free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Kalapoaking: Dinasti yang Terlahir dari Peristiwa Air Kelapa Tua

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

29 - Nov - 2024, 12:54

Placeholder
Raden Toemenggoeng Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, Bupati Banjarnegara, bersama sang istri. Fotografer: O. Hisgen & Co. (Semarang) Pemotretan: Tahun 1930 Koleksi: KITLV Leiden

JATIMTIMES- Kisah Trah Kalapaking menjadi salah satu bagian penting dari sejarah Jawa, mencerminkan pergulatan kekuasaan, intrik kerajaan, dan pengabdian yang membentuk identitas suatu keluarga besar. 

Berawal dari kisah tragis Raden Ayu Retno Pembayun, hingga berkembang menjadi garis keturunan para Tumenggung di Panjer (Kebumen), Trah Kalapaking menorehkan jejak mendalam dalam sejarah budaya dan politik Jawa. Artikel ini mengupas perjalanan panjang keluarga ini, mulai dari cikal bakal, peran penting tokoh-tokohnya, hingga warisan yang bertahan hingga kini.

Awal Mula: Kisah Tragis Raden Ayu Retno Pembayun

Baca Juga : Cocok Diminum Saat Pagi Hari, ini 5 Minuman Rekomendasi Ahli untuk Hempaskan Perut Buncit

Sejarah Trah Kalapaking bermula dari peristiwa di masa Panembahan Senopati. Raden Ayu Retno Pembayun, putri Panembahan Senopati dengan Mas Ayu Adisara, menikah dengan Ki Ageng Mangir IV. Namun, konflik berujung pada wafatnya Ki Ageng Mangir IV, meninggalkan Raden Ayu yang tengah mengandung lima bulan.

Panembahan Senopati kemudian menikahkan Retno Pembayun dengan Ki Ageng Godomakuto, putra sulung Ki Ageng Karang Lo. Namun, Panembahan Senopati berpesan agar jika anak yang dilahirkan adalah laki-laki, ia harus dilenyapkan. Beberapa bulan kemudian, Raden Ayu melahirkan seorang putra, tetapi ajal menjemputnya tak lama setelah persalinan.

Ki Ageng Godomakuto membawa bayi tersebut ke Dusun Gelaran di Gunung Kidul. Namun, hatinya tidak tega untuk membunuh bayi itu. Ia mengganti isian tikar dengan gedebok pisang dan menguburnya, sedangkan sang bayi dititipkan kepada sesepuh desa Gelaran. Bayi ini diberi nama Raden Mas Sepet Madu.

Dari Raden Mas Sepet Madu hingga Ki Maduseno

Raden Mas Sepet Madu tumbuh besar di Gelaran, namun kemudian memutuskan untuk mengembara. Perjalanannya membawanya ke Wodjo Bagelen, di mana ia menikah dengan Dewi Madjati dan menetap di sana. Di wilayah ini, ia dikenal sebagai Ki Maduseno. Keturunan Ki Maduseno menjadi penerus trah yang penting dalam sejarah Jawa.

Salah satu cucu Ki Maduseno, Ki Kertowongso, menjadi penguasa Panjer Roma dengan gelar Ki Gede Panjer Roma III. Pada masa inilah kisah penting tentang Sunan Amangkurat I terjadi.

Gelar Kalapaking: Sebuah Penghormatan dari Sunan Amangkurat I

Setelah Keraton Plered jatuh ke tangan Trunojoyo, Sunan Amangkurat I melarikan diri untuk mencari perlindungan. Dalam perjalanan, ia tiba di Panjer Roma dalam kondisi sakit dan diterima oleh Ki Kertowongso. Ketika meminta air kelapa muda, situasi malam hujan membuat Ki Kertowongso hanya mampu menyuguhkan air kelapa tua (kelapa aking). Meski demikian, air tersebut mengembalikan kesehatan sang Sunan.

Sebagai bentuk terima kasih, Amangkurat I memberikan gelar “Kalapaaking” kepada Ki Kertowongso, yang berarti kelapa tua. Gelar ini menjadi identitas baru yang diwariskan kepada keturunannya. Sunan juga menikahkan putrinya, Raden Ayu Kleting Abang, dengan Ki Kertowongso, memperkuat hubungan keluarga kerajaan dengan Trah Kalapaking.

Dinasti Tumenggung Kalapaking

Baca Juga : DPUPRPKP Kota Malang Bangun Sanitasi di 26 Kelurahan

Trah Kalapaking kemudian menjadi dinasti Tumenggung di Panjer, dimulai dengan Ki Kertowongso sebagai Kalapaking I. Gelar ini diwariskan turun-temurun hingga Kalapaking IV. Perjalanan dinasti ini mencerminkan transformasi Panjer menjadi wilayah penting di bawah pengaruh keluarga Kalapaking.

Ki Bagus Mandingin (Kalapaking II) melanjutkan estafet kepemimpinan hingga 1751. Kepemimpinan ini diteruskan oleh Ki Bagus Sulaiman (Kalapaking III) yang memimpin hingga 1790. Kalapaking IV menjadi pemegang terakhir gelar Tumenggung di bawah sistem tradisional hingga jabatan itu berakhir pada 1833.

Warisan Budaya dan Sosial

Trah Kalapaking tidak hanya meninggalkan jejak dalam struktur pemerintahan tradisional Jawa, tetapi juga dalam budaya dan warisan keluarga. Beberapa anggota keluarga Kalapaking terkenal di era modern, seperti Soenarjo Kalapaking, menteri dalam Kabinet Sjahrir I, dan Novia Kolopaking, seorang aktris dan penyanyi.

Peninggalan fisik seperti makam Ki Maduseno di Wodjo dan petilasan tempat Sunan Amangkurat I minum air kelapa tua menjadi simbol sejarah yang erat terkait dengan Trah Kalapaking.

Trah Kalapaking adalah contoh nyata bagaimana sejarah keluarga dapat menjadi bagian integral dari narasi besar sebuah bangsa. Dari kisah tragis Raden Ayu Retno Pembayun hingga peran politik keluarga Kalapaking, sejarah ini mencerminkan perjalanan panjang sebuah keluarga yang terus dikenang. Warisan Trah Kalapaking tidak hanya hidup melalui keturunannya, tetapi juga melalui nilai-nilai pengabdian, keberanian, dan ketahanan yang mereka wariskan kepada generasi berikutnya.

 


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Sejarah Jawa Kalapaking



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni