free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

The Real Raja Jawa: Kisah Ki Ageng Suryomentaram, Pangeran Jawa yang Memilih Jadi Rakyat Biasa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

23 - Sep - 2024, 11:18

Placeholder
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran Jawa yang memilih hidup sederhana. (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES- Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf besar yang terlahir dari garis keturunan keraton Yogyakarta, mungkin menjadi salah satu tokoh yang paling unik dalam sejarah Jawa. 

Lahir sebagai Pangeran Surya Mataram, putra ke-55 dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, ia tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekuasaan, kebesaran, dan tanggung jawab sebagai bagian dari keluarga kerajaan. 

Baca Juga : Kisah Ashabul Kahfi: Para Pemuda yang Tertidur Selama 309 Tahun

Namun, ia memilih jalan yang berbeda. Alih-alih meneruskan warisan kebangsawanan, Ki Ageng Suryomentaram memutuskan untuk menanggalkan gelarnya dan hidup sebagai rakyat biasa.

Keputusan ini tidak hanya mencengangkan banyak orang pada zamannya tetapi juga membawa pesan kuat tentang kesederhanaan dan makna hidup yang lebih dalam. 

Ia menjadi seorang filsuf yang ajarannya hingga kini masih relevan dan dipelajari, terutama ajaran moral "aja dumeh" yang berarti jangan menyombongkan diri. Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri perjalanan hidup Ki Ageng Suryomentaram dan bagaimana pemikirannya membentuk filsafat Jawa yang tetap berpengaruh hingga kini.

Meninggalkan Gelar Pangeran

 Sebagai seorang pangeran, kehidupan awal Ki Ageng Suryomentaram dipenuhi dengan kemewahan dan tanggung jawab. Namun, di balik itu semua, ia merasakan kegelisahan yang mendalam. 

Kegelisahan ini pertama kali muncul ketika ia menyaksikan kehidupan para petani yang bekerja keras di sawah. Ia melihat betapa beratnya kehidupan rakyat kecil yang harus bersusah payah untuk sekadar bertahan hidup.

Pada titik ini, Suryomentaram mulai mempertanyakan makna dari gelar kepangeranannya dan kehidupan istana yang penuh dengan formalitas dan kemewahan. 

Baginya, gelar dan status sosial tidak berarti apa-apa jika tidak disertai dengan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan. Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan keraton, menanggalkan gelar Pangeran Surya Mataram, dan memilih nama Ki Ageng Suryomentaram.

Keputusan ini tidak hanya mengejutkan keluarganya, tetapi juga mengubah arah hidupnya secara drastis. Ki Ageng Suryomentaram kemudian menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa, bekerja sebagai petani, pedagang batik, bahkan kuli. Ia melakukan perjalanan mengembara ke berbagai daerah seperti Kroya dan Purworejo, menjalani kehidupan yang jauh dari kemewahan istana.

Pencarian Spiritual dan Pengembaraan Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya meninggalkan gelar kebangsawanannya, tetapi juga mulai menjalani hidup yang penuh dengan pencarian spiritual. 

Ia sering bersemedi di tempat-tempat keramat seperti Gua Langse, Gua Semin, dan Parangtritis, tempat-tempat yang memiliki kaitan dengan leluhurnya. Di sana, ia merenungkan makna hidup dan mencoba memahami alam semesta serta posisinya sebagai manusia di dalamnya.

Pada suatu ketika, pihak keraton mengirim utusan untuk mencarinya. Mereka menemukannya di Kroya sedang bekerja sebagai penggali sumur. Utusan tersebut membujuknya untuk kembali ke keraton, namun meskipun ia kembali ke istana, kegelisahan yang ia rasakan tidak hilang. Kehidupan istana yang dipenuhi dengan kemewahan dan status sosial semakin terasa hampa baginya.

Peristiwa demi peristiwa menambah kegelisahan dalam hidupnya. Salah satu yang paling memengaruhi jiwanya adalah ketika kakeknya, Patih Danurejo VI, dipecat dari jabatannya dan ibunya dikembalikan kepada keluarga besar kakeknya. 

Tidak lama setelah itu, istrinya meninggal dunia, meninggalkan luka yang semakin dalam di hatinya. Semua peristiwa ini membuatnya semakin mantap untuk meninggalkan kehidupan istana dan menjalani hidup sebagai rakyat biasa.

Menjadi Petani dan Guru Kebatinan

 Setelah kematian istrinya, Ki Ageng Suryomentaram pindah ke Bringin, Salatiga. Di sana, ia menjalani kehidupan sederhana sebagai petani. Namun, kehidupannya tidak berhenti pada pekerjaan fisik semata. Ia juga menjadi guru spiritual yang mengajarkan ajaran kebatinan yang ia sebut sebagai "Kawruh Begja". 

Ajaran ini berfokus pada pencapaian kebahagiaan batin melalui pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri dan hubungan manusia dengan alam semesta.

Sepanjang hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram melakukan observasi yang mendalam terhadap alam kejiwaan manusia. Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek utama dari penelitiannya.

Baca Juga : 6 Bulan Terjun di Dunia Modelling, Abid Aqilla Usia 6 Tahun Punya Segundang Prestasi Moncer

 Dari hasil observasinya, ia menulis berbagai karya, baik dalam bentuk buku, ceramah, maupun tulisan-tulisan pendek. Ia menyampaikan ceramah di hadapan kelompok-kelompok kecil, dengan gaya yang sederhana namun penuh makna.

Ki Ageng Suryomentaram menjalani hidup yang sangat sederhana. Ia sering terlihat mengenakan celana pendek, sarung, dan kaos, jauh dari kesan kebangsawanan yang melekat pada dirinya. Penampilannya ini mencerminkan filosofi hidupnya yang menekankan kesederhanaan dan kejujuran dalam menjalani kehidupan.

Ajaran Kebatinan dan Filosofi Hidup

 Salah satu ajaran terkenal Ki Ageng Suryomentaram adalah "aja dumeh", sebuah prinsip moral yang mengingatkan manusia untuk tidak sombong dan tidak merendahkan orang lain hanya karena memiliki pangkat atau kedudukan yang lebih tinggi. 

Bagi Suryomentaram, semua manusia pada dasarnya setara, dan tidak ada yang lebih mulia hanya karena memiliki kekayaan, status sosial, atau kekuasaan.

Dari ajaran kebatinannya, ia mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang rasa manusia. Dalam pandangannya, setiap manusia memiliki rasa yang sama, yaitu keinginan untuk melestarikan diri dan jenisnya. 

Suryomentaram percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai dengan memahami dan menerima kenyataan hidup, serta menyingkirkan keinginan yang tidak perlu.

Ia juga merumuskan sebuah prinsip hidup sederhana yang disebut "NEMSA" atau "6-SA", yang terdiri dari enam aspek utama: sakepenake (sesuai kenyamanan), sabutuhe (sesuai kebutuhan), sacukupe (sesuai kecukupan), samesthine (sesuai kewajaran), sabenere (sesuai kebenaran). Prinsip-prinsip ini menekankan keseimbangan hidup yang harmonis dengan alam dan diri sendiri.

Menurut Ki Ageng Suryomentaram, sumber utama dari ketidakbahagiaan adalah keinginan. Ia membagi keinginan menjadi tiga kategori: semat, drajat, dan kramat. Semat adalah keinginan akan kekayaan dan kesenangan duniawi, seperti kecantikan, ketampanan, atau harta benda. Drajat merujuk pada status sosial, kehormatan, dan kemuliaan. Sedangkan kramat berkaitan dengan kekuasaan dan jabatan. Bagi Suryomentaram, ketiga jenis keinginan ini adalah sumber dari segala penderitaan dan ketidakbahagiaan manusia.

Warisan dan Pengaruh Pemikiran Meskipun memilih hidup sederhana dan jauh dari sorotan, warisan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram terus hidup hingga kini. Ajaran-ajarannya, terutama yang berkaitan dengan kesederhanaan, moralitas, dan kebijaksanaan hidup, masih menjadi bahan perbincangan di kalangan penggiat spiritual dan filsafat Jawa. 

Banyak orang yang mencari inspirasi dari ajaran kebatinannya untuk mencapai kebahagiaan batin dan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan.

Ki Ageng Suryomentaram bukan hanya seorang filsuf, tetapi juga seorang guru kehidupan yang mengajarkan nilai-nilai universal yang relevan untuk semua zaman. Kehidupannya yang penuh dengan pencarian spiritual, pengorbanan, dan pemahaman mendalam tentang manusia menjadikannya sosok yang patut dihormati dan dikenang. Meskipun ia berasal dari keluarga kerajaan, ia memilih untuk melepaskan semua kemewahan dan status sosial demi mencari makna hidup yang sejati.

 Kisah hidup Ki Ageng Suryomentaram adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan renungan dan pengorbanan. Dari seorang pangeran yang terlahir di lingkungan istana, ia memilih untuk menjadi rakyat biasa dan menjalani hidup yang sederhana. Keputusan ini mencerminkan kedalaman pemikirannya tentang kehidupan dan kebahagiaan sejati. Dalam ajaran-ajarannya, ia mengingatkan kita untuk selalu rendah hati, menerima kenyataan hidup, dan menjauhkan diri dari keinginan-keinginan duniawi yang hanya membawa ketidakbahagiaan.

Warisan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram akan terus hidup sebagai bagian dari kekayaan spiritual dan intelektual Jawa. Melalui ajaran-ajarannya, kita dapat belajar untuk lebih memahami diri sendiri, menjalani hidup dengan lebih bijaksana, dan menemukan kebahagiaan sejati yang terletak dalam kesederhanaan hidup.

 


Topik

Serba Serbi ki ageng suryomentaram raja jawa ajaran ki ageng suryomentaram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana