubur sejarah yang tidak pernah mati.”

 


Topik

Serba Serbi raden mas said pangeran sambernyawa pangeran mangkunegara sejarah jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana