JATIMTIMES - Awal tahun 2007 menjadi momentum penting bagi sejarah arkeologi Indonesia. Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur menjadi saksi penemuan Kompleks Candi Tondowongso, situs purbakala yang kemudian diakui sebagai salah satu temuan arkeologis terbesar dalam tiga dekade terakhir. Sebelumnya, penemuan signifikan semacam ini hanya terjadi pada 1970-an, ketika Kompleks Percandian Batujaya ditemukan di Jawa Barat.
Situs Tondowongso ditemukan secara tidak sengaja oleh para perajin batu bata yang tengah menggali tanah. Temuan berupa sejumlah arca menjadi petunjuk awal keberadaan sebuah kompleks percandian yang lebih luas. Menariknya, jejak awal situs ini sebenarnya sudah teridentifikasi oleh Prof. Soekmono pada 1957, ketika ia menemukan sebuah arca di lokasi yang sama. Namun, baru pada 2007, keberadaan kompleks ini terungkap secara penuh.
Baca Juga : Jamselinas ke-13 Kota Malang, Event Nasional Diikuti 96 Peserta Mancanegara
Gaya Arsitektur dan Kaitan dengan Era Kediri Awal
Analisis awal menunjukkan bahwa situs ini berasal dari abad XI, masa-masa awal perpindahan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan mengindikasikan kaitannya dengan Kerajaan Kadiri atau Kediri. Situs ini membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang sejarah Kerajaan Kadiri, yang selama ini lebih dikenal melalui karya sastra seperti Kakawin Bharatayuddha dan Kakawin Arjunawiwaha. Sayangnya, peninggalan fisik dari era tersebut sangat minim, sehingga penemuan Kompleks Candi Tondowongso menjadi aset berharga.
Kompleks ini diperkirakan memiliki luas lebih dari satu hektare, dengan struktur yang kemungkinan besar digunakan sebagai tempat pemujaan. Keberadaan arca dan relief di situs ini mengindikasikan peran pentingnya dalam kehidupan spiritual masyarakat pada masa itu.
Letak geografis situs ini, di sebelah timur Sungai Brantas, memberikan konteks penting dalam memahami dinamika politik dan budaya pada masa Kerajaan Kadiri. Sungai Brantas, yang berhulu di Gunung Arjuna dan mengalir hingga Laut Jawa, menjadi urat nadi perdagangan, pertanian, dan transportasi. Wilayah di sekitar aliran sungai ini juga merupakan pusat kekuasaan beberapa kerajaan besar, termasuk Panjalu dan Janggala, dua kerajaan yang dibentuk setelah pembelahan Medang Kahuripan oleh Raja Airlangga.
Airlangga, yang memerintah pada awal abad XI, membagi wilayah kerajaannya menjadi dua untuk mencegah konflik perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Panjalu, dengan ibu kota Dahana Pura (Daha), berada di sebelah barat Sungai Brantas, sedangkan Janggala di sebelah timur. Namun, konflik tetap terjadi, dan pada akhirnya kedua kerajaan ini bersatu kembali menjadi Kerajaan Kadiri di bawah kepemimpinan Sri Jayabhaya.
Peran Dewi Kilisuci dalam Sejarah Kadiri
Sejarah Kerajaan Kadiri tidak dapat dilepaskan dari figur Sanggramawijaya, atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sebagai putri Raja Airlangga, Kilisuci seharusnya menjadi pewaris takhta. Namun, ia memilih jalan spiritual, menjadi pertapa di Goa Selomangleng, dan meninggalkan perebutan kekuasaan di antara kedua adiknya. Keputusan ini mencerminkan keprihatinannya terhadap konflik yang melanda keluarganya.
Goa Selomangleng, yang terletak di lereng Gunung Klotok, kini menjadi tempat ziarah yang dihormati, menegaskan pengaruh spiritual Kilisuci dalam sejarah Jawa Timur.
Penemuan Kompleks Candi Tondowongso bukan hanya membuka tabir sejarah Kediri, tetapi juga memberikan gambaran tentang konektivitas budaya pada masa itu. Aliran Sungai Brantas yang melintasi berbagai wilayah menunjukkan betapa pentingnya sungai ini sebagai jalur penghubung antarwilayah. Dalam konteks yang lebih luas, Brantas juga menjadi saksi perkembangan budaya, perdagangan, dan agama yang berlangsung selama berabad-abad.
Relief dan arca yang ditemukan di Tondowongso mengisyaratkan pengaruh seni dan agama dari periode Jawa Tengah sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya kesinambungan budaya antara era Medang di Jawa Tengah dan era Kadiri di Jawa Timur. Selain itu, gaya seni yang terlihat pada arca juga mencerminkan pengaruh dari budaya India, terutama dalam ikonografi Hindu dan Buddha.
Baca Juga : Hujan Disertai Angin Picu Pohon Tumbang, Tutup Akses Jalan Malang-Kediri
Meskipun penemuan ini disambut dengan antusiasme, tantangan konservasi situs tetap menjadi perhatian utama. Kompleks Candi Tondowongso menghadapi ancaman kerusakan akibat aktivitas manusia dan faktor alam. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian situs ini.
Para sejarawan, termasuk arkeolog terkenal seperti Prof. Agus Aris Munandar, menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut untuk mengungkap informasi yang lebih lengkap tentang situs ini. Selain itu, penggalian yang dilakukan dengan pendekatan multidisiplin diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran Tondowongso dalam sejarah Jawa Timur.
Kompleks Candi Tondowongso adalah cerminan masa lalu yang kaya akan cerita dan warisan budaya. Dengan melestarikan situs ini, kita tidak hanya melindungi sejarah, tetapi juga menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa kini. Dalam konteks yang lebih luas, penemuan ini menegaskan betapa pentingnya arkeologi dalam mengisi kekosongan narasi sejarah, khususnya mengenai era Kediri yang selama ini kurang terwakili dalam peninggalan fisik.
Bagi generasi mendatang, Kompleks Candi Tondowongso adalah bukti nyata keagungan peradaban masa lalu. Situs ini mengajarkan kita untuk menghargai warisan budaya dan pentingnya menjaga keberlanjutannya. Sebagaimana Sungai Brantas yang terus mengalir melewati waktu, warisan sejarah ini akan terus menginspirasi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.