free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Pangeran Mangkunegara Kartasura: Legitimasi, Perlawanan, dan Tragedi dalam Pusaran Politik Mataram

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13 - Dec - 2024, 16:32

Placeholder
Pintu masuk Istana Pura Mangkunegaran. Nama Kadipaten Mangkunegaran diambil dari Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, ayah Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, yang kemudian bergelar KGPAA Mangkunegara I. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada awal abad ke-18, Istana Mataram di Kartasura -pusat kekuasaan yang diwarisi dari Dinasti Panembahan Senapati- berada di titik krusial. Di antara pusaran perebutan kekuasaan dan tekanan kolonial Belanda (VOC), lahirlah seorang tokoh yang kelak menjadi simbol perlawanan sekaligus pengorbanan: Pangeran Arya Mangkunegara. 

Terlahir sebagai Raden Mas Sura, ia adalah putra sulung Prabu Amangkurat IV dengan Mas Ayu Kusuma Sunarso dari Nglaroh, cucu Sunan Pakubuwono I yang memberi cucunya nama Pangeran Riya. Kehidupan beliau bukan hanya kisah tentang darah biru, melainkan perjuangan melawan tipu daya politik, ambisi kolonial, dan loyalitas yang tragis.

Kartasura di Bawah Bayang-Bayang Amangkurat IV

Baca Juga : Plakat Custom Kembar Souvenir: Hadiah Sempurna untuk Momen Wisuda yang Tak Terlupakan

Raden Mas Sura, atau yang dikenal sebagai Pangeran Riya, menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan pamannya, Pangeran Purbaya. Naiknya Prabu Amangkurat IV pada 1719 semula membawa asa Kartasura makmur, tenteram seperti era pendahulunya. 

Namun, reformasi kekuasaan sang raja segera menciptakan riak politik. Amangkurat IV menata ulang posisi para pangeran; pamannya -Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar- diturunkan pangkatnya menjadi Pangeran Sentana. Mereka dipaksa menyerahkan pasukan, menciptakan kekecewaan yang berujung pemberontakan.

Dalam pusaran ini, Raden Mas Sura, masih muda, ikut serta pamannya mengungsi ke Bale Kajenar—bekas kediaman Sultan Agung. Dengan langkah ini, Pangeran Riya tumbuh sebagai saksi atas ketidakadilan sistem politik istana.

Gejolak Kartasura dan Perlawanan Pangeran-Pangeran

Pergolakan kian memanas ketika musim paceklik melanda. Rakyat menderita, dan Kartasura kehilangan legitimasi moralnya. Pemberontakan para pangeran semakin memaksa Prabu Amangkurat IV untuk meredamnya dengan keras, dibantu pasukan VOC yang semakin mendikte kebijakan Mataram. Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, dan Pangeran Riya akhirnya memutuskan berpindah ke Malang sebagai basis pertahanan mereka.

Malang menjadi medan perlawanan yang berani namun berat. Pangeran Riya tampil sebagai tokoh muda yang tangguh, mendukung perjuangan pamannya. Sayangnya, cobaan tidak berhenti: Pangeran Blitar wafat karena sakit dan dimakamkan di Nitikan, Yogyakarta. Tanpa gentar, Pangeran Purbaya dan Pangeran Riya bersatu dengan Panembahan Herucakra—putra Sunan Pakubuwono I—untuk melanjutkan perlawanan.

Tipu Daya VOC dan Takdir yang Dipelintir

VOC, yang semakin kewalahan menghadapi perlawanan pangeran-pangeran ini, memilih taktik tipu daya. Mereka mengundang Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra ke Pasuruan, menjanjikan pengangkatan sebagai raja. Raden Mas Sura turut serta dalam perjalanan ini, sebuah perjalanan yang berakhir dengan tragedi. Dari Pasuruan, rombongan pangeran diangkut ke Surabaya, lalu menuju Semarang. Di Semarang, VOC memisahkan Raden Mas Sura dari rombongan. Dengan penghormatan yang mencurigakan, ia dijemput oleh utusan Amangkurat IV dan dibawa kembali ke Kartasura.

Nasib Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra justru berakhir tragis. VOC menahan mereka di Benteng Alang-Alang Batavia sebelum akhirnya mengasingkan Pangeran Purbaya ke Afrika Selatan dan Panembahan Herucakra ke Sri Lanka. Ironi terbesar terjadi ketika para pangeran ini, yang gagah berjuang, harus tersingkir akibat tipu daya kolonial yang didukung intrik internal kerajaan.

Kembali ke Kartasura: Antara Harapan dan Fitnah

Di Kartasura, Raden Mas Sura, yang kini bergelar Pangeran Adipati Anom Arya Amengkunegara, semula dianggap sebagai calon penerus Amangkurat IV. Bahkan, dalam situasi menjelang wafat, sang raja secara jelas mengamanatkan kepada Patih Danureja dan permaisurinya bahwa Pangeran Arya Mangkunegara adalah penerus tahta yang sah. Amanat ini bahkan diperkuat dengan pemberian keris pusaka sebagai simbol legitimasi.

Namun, takdir berkata lain. Intrik internal istana berpadu dengan pengaruh VOC. Surat dari Batavia yang menjadi acuan VOC atas suksesi tahta belum juga tiba saat Sunan Amangkurat IV wafat. Patih Danureja, yang diduga bersekongkol dengan VOC, berhasil menghasut situasi. Pangeran Arya Mangkunegara dituduh menentang VOC dan akhirnya diasingkan ke Sri Lanka pada tahun 1728. Keputusan ini menjadi klimaks dari sebuah ironi: seorang putra mahkota sah, terbuang oleh permainan politik internal dan kepentingan kolonial.

Warisan Seorang Pangeran: Cikal Bakal Kadipaten Mangkunegaran

Baca Juga : Hadiah Umrah Warnai Malam Penutupan Olimpiade Santri Nusantara 2024

Pangeran Arya Mangkunegara meninggalkan warisan yang tak ternilai. Putra-putranya, terutama Raden Mas Said—yang kelak bergelar KGPAA Mangkunegara I—menjadi pendiri Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. RM Said mewarisi keberanian dan semangat perlawanan ayahnya. Kadipaten Mangkunegaran menjadi simbol perlawanan terhadap VOC dan kemapanan kekuasaan Kasunanan Surakarta yang terlalu tunduk pada kolonial.

Di balik pengasingannya, Pangeran Arya Mangkunegara tetap dikenang sebagai tokoh yang setia pada prinsip keadilan. Jejaknya tertulis dalam keturunannya yang tak hanya mendirikan dinasti baru, tetapi juga meneruskan nilai perjuangan melawan penindasan.

Epilog: Jejak di Tanah Perantauan

Nasib Pangeran Arya Mangkunegara, yang diasingkan ke Sri Lanka dan kemudian ke Cape Town, Afrika Selatan, mencerminkan sisi kelam kekuasaan VOC yang mampu menjangkau hingga jauh dari tanah Jawa. Makam beliau, yang semula berada di tanah pengasingan dan kemudian dipindahkan ke makam Pajimatan Imogiri, menjadi saksi bisu atas pengorbanan seorang pangeran yang namanya tetap harum dalam sejarah Jawa.

Jasad Pangeran Arya Mangkunegara kini bersemayam di Imogiri, Yogyakarta, berdampingan dengan makam istrinya, RA Wulan—putri Pangeran Blitar—yang setia mendampingi. Makam mereka menjadi pengingat bahwa sejarah sering kali menyimpan kepedihan yang tak terkatakan.

Menghidupkan Memori Sejarah

Kisah Pangeran Mangkunegara Kartasura adalah tragedi yang sarat makna. Ini bukan sekadar narasi tentang seorang pangeran yang terbuang, tetapi cerminan dari pusaran konflik politik, loyalitas yang diuji, serta perjuangan mempertahankan martabat di tengah ancaman kolonialisme. Sejarah mengajarkan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan seringkali berakhir pahit bagi pelakunya, namun semangatnya akan selalu diwarisi oleh generasi berikutnya.

Dari Bale Kajenar hingga pengasingan di Sri Lanka, nama Pangeran Arya Mangkunegara tetap hidup sebagai simbol perjuangan, yang akhirnya diwariskan kepada Raden Mas Said—sang Pangeran Sambernyawa—dan dinasti Mangkunegaran yang ia dirikan.

Sejarah tidak pernah melupakan mereka yang berjuang, meski pada akhirnya, takdir mereka dicatat dengan tinta kepedihan. Al-Fatihah untuk Eyang Mangkunegara, sang pangeran yang direnggut oleh ambisi politik namun abadi dalam memori bangsa.

 


Topik

Serba Serbi Kerajaan Mataram Pangeran Mangkunegara Kartasura Mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy