JATIMTIMES - Ledre pisang adalah salah satu jenis camilan yang memiliki rasa manis dan gurih asli Bojonegoro yang sudah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB). Meski demikian, ledre pisang rupanya juga banyak dijumpai di toko oleh-oleh yang ada di Tulungagung.
Ledre pisang rupanya memiliki kisah sejarah yang menarik. Makanan satu ini lahir dari tangan kreatif masyarakat Tionghoa di Bojonegoro yang kemudian berkembang menjadi salah satu ikon kuliner lokal khas Jawa Timur yang populer hingga saat ini.
Baca Juga : Polisi Selidiki Penyebab Kebakaran Tanaman Bambu di Desa Ngujang, Diduga Ulah ODGJ
Bahan dasar ledre pisang terdiri dari pisang raja, tepung terigu, gula, dan tepung beras, yang diolah dengan cermat hingga menghasilkan camilan berbentuk gulungan dengan panjang sekitar 20 cm. Ciri khas ledre adalah rasa pisang yang kuat, dengan tekstur lembut dan renyah yang membuatnya termasuk dalam kategori kue kering.
Bagi yang asing dengan bentuk ledre pisang, bentuk gulungannya yang menyerupai semprong, menjadikannya mudah dikenali dan disukai oleh banyak orang. Meski bentuk dan rasanya serupa dengan kue semprong, di Bojonegoro, camilan ini lebih dikenal dengan nama ledre.
Menurut laman Warisan Budaya Takbenda Indonesia, nama "ledre" berasal dari kata "diedre-edre" yang berarti "dibuat pipih melebar". Proses pembuatan ledre menggunakan arang sebagai bahan bakar untuk memanaskan adonan, yang memberikan aroma khas dan kelezatan yang berbeda.
Sejarah mencatat bahwa ledre pertama kali muncul di kawasan Pecinan Padangan, Bojonegoro, sekitar tahun 1932. Kawasan ini dikenal sebagai pusat pemukiman masyarakat Tionghoa yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo.
Tokoh yang merintis ledre pisang bernama Mak Min Tjie, seorang perempuan Tionghoa berusia 14 tahun. Saat itu, dia adalah orang pertama yang menciptakan ledre dan dikenal sebagai pionir dalam industri pembuatan ledre hingga ia wafat pada tahun 2002 di usia 84 tahun.
Baca Juga : Mengenal Jeruk Pamelo Madu Pagelaran, Beratnya Sampai 3 Kilogram
Setelah kepergian Mak Min Tjie, usahanya diteruskan oleh putri angkatnya, Ny. Seger, yang juga dikenal dengan nama Sri Eka Darmayanti setelah menikah dengan Seger Eko Buono pada tahun 1978. Ny. Seger melanjutkan tradisi pembuatan ledre di Pecinan Padangan, tepatnya di depan Gereja Padangan, dengan merk dagang Ledre Ny. Seger.
Dia telah membantu ibunya sejak muda dalam proses pembuatan dan penjualan ledre, sehingga tidak mengalami kesulitan besar dalam meneruskan usaha keluarga tersebut. Saat ini, produksi ledre tidak hanya terbatas di Bojonegoro, bahkan banyak kuliner ledre yang rupanya juga dibuat di Tulungagung.
Ledre pisang menjadi salah satu camilan dengan keunikan rasa dan tekstur yang khas. Makanan ini sering menjadi pilihan oleh-oleh kala berkunjung ke Jawa Timur, khususnya di wilayah Tulungagung. Warisan ini terus dilestarikan oleh para pengrajin ledre lokal, sehingga memastikan makanan yang memiliki tekstur renyah ini tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang.