free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Dari Landreform hingga Kudeta: Jejak Langkah PKI di Jateng dan Yogyakarta

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

30 - Sep - 2024, 12:18

Placeholder
Anggota PKI berkumpul dalam sebuah acara di era 1960-an. (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Periode 1960 hingga 1965 di Yogyakarta dan Jawa Tengah mencatatkan babak kelam dalam sejarah Indonesia, khususnya mengenai sepak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Setelah memperoleh kemenangan signifikan dalam Pemilu 1955, PKI semakin agresif dalam memperluas pengaruh politiknya. 

Baca Juga : Mediasi Buntu, Warga Malang Korban Penipuan Berkedok Penggandaan Uang Lapor Polisi

Aksi-aksi sepihak hingga kudeta yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S) mengukir trauma mendalam bagi masyarakat. Dari retorika hingga tindakan nyata, PKI berhasil menancapkan kekuasaannya dalam berbagai aspek kehidupan di Yogyakarta dan sekitarnya.

PKI di Panggung Politik: Agresi yang Terus Meningkat

Kemenangan PKI di Pemilu 1955 menjadi titik tolak keberanian mereka dalam menantang berbagai kelompok politik dan militer. 

Dengan strategi propaganda yang kuat melalui rapat umum, kampanye pers, radio, dan poster-poster, mereka menyerang para lawan politiknya. Tahun 1963, PKI melancarkan aksi sepihak yang dikenal sebagai landreform, di mana para buruh dan petani, dengan dukungan kader PKI, merampas tanah di berbagai daerah Yogyakarta seperti Gunung Kidul, Bantul, Sleman, dan Kulon Progo. 

Tindakan ini memicu kekacauan dan ketidakstabilan sosial yang mendalam, menimbulkan ketakutan di kalangan pemilik tanah dan kelompok masyarakat yang menentang komunis.

Selain itu, PKI membentuk Biro Khusus yang dipimpin oleh Syam Kamaruzaman dengan tujuan menanamkan pengaruh mereka di kalangan militer, terutama di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). 

Pengaruh ini diharapkan mampu menetralkan kekuatan ABRI yang menjadi satu-satunya penghalang PKI dalam menggulingkan Pancasila dan menggantinya dengan ideologi komunis.

Kampanye Fitnah dan Tuduhan Kudeta

Sebagai bagian dari strategi politiknya, PKI melancarkan kampanye fitnah terhadap para pemimpin TNI, menuding mereka membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. 

Tuduhan ini semakin diperkuat dengan isu bahwa para jenderal tersebut merupakan agen asing yang bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Inggris, yang pada saat itu dilabeli sebagai Nekolim (Neo-Kolonialisme, Imperialisme).

Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pengaruh PKI meluas, termasuk ke dalam tubuh birokrasi dan pemerintahan. Kekuatan politik mereka terlihat dengan keberhasilan memengaruhi beberapa pejabat militer dan pemerintah, yang kemudian berkontribusi pada pembentukan Dewan Revolusi di daerah tersebut. 

Latihan-latihan kemiliteran untuk anggota Pemuda Rakyat, SOBSI, dan Gerwani juga dilakukan di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta, Surakarta, Klaten, dan Boyolali, sebagai persiapan menghadapi potensi konfrontasi dengan militer.

30 September 1965: Ketika G30S Mengguncang Jakarta

Tanggal 30 September 1965 menjadi hari yang penuh gejolak. Di Jakarta, penculikan para jenderal terjadi di malam hari, menandai dimulainya Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letkol Untung. 

Namun, di daerah seperti Yogyakarta, berita mengenai peristiwa tersebut belum sepenuhnya tersiar. Pada pagi harinya, masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah mulai merasakan kebingungan setelah mendengar pengumuman di Radio Republik Indonesia (RRI) yang disampaikan oleh Letkol Untung, mengenai adanya Dewan Jenderal dan pembentukan Dewan Revolusi Pusat.

Pada saat yang sama, RRI Semarang mengumumkan bahwa Dewan Revolusi Daerah Jawa Tengah telah terbentuk. Masyarakat yang mengandalkan radio sebagai satu-satunya sumber informasi semakin bingung dengan perkembangan situasi yang cepat berubah.

Dewan Revolusi Yogyakarta dan Kuasanya di RRI

Pada malam 1 Oktober 1965, pemberontak berhasil menguasai RRI Yogyakarta. Mayor Mulyono, seorang simpatisan PKI, melalui corong RRI mengumumkan bahwa Dewan Revolusi telah terbentuk di Yogyakarta, dengan dirinya sebagai pimpinan Korem 072. 

Pengumuman ini membuat masyarakat semakin cemas, terutama setelah Mayor Mulyono secara terbuka menyatakan dukungan terhadap Gerakan 30 September.

Namun, tidak semua masyarakat menerima narasi dari RRI Yogyakarta. Banyak yang memilih mendengarkan siaran RRI Pusat Jakarta yang telah berhasil dikuasai kembali oleh Mayjen Soeharto. 

Pada saat itu, Mayjen Soeharto menyatakan bahwa situasi di Jakarta telah dikendalikan oleh TNI-AD, menimbulkan harapan di kalangan masyarakat Yogyakarta yang menentang PKI.

Demonstrasi dan Penguasaan Kota oleh PKI

Selama tanggal 1 hingga 4 Oktober 1965, Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Dewan Revolusi yang didukung PKI. 

Di jalan-jalan, para simpatisan PKI menggelar demonstrasi dengan yel-yel yang mendukung Gerakan 30 September dan mengecam Dewan Jenderal. Mereka juga menempelkan poster-poster di berbagai sudut kota, menebarkan propaganda dan intimidasi terhadap masyarakat yang tidak mendukung mereka.

Baca Juga : Kampus Pemberi Gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad Diduga Abal-Abal, Tak Masuk Pemeringkatan Dunia

Namun, di balik kekuasaan PKI yang tampak di permukaan, ada ketakutan yang mendalam di kalangan masyarakat non-komunis. 

Mereka menyadari bahwa kekuatan PKI di Yogyakarta sangat besar, dan belum ada tanda-tanda bahwa perlawanan terhadap PKI akan berhasil. RRI Yogyakarta, yang berada di bawah kendali PKI, menolak menyiarkan berita dari Jakarta, dan masyarakat dipaksa mendengarkan narasi yang dikendalikan oleh Mayor Mulyono dan kelompoknya.

Perlawanan dan Penumpasan PKI di Yogyakarta

Setelah pihak militer yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto berhasil menguasai kembali RRI Pusat di Jakarta, dimulailah aksi penumpasan terhadap para simpatisan dan pendukung PKI di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta. Pada 4 Oktober 1965, pemerintah berhasil mengambil alih kembali kendali atas Yogyakarta. 

Dengan jatuhnya kekuasaan PKI, masyarakat non-komunis mulai bergerak menyusun kekuatan untuk melancarkan perlawanan.

Gerakan perlawanan anti-komunis di Yogyakarta dipimpin oleh kelompok pemuda yang sebagian besar berasal dari kalangan Generasi Muda Islam (Gemuis) dan kelompok nasionalis. Tokoh-tokoh seperti H. Saebani, H.M. Jamhari, dan H.A. Basuni memimpin aksi-aksi tersebut. 

Selain itu, kelompok nasionalis yang dipelopori oleh Yussac MR turut berperan dalam melawan pengaruh komunis di tubuh Partai Nasional Indonesia (PNI).

Mayor Mulyono dan Akhir dari Dewan Revolusi Yogyakarta

Pada 18 Oktober 1965, Mayor Mulyono, yang memimpin Dewan Revolusi di Yogyakarta, akhirnya ditangkap di Boyolali oleh pasukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). 

Penangkapan ini menjadi simbol runtuhnya kekuatan PKI di Yogyakarta, yang selama hampir sebulan menjadi basis utama pemberontakan komunis di Jawa Tengah dan DIY.

Pada saat yang sama, pencarian terhadap Kolonel Katamso dan Letkol Soegiyono, dua perwira tinggi TNI yang hilang sejak awal Oktober 1965, terus dilakukan. Akhirnya, pada 21 Oktober 1965, mayat keduanya ditemukan di markas Batalyon L di Kentungan, Yogyakarta. 

Penemuan ini memicu kemarahan yang lebih besar di kalangan masyarakat terhadap PKI, dan menjadi titik awal bagi tindakan balas dendam yang meluas.

Penutupan dan Dampak Tragedi 1965

Pada 20 Oktober 1965, rapat akbar digelar di Lapangan Secodiningratan, Yogyakarta, yang dihadiri oleh 55 organisasi anti-komunis. Dalam rapat tersebut, dideklarasikan bahwa PKI dilarang melakukan kegiatan di Yogyakarta, sebuah keputusan yang disambut dengan antusiasme oleh masyarakat. 

Yogyakarta menjadi salah satu daerah pertama yang secara resmi melarang aktivitas PKI, mendahului keputusan nasional yang serupa.

Dengan runtuhnya PKI, suasana di Yogyakarta dan Jawa Tengah mulai berangsur pulih, meskipun trauma dan ketakutan terhadap kekerasan politik masih menghantui masyarakat selama bertahun-tahun. 

Tragedi 1965 di Yogyakarta menjadi salah satu contoh betapa rapuhnya tatanan sosial dan politik ketika kekuatan radikal berusaha menggulingkan dasar negara.

Periode 1960-1965 di Yogyakarta dan Jawa Tengah mencerminkan salah satu fase paling menegangkan dalam sejarah Indonesia. Dari aksi sepihak yang didorong oleh PKI hingga terjadinya Gerakan 30 September, masyarakat Yogyakarta hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan. Namun, dengan kebangkitan kekuatan-kekuatan anti-komunis, khususnya dari kalangan pemuda Islam dan nasionalis, Yogyakarta akhirnya berhasil keluar dari cengkeraman PKI. 

Tragedi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga stabilitas politik dan sosial demi keberlangsungan negara yang berlandaskan Pancasila.

 


Topik

Serba Serbi pki landreform kudeta pki



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana