JATIMTIMES - Tumenggung Wiraguna adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Mataram. Namanya dikenang bukan hanya karena kehebatannya di medan perang, tetapi juga karena tragisnya akhir hidupnya.
Sebagai salah satu panglima perang yang sangat dipercayai oleh Sultan Agung, Tumenggung Wiraguna memegang peran yang sangat strategis dalam pemerintahan Mataram pada masa kejayaannya. Kepemimpinan dan kecakapannya dalam memimpin pasukan Mataram bahkan diakui oleh Belanda, yang pada saat itu menguasai Batavia.
Baca Juga : Kejar Waktu Proyek Akhir Tahun, Pj Wali Kota Batu Akui Sejumlah Pekerjaan Fisik Tak Sesuai Target
Namun, di balik semua kesetiaannya, ada kisah kelam tentang pengkhianatan dan dendam yang mengakhiri hidupnya.
Mataram dan Keberanian Tumenggung Wiraguna
Pada tahun 1645 dan 1646, Tumenggung Wiraguna memimpin pasukan Mataram dalam dua pengepungan Batavia yang legendaris. Meskipun kedua serangan itu tidak berhasil menguasai Batavia, keberanian dan keteguhan Tumenggung Wiraguna tidak pernah diragukan.
Setelah kegagalan tersebut, Tumenggung Wiraguna tidak hanya pulang dengan tangan hampa, tetapi juga mendirikan perkampungan yang kelak dikenal dengan nama Ragunan. Sebuah bukti bahwa meskipun gagal dalam satu tujuan, ia tetap berhasil membangun sesuatu yang bermakna bagi Mataram.
Keberhasilan dan kegigihan Tumenggung Wiraguna membuatnya dihormati tidak hanya oleh Sultan Agung, tetapi juga oleh pihak Belanda. Surat-surat yang ditemukan di Jambi dan Sukapura menunjukkan bahwa Tumenggung Wiraguna menjadi penasihat terdekat bagi Sultan Agung. Begitu pentingnya peran Tumenggung Wiraguna dalam struktur pemerintahan Mataram pada masa itu.
Namun, meskipun ia merupakan sosok yang sangat setia dan berani, hidupnya tidak berjalan mulus. Sebuah peristiwa di masa muda Amangkurat I, yang saat itu masih dikenal sebagai Raden Mas Syayidin, membawa dampak yang besar dalam hubungan antara Tumenggung Wiraguna dan raja Mataram tersebut.
Dendam Amangkurat I dan Kejatuhan Tumenggung Wiraguna
Cerita kelam ini bermula ketika Raden Mas Syayidin, putra Sultan Agung, melakukan perbuatan bejat dengan membawa lari salah satu istri Tumenggung Wiraguna. Perbuatan ini membuat Tumenggung Wiraguna marah besar. Namun, karena yang terlibat adalah anak rajanya, Wiraguna merasa ragu untuk melaporkan perbuatan tersebut.
Setelah banyak mempertimbangkan, Tumenggung Wiraguna akhirnya melapor kepada Sultan Agung, yang bertindak tegas dengan memerintahkan agar Raden Mas Syayidin diadili.
Tindakan Sultan Agung yang menegur putranya dan mengadili perbuatan tersebut membuat Tumenggung Wiraguna merasa dihargai. Namun, bagi Raden Mas Syayidin, sikap Sultan Agung ini adalah pengkhianatan yang mendalam. Ia merasa dipermalukan oleh ayahnya sendiri, yang kelak akan melahirkan dendam yang tak termaafkan terhadap Tumenggung Wiraguna.
Setelah Sultan Agung meninggal dunia dan Amangkurat I naik tahta, dendam yang terpendam sejak lama mulai tumbuh subur. Amangkurat I, yang dikenal dengan sifat kejamnya, tidak bisa melupakan rasa malu dan dendam yang dirasakannya sejak peristiwa itu. Ia bertekad untuk menyingkirkan Tumenggung Wiraguna, yang selama ini dianggap sebagai figur yang sangat kuat dan setia kepada Sultan Agung.
Akhir Tragis Tumenggung Wiraguna
Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Tumenggung Wiraguna tidak pernah menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan terhadap kerajaan. Sebaliknya, ia tetap menunjukkan dedikasi dan kecakapannya dalam memimpin pasukan. Salah satu prestasi terbesarnya adalah keberhasilannya memimpin pasukan Mataram dalam menaklukkan Blambangan, wilayah yang dikuasai orang-orang Bali pada saat itu.
Namun, di balik prestasi tersebut, Amangkurat I sudah merencanakan taktik licik untuk menyingkirkan sang panglima. Dengan dalih memberi penghargaan atas prestasi Tumenggung Wiraguna, Amangkurat I memerintahkan agar ia memimpin pasukan untuk menaklukkan Blambangan. Namun, perjalanan Tumenggung Wiraguna menuju Blambangan adalah perjalanan terakhirnya.
Baca Juga : Sejarah Munculnya Londo Ireng di KNIL: Pasukan Belanda Berkulit Hitam dari Afrika
Di tengah perjalanan, Tumenggung Wiraguna dibunuh dengan kejam oleh utusan yang dikirim oleh Amangkurat I. Pembunuhan ini bukan hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga dibarengi dengan fitnah yang menuduh Tumenggung Wiraguna melakukan makar terhadap kerajaan. Tuduhan tersebut digunakan sebagai alasan oleh Amangkurat I untuk menumpas seluruh keluarga Tumenggung Wiraguna, yang akhirnya dibantai tanpa belas kasihan.
Mengungkap Dendam dan Pengkhianatan
Pembunuhan Tumenggung Wiraguna adalah sebuah tragedi besar dalam sejarah Mataram. Tidak hanya karena peran besar yang dimainkan oleh Tumenggung dalam perkembangan kerajaan, tetapi juga karena alasan pribadi yang mendalam yang melatarbelakangi tindakan kejam tersebut. Dendam pribadi seorang raja yang merasa dipermalukan oleh seorang panglima yang setia ini menandai salah satu episode kelam dalam sejarah kerajaan Mataram.
Kisah ini mengingatkan kita pada betapa politik dan kekuasaan sering diliputi oleh intrik dan pengkhianatan. Meskipun Tumenggung Wiraguna dikenal sebagai sosok yang jujur, setia, dan berdedikasi pada Mataram, semua prestasi dan kebaikan itu tidak bisa menutupi dendam yang sudah lama terpendam di hati Amangkurat I. Tragisnya, Tumenggung Wiraguna yang menjadi pahlawan bagi Mataram, harus mengakhiri hidupnya dalam keadaan yang tidak pernah diduga oleh banyak orang.
Akhir hidup Tumenggung Wiraguna adalah simbol dari betapa sejarah sering mencatat nama-nama besar yang akhirnya tumbang karena alasan-alasan yang lebih bersifat pribadi, seperti dendam dan pengkhianatan. Sejarah Mataram, dengan segala kejayaannya, juga dipenuhi dengan kisah tragis yang tidak kalah penting untuk dikenang.
Dokumentasi Sejarah dan Warisan
Sebagai salah satu tokoh besar dalam sejarah Mataram, jejak-jejak Tumenggung Wiraguna tetap hidup dalam ingatan sejarah. Ragunan, sebuah tempat yang didirikan olehnya, menjadi salah satu warisan dari prestasi Tumenggung yang tak terlupakan. Selain itu, dokumentasi sejarah mengenai Tumenggung Wiraguna, meskipun tidak banyak, dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, mulai dari surat-surat kerajaan hingga kisah-kisah lisan yang masih hidup di kalangan masyarakat.
Kisah hidup dan kematiannya mengingatkan kita akan kekuatan sejarah untuk mencatat tidak hanya kejayaan, tetapi juga pengkhianatan yang menjadi bagian dari perjalanan panjang sebuah kerajaan. Tumenggung Wiraguna adalah seorang panglima yang hidupnya dihiasi dengan prestasi, namun kematiannya yang tragis menunjukkan betapa kuatnya pengaruh politik dan perasaan pribadi dalam menentukan arah sebuah kerajaan.