JATIMTIMES - Jan Pieterszoon Coen, nama yang sering kali menyulut perdebatan di kalangan sejarawan dan masyarakat merupakan sosok kunci dalam sejarah kolonial Indonesia. Sebagai Gubernur Jenderal VOC yang keempat dan keenam, Coen meninggalkan jejak mendalam dalam pembentukan dan pengembangan kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara.
Artikel ini akan menggali berbagai aspek dari kepemimpinan dan kebijakan Coen yang mengubah lanskap politik dan ekonomi Indonesia, serta bagaimana ia dikenang dalam konteks sejarah yang lebih luas.
Baca Juga : Doa Malam Tirakatan 17 Agustus 2024, Arab Beserta Latin
Mendirikan Batavia dan Menerapkan Kebijakan Monopoli
Lahir di Hoorn, Noord Holland pada akhir abad ke-16, Coen memulai kariernya di VOC pada tahun 1607. Kariernya di VOC dimulai dengan penuh warna, termasuk pelayaran yang penuh risiko dan kekacauan di Banda yang meninggalkan kesan mendalam pada strategi dan kebijakan masa depannya.
Pada tahun 1619, Coen memimpin usaha untuk merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten dan mengubahnya menjadi Batavia, yang kemudian menjadi pusat kekuasaan VOC di Asia.
Batavia, yang kini dikenal sebagai Jakarta, bukan hanya sekadar pusat perdagangan. Di bawah kepemimpinan Coen, kota ini dijadikan sebagai basis strategis untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah dan sebagai pusat administrasi dan militer VOC.
Kebijakan monopoili Coen yang ketat terhadap perdagangan rempah-rempah dan intervensi politik yang agresif membentuk fondasi kekuasaan VOC yang terus berlanjut selama berabad-abad.
Coen dikenal dengan strategi politik dan ekonominya yang kontroversial. Di satu sisi, ia mendorong pengembangan perdagangan dengan membuka Batavia bagi para imigran China yang dianggap dapat bekerja sama dengan baik dengan VOC. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan ketegangan yang memuncak satu abad kemudian ketika etnis China melakukan perlawanan besar-besaran yang dikenal dengan nama The Batavian Fury.
Dalam kebijakan ekonominya, Coen menerapkan monopoli yang ketat atas perdagangan rempah-rempah, yang pada akhirnya menghambat perdagangan bebas dan menindas pedagang lokal. Monopoli ini tidak hanya menguntungkan VOC tetapi juga memperburuk hubungan dengan kerajaan-kerajaan lokal.
Selain itu, Coen menggunakan politik adu domba untuk melemahkan kekuatan politik saingan VOC, seperti yang terlihat dalam perjalanannya menghadapai Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung.
Kepemimpinan dan Konflik
Selama masa jabatannya, Coen terlibat dalam berbagai konflik, termasuk pertempuran melawan Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Mataram melakukan dua serangan besar terhadap Batavia pada tahun 1628 dan 1629, namun kedua serangan tersebut berhasil digagalkan oleh Coen dan pasukannya.
Meski demikian, kepemimpinan Coen tidak bebas dari kontroversi. Ia dikenal karena tindakan brutalnya, seperti pembantaian massal di Kepulauan Banda pada tahun 1621, di mana hampir seluruh penduduk pulau tersebut tewas.
Kematian Coen pada 21 September 1629, empat hari setelah istrinya, Eva Ment, melahirkan seorang putri yang juga meninggal, menyisakan dua versi mengenai penyebab kematiannya. Versi Belanda menyebutkan kematian Coen akibat wabah kolera, sedangkan versi lainnya mengklaim bahwa kematiannya disebabkan oleh serangan pasukan Mataram yang menyebarkan wabah tersebut.
Akhir Hidup JP Coen di Tangan Nyimas Utari
Nyimas Utari Sandijayaningsih, atau lebih dikenal sebagai Nyimas Utari, adalah salah satu tokoh yang namanya terukir dalam sejarah sebagai seorang wanita cantik sekaligus prajurit telik sandi dari Kesultanan Mataram Islam. Putri dari Bagus Wanabaya dan Roro Pembayun ini, terkenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena perannya dalam sebuah misi rahasia yang berakhir tragis dan dramatis.
Nyimas Utari, bersama suaminya Mahmudin, menjalani kehidupan yang mirip dengan pasangan fiktif John Smith dan Jane Smith dalam film "Mr. and Mrs. Smith." Mereka terlibat dalam misi rahasia berbahaya, yang pada akhirnya mengarah pada pembunuhan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen.
Dalam rangka menyelesaikan misi ini, Nyimas Utari bahkan harus menyamar sebagai penyanyi di klub tempat berkumpulnya para perwira VOC. Kehadiran Nyimas Utari di Batavia tidak lepas dari peran Asisten JP Coen, Wong Agung Aceh, dan juga merupakan bagian dari persiapan Mataram untuk melakukan serangan kedua terhadap benteng VOC.
Kisah Nyimas Utari dan Mahmudin berawal dari keputusan Sultan Agung untuk menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Serangan pertama mengalami kegagalan, namun serangan kedua berhasil merebut kemenangan.
Dalam Babad Jawa, dikisahkan bahwa rencana pembunuhan JP Coen telah lama disiapkan oleh pasukan intelijen Mataram yang dikenal dengan nama Dom Sumuruping Mbanyu.
Pada 20 September 1629, Nyimas Utari berhasil mengeksekusi misi tersebut dengan racun arsenik yang dicampurkan ke dalam minuman Coen. Keberhasilan Nyimas Utari dalam membunuh Gubernur Jenderal VOC ini diikuti dengan tindakan brutal, yaitu pemenggalan kepala Coen.
Kepala tersebut kemudian dibawa keluar dari benteng Batavia dan diserahkan kepada Tumenggung Surotani dan Bagus Wanabaya, sebelum akhirnya dikuburkan di Mataram oleh Sultan Agung. Kepala Coen diawetkan dan dimakamkan di tangga menuju makam Sultan Agung di Imogiri sebagai simbol kemenangan dan balas dendam.
Kematian JP Coen sangat dipengaruhi oleh tragedi pribadi yang menimpa dirinya. Pada 16 September 1629, istri dan anaknya, Eva Ment, meninggal dunia. Dalam keadaan duka dan kekalutan tersebut, Coen menjadi lengah dan tidak menyadari bahwa Nyimas Utari telah mempersiapkan serangan mematikan.
Intrik dan perencanaan detail dari misi ini menunjukkan keterlibatan mendalam Bagus Wanabaya, ayah Nyimas Utari, yang berani mempertaruhkan nyawanya dan anaknya demi tujuan tersebut. Kisah serupa juga pernah dilakukan oleh ibunda Nyimas Utari, Roro Pembayun, yang menyamar sebagai penari jalanan sebelum menghancurkan kerajaan Mangir.
Baca Juga : Muncul Potensi Gempa Megathrust hingga Tsunami, Begini Pentingnya Mitigasi yang Harus Dilakukan!
Setelah berhasil menyelesaikan misinya, Nyimas Utari bersama suaminya Mahmudin berusaha melarikan diri dari Batavia. Namun, dalam pelarian tersebut, Nyimas Utari tewas akibat tembakan meriam dari pasukan VOC. Jenazahnya dibopong oleh Mahmudin hingga tiba di Desa Keramat, tempat ia dimakamkan. Makam Nyimas Utari kini dikenal sebagai Keramat Wali Mahmudin, dengan pohon beringin yang menaungi situs tersebut.
Akhir hidup Nyimas Utari adalah kisah tragis dan heroik yang mencerminkan dedikasi dan keberanian seorang wanita dalam melaksanakan misi rahasia di tengah konflik kolonial. Pengorbanan Nyimas Utari dan suaminya tetap dikenang sebagai simbol perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat Nusantara di bawah kekuasaan kolonial.
Warisan dan Kontroversi
Warisan Coen sebagai pendiri Batavia dan peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia sangatlah kompleks. Di satu sisi, ia dianggap sebagai arsitek dari kekuasaan kolonial Belanda di Asia, dan banyak jalan serta monumen di Belanda dan Indonesia dinamai menurut namanya. Namun, kebijakan dan tindakan keras yang dilakukannya, termasuk penggunaan kekerasan dan monopoli, meninggalkan dampak negatif yang mendalam bagi masyarakat lokal.
Sindiran terhadap Coen bahkan muncul dalam bentuk pantun-pantun yang dibuat oleh rakyat Betawi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan dan perilaku kejamnya. Pantun seperti “Pieter Coen, Pieter Coen, Ringen-ringen Onderdeel” menggambarkan kebencian mendalam terhadap Coen dan harapan akan kematian yang tidak wajar.
Coen juga dikenang sebagai sosok religius namun kejam, yang menggunakan cara-cara biadab dalam memperluas kekuasaan VOC. Meskipun ia dihormati sebagai pendiri kota Batavia, banyak yang melihatnya sebagai simbol dari penindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Jan Pieterszoon Coen merupakan tokoh yang tidak bisa diabaikan dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Dengan kebijakan dan strateginya, Coen membentuk dasar-dasar kekuasaan VOC di Nusantara, meninggalkan warisan yang penuh dengan kontroversi. Kepemimpinan dan kebijakannya menunjukkan bagaimana kekuasaan kolonial mengubah dan membentuk sejarah serta kehidupan masyarakat lokal.
Sementara ia dianggap sebagai pendiri Batavia dan pelopor penjajahan VOC, cara-cara kejam dan monopoli yang diterapkannya juga menggarisbawahi tantangan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat Nusantara.
Sindiran Terhadap JP Coen di Era Kolonial
Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC di Batavia, dikenal sebagai salah satu penguasa kolonial yang paling dibenci oleh rakyat Nusantara. Selama masa pemerintahannya, Coen menerapkan berbagai kebijakan keras dan represif yang merugikan masyarakat pribumi. Tindakan-tindakan tersebut meliputi peraturan yang sangat menindas serta sikap angkuh yang semakin memperburuk kondisi rakyat.
Dalam konteks ini, sindiran menjadi salah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan kolonial. Salah satu sindiran terkenal terhadap Coen dapat ditemukan dalam pantun Betawi yang berbunyi: "Pieter Coen Pieter Coen/ Ringen-ringen Onderdeel"
Pantun ini, yang dapat diartikan sebagai "Jan Pieterszoon Coen yang mengenakan cincin onderdil mati menelan batu koral," mencerminkan rasa kebencian mendalam terhadap Coen. Dalam budaya Betawi, pantun sering digunakan sebagai alat sindiran yang mengandung pesan-pesan tajam namun disampaikan dengan cara yang halus.
Pantun ini mengandung makna yang dalam, dengan menyebut "cincin onderdil" dan "batu koral." "Cincin onderdil" merujuk pada barang-barang mewah yang dikenakan oleh Coen, menunjukkan kontras yang tajam antara kemewahan pribadi dan penderitaan rakyat. Sedangkan "batu koral" yang menelan Coen dalam pantun tersebut menggambarkan harapan rakyat agar Coen mengalami kematian yang tidak wajar sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan kejamnya.
Sindiran ini tidak hanya merupakan ekspresi kemarahan rakyat tetapi juga sarana untuk menyampaikan pesan secara luas. Dalam situasi di mana perlawanan langsung terhadap penguasa sangat terbatas, pantun ini memberikan outlet bagi rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka dengan cara yang aman dan kreatif. Pantun-pantun seperti ini berfungsi sebagai bentuk solidaritas di antara rakyat yang merasakan penderitaan yang sama dan menciptakan rasa persatuan di tengah penindasan.
Melalui sindiran yang penuh simbolisme dan makna, rakyat Nusantara pada masa itu berhasil menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap penguasa kolonial. Sindiran ini menjadi cerminan dari perjuangan mereka melawan penindasan dan ketidakadilan yang diterima, serta menunjukkan kekuatan perlawanan lisan yang tetap relevan hingga hari ini.
Sindiran terhadap JP Coen merupakan cerminan dari ketidakpuasan rakyat Nusantara yang mendalam terhadap kebijakan dan sikap pemerintahan kolonial. Dengan menggunakan pantun sebagai alat sindiran, rakyat Batavia berhasil menyampaikan rasa marah dan ketidakadilan secara kreatif. Sindiran ini menunjukkan bagaimana rakyat menggunakan kreativitas mereka untuk melawan penindasan, meskipun kekuatan mereka terbatas. Ini juga menggarisbawahi kekuatan perlawanan lisan dan simbolisme dalam konteks sosial dan politik yang menindas.
Patung JP Coen: Simbol Kontroversial di Batavia
Selain di tanah kelahirannya, Hoorn, Belanda, terdapat pula patung Jan Pieterszoon Coen di Batavia, yang kini dikenal sebagai Jakarta. Coen, yang dikenal oleh orang Jawa sebagai Mur Jangkung, merupakan pendiri kota Batavia dan tokoh sentral dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara. Patung ini dibangun untuk mengenang jasa-jasa Coen, tetapi juga mencerminkan kompleksitas warisannya.
Pada tahun 1869, untuk merayakan ulang tahun ke-250 kota Batavia, pemerintah kolonial Belanda mendirikan patung Coen. Patung ini dirancang oleh Gubernur Jenderal Pieter Mijer, dan berdiri di depan Gedung Putih, yang kini menjadi kantor Menko Perekonomian, di Lapangan Banteng. Patung tembaga tersebut menampilkan Coen dengan pose angkuh, menunjuk dengan jari telunjuknya, dengan motto terkenalnya, "Dispereet Niet" atau "Pantang Berputus Asa."
Selama 74 tahun, patung ini menjadi simbol kekuasaan kolonial Belanda di Batavia. Namun, pada 7 Maret 1943, saat pendudukan Jepang di Indonesia, patung tersebut dihancurkan. Sejarawan JJ Rizal menjelaskan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari upaya untuk menghapus bekas-bekas kolonial Belanda dari tanah Indonesia. Seluruh simbol kolonial, termasuk patung JP Coen, dihapus untuk memberi jalan bagi simbol-simbol baru dan menandai perubahan era.