JATIMTIMES - Batoro Katong, tokoh legendaris dalam sejarah Islam di Jawa, dikenal sebagai salah satu penyebar utama agama Islam di wilayah Trenggalek, Ponorogo, dan Pacitan. Asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke periode setelah wafatnya Ki Ageng Kutu dan berdirinya Ponorogo. Batoro Katong diyakini sebagai penguasa yang membawa panji Islam ke wilayah ini, dan pengaruhnya masih terasa hingga kini.
Asal Usul Batoro Katong: Dari Majapahit Menuju Ponorogo
Batoro Katong dikenal sebagai tokoh legendaris yang hidup di masa peralihan antara runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kesultanan Demak. Ia adalah salah satu putra Raja Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit, dan lahir dengan nama asli Lembu Kenanga. Meskipun begitu, beberapa sumber lain menyebutnya sebagai Raden Jaka Piturun, Raden Bathoro Katong, atau Lembu Kanigoro. Sejak muda, ia telah menunjukkan bakat kepemimpinan yang luar biasa.
Baca Juga : Dapat 10 Jahitan dan Alami Gegar Otak, Julian Guevara Absen 2 Pekan
Setelah Majapahit melemah dan akhirnya runtuh sekitar tahun 1478, Lembu Kenanga, yang kemudian dikenal sebagai Batoro Katong, memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa Timur, khususnya di Ponorogo. Namun, ada versi lain yang menyatakan bahwa Batoro Katong datang ke Ponorogo atas perintah Raja Brawijaya V untuk menangkap Demang Kutu, yang menolak panggilan ke Keraton Majapahit. Dalam versi ini, Batoro Katong belum memeluk Islam ketika tiba di Ponorogo.
Setelah Kesultanan Demak mulai berkembang, Batoro Katong kemudian diutus oleh Raden Patah, Sultan Demak, untuk menyebarkan Islam di Ponorogo. Wilayah ini masih dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Buddha dan dipimpin oleh Ki Ageng Kutu, seorang demang dengan kekuatan magis yang luar biasa
Nama Brawijaya V, ayah dari Batoro Katong, tercatat dalam berbagai sumber sejarah, mulai dari Prasasti Jiyu hingga Serat Pararaton. Sebagai salah satu keturunan Dinasti Rajasa, yang merupakan garis keturunan dari Ken Arok, Brawijaya V diakui sebagai penguasa terakhir dinasti tersebut. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1447 hingga 1451, dan meskipun masa pemerintahannya singkat, kebijakan yang diambilnya memiliki dampak besar.
Selama masa pemerintahannya, Brawijaya V menunjukkan perhatian yang signifikan terhadap perkembangan agama Islam di Majapahit. Kebijakannya yang inklusif dan dukungannya terhadap penyebaran Islam menjadi titik awal dari babak baru dalam sejarah Jawa.
Dyah Kertawijaya, yang lebih dikenal sebagai Brawijaya V, naik tahta Majapahit menggantikan kakaknya, Rani Suhita, setelah wafatnya pada tahun 1447. Karena Rani Suhita tidak memiliki putra, tahta jatuh kepada Dyah Kertawijaya, yang kemudian dinobatkan dengan nama abhiseka: Sri Prabu Kertawijaya Parakramawarddhana.
Dalam Babad Tanah Jawi, Dyah Kertawijaya dikenal sebagai Raden Alit, dan setelah menjadi raja, ia bergelar Prabu Brawijaya V. Gelar ini mengikuti urutan raja-raja laki-laki Majapahit sebelumnya, seperti Sri Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Sri Prabu Jayanegara, Sri Prabu Rajasanegara, Sri Prabu Wikramawarddhana, dan Sri Prabu Kertawijaya.
Sri Prabu Kertawijaya dikenal sebagai Maharaja Majapahit pertama yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam, meskipun dirinya beragama Hindu. Hal ini dipengaruhi oleh hubungan dekatnya dengan teman, kerabat, dan para pembantu yang beragama Islam, serta dua istrinya yang berasal dari Campa dan Cina, yang juga beragama Islam.
Beberapa putra Sri Prabu Kertawijaya diketahui memeluk agama Islam. Berdasarkan sumber historiografi seperti Babad Ponorogo, Babad ing Gresik, Babad Pengging, Babad Sembar, Serat Kandha, dan berbagai naskah silsilah keturunan Prabu Brawijaya V, seperti Tedhak Tedhak Pusponegaran, Pustaka Dharah Agung, dan Silsilah Jayalelana, diketahui bahwa di antara putranya yang memeluk Islam adalah Arya Damar Adipati Palembang, Bathara Katong Adipati Ponorogo, Arya Lembu Peteng Adipati Pamadegan, Arya Menak Koncar Adipati Lumajang, Raden Patah Adipati Demak, Raden Bondan Kejawen Kiai Ageng Tarub II, dan Raden Dhandhun Wangsaprana yang bergelar Syekh Belabelu.
Dengan pengaruh besar Islam dalam keluarganya, Brawijaya V memainkan peran penting dalam perkembangan agama tersebut di Majapahit. Kepemimpinannya yang terbuka terhadap berbagai agama, terutama Islam, menandai masa transisi penting dalam sejarah kerajaan Majapahit dan mendorong penyebaran Islam di Nusantara.
Batoro Katong, salah satu tokoh penting dalam sejarah Ponorogo, memiliki garis keturunan yang menghubungkannya dengan Kerajaan Champa di Vietnam dan ulama besar Nusantara, Sunan Ampel. Ibunya, Darawati, adalah permaisuri Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Sebagai putri Raja Kauthara dari Champa, Darawati membawa darah bangsawan Champa dan Tionghoa melalui ayahnya, Bong Tak Keng. Di Majapahit, Darawati dikenal dengan sebutan Putri Campa, sebuah identitas yang menegaskan asal-usulnya yang unik.
Pernikahan Darawati dengan Brawijaya V menjadi sorotan karena Darawati adalah seorang muslimah, yang menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika politik dan sosial di Majapahit. Dari pernikahan ini lahir Retno Pembayun dan Bathara Katong. Retno Pembayun menikah dengan Sri Makurung Prabu Handayaningrat, penguasa Pengging, dan menjadi ibu dari Joko Tingkir, pendiri Kasultanan Pajang.
Bathara Katong, putra Darawati dan Brawijaya V, kemudian dikenal sebagai penguasa pertama Ponorogo dan salah satu tokoh utama dalam penyebaran Islam di Jawa Timur. Hubungannya dengan Sunan Ampel, yang tidak lain adalah keponakannya, memperkuat posisinya dalam memperkenalkan Islam di tanah Jawa. Sunan Ampel, yang juga datang dari Champa, mendapat dukungan penuh dari Brawijaya V untuk menyebarkan ajaran Islam, dan perannya sebagai imam di Surabaya menjadi salah satu titik penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Setelah tiba di Ponorogo, Batoro Katong dan pasukannya akhirnya berhadapan dengan Ki Ageng Kutu. Dalam pertempuran yang penuh tantangan, Ki Ageng Kutu, dengan ilmu magisnya, mampu menghilang dan muncul kembali di tempat lain. Namun, kekuatannya tidak bisa bertahan selamanya. Setelah tiga hari, sebuah aroma busuk muncul dari tanah di Gunung Jimat, menandakan bahwa Ki Ageng Kutu telah tewas, dan daerah tersebut kemudian dikenal sebagai Gunung Bacin.
Kemenangan atas Ki Ageng Kutu menandai awal kekuasaan Batoro Katong di Ponorogo. Dia kemudian mendirikan pusat pemerintahan dan mengislamkan masyarakat setempat. Batoro Katong menjadi pendiri Ponorogo dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut, dengan pengaruh yang tetap terasa hingga kini dalam budaya dan tradisi masyarakat Ponorogo, termasuk dalam seni Reog Ponorogo yang terkenal.
Sejarah mencatat bahwa Batoro Katong memulai misinya menyebarkan agama islam dari pusat kekuasaan di daerah yang kini dikenal sebagai Madiun, Ponorogo, Trenggalek dan Pacitan. Wilayah-wilayah ini, yang pada masa itu merupakan pusat kekuasaan penting, menjadi medan utama bagi penyebaran agama Islam. Keturunan dan pengikut Batoro Katong menjadi bagian dari elite lokal, menjadikannya tokoh berpengaruh yang dikenang dengan hormat.
Asal Muasal Perdesaan di Pacitan: Babad Hutan oleh Pengikut Batoro Katong
Proses awal pembentukan perdesaan di Pacitan dimulai dengan babad hutan oleh para pengikut Batoro Katong. Mereka bekerja keras untuk membuka lahan yang pada akhirnya menjadi cikal bakal perdesaan yang ada hingga saat ini. Usaha mereka tidak hanya mencerminkan semangat juang, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam sejarah perkembangan wilayah Pacitan.
Beberapa tahun setelah Batoro Katong diangkat sebagai Adipati Ponorogo, seorang Muslim dari Demak bernama Kiai Siti Geseng datang menghadap Batoro Katong dengan permintaan untuk membabat hutan dan mendirikan perdesaan. Sang adipati, yang tertarik dengan permintaan tersebut, memberikan izin kepada Kiai Siti Geseng untuk memilih area hutan yang diinginkannya. Setelah perdesaan berhasil didirikan dan aman, Kiai Siti Geseng diminta untuk menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.
Kiai Siti Geseng, bersama istri dan anak-anaknya, memulai perjalanan ke selatan melalui medan bergunung-gunung. Meskipun perjalanan tersebut penuh tantangan, mereka akhirnya tiba di sebuah lembah yang dianggap ideal. Di tempat ini, Kiai Siti Geseng menancapkan tongkat bambu petung sebesar gagang sabit sebagai tanda dan mulai membabat hutan. Lokasi tersebut kini dikenal sebagai Desa Ngrejoso.
Setelah berhasil membabat area yang luas, Kiai Siti Geseng merasa lelah dan mencari tempat dekat mata air untuk beristirahat. Di sini, ia memohon kepada Allah agar tempat tersebut dapat dihuni dan berkembang dengan baik oleh keturunannya. Tempat tersebut kemudian dikenal sebagai Luweng Sewu, yang berjarak sekitar 2,5 pal dari Ngrejoso. Kiai Siti Geseng tinggal di sana untuk beberapa waktu sebelum kembali memeriksa hasil kerja pembabatan hutannya. Ia menemukan bahwa tongkat bambu petung yang ditancapkannya telah tumbuh besar dan menjadi simbol keramat bagi penduduk setempat. Rumpun bambu tersebut, meskipun tidak dapat berkembang biak, tetap menjadi simbol penting dan dihormati hingga kini. Sejak saat itu, Kiai Siti Geseng dikenal dengan nama Kiai Petung.
Setelah kepergian Kiai Siti Geseng, seorang muslim yang taat dari Demak, Syekh Maulana Maghribi, datang menghadap Batoro Katong dengan niat serupa. Batoro Katong memberikan izin kepada Syekh Maulana Maghribi untuk memilih area hutan yang diinginkannya untuk dibabat. Syekh Maulana Maghribi dan keluarganya memulai perjalanan ke selatan, melalui medan bergunung-gunung yang menantang. Mereka akhirnya tiba di hutan sebelah utara Desa Ngrejoso, sekitar 4 pal dari desa tersebut, dan memutuskan untuk membangun tempat tinggal.
Di kawasan ini, Syekh Maulana Maghribi terpesona oleh kesuburan tanah dan keanekaragaman flora. Ia segera mulai membabat hutan untuk membangun perdesaan baru yang kini dikenal sebagai Duduwan. Beberapa bulan kemudian, Syekh Maulana Maghribi mendengar tentang Kiai Petung dan mengunjungi Ngrejoso, sementara Kiai Petung juga mengunjungi Duduwan. Pertemuan antara kedua tokoh tersebut membahas strategi penyebaran agama Islam di kawasan baru yang telah mereka buka.
Setelah kepergian Syekh Maulana Maghribi dari Ponorogo, dua sosok baru muncul dengan tekad yang sama untuk membuka hutan di wilayah Pacitan. Mereka adalah Kiai Ampokbaya dan Ménak Sopal. Menghadapi Batoro Katong, mereka memohon untuk diberikan izin membabat hutan sebagai lahan perdesaan, dan permintaan mereka pun dikabulkan oleh sang adipati.
Kiai Ampokbaya dan Ménak Sopal segera memulai perjalanan mereka dengan penuh semangat. Ménak Sopal memilih untuk menjelajah ke tenggara, sementara Kiai Ampokbaya menuju barat daya. Ménak Sopal akhirnya tiba di hutan Trenggalek, yang ia anggap cocok untuk dijadikan perdesaan. Hutan tersebut kemudian diubah menjadi Kota Trenggalek.
Baca Juga : Pelti Kota Malang Siapkan Tim Jelang Porprov IX Jatim
Sementara itu, Kiai Ampokbaya berkelana hingga tiba di barat laut Ngrejoso, yang berjarak sekitar lima pal dari lokasi tersebut. Ia merasa terhubung dengan tanah itu dan mulai membabat hutan untuk menjadikannya tempat tinggal. Hutan yang diolah Kiai Ampokbaya kemudian dikenal sebagai Desa Posong.
Suatu hari, untuk menenangkan diri sekaligus mengeksplorasi lingkungan sekitar, Kiai Ampokbaya mendaki gunung di sebelah barat Desa Posong. Dari puncak gunung, ia melihat asap mengepul di kejauhan, menandakan adanya kebakaran hutan. Dalam hatinya, Kiai Ampokbaya berpikir bahwa tempat tersebut mungkin bisa menjadi lokasi baru bagi perdesaan, jika hutan itu dibuka kembali.
Setelah kembali ke rumah, Kiai Ampokbaya memutuskan untuk memeriksa lokasi asap tersebut dan berkunjung ke Desa Ngrejoso. Di sana, ia bertemu dengan Kiai Petung, yang masih aktif membuka hutan di wilayah itu. Keduanya saling berkenalan, dan Kiai Petung menjelaskan bahwa ia telah menancapkan tongkat bambu petung sebagai penanda waktu pembukaan hutan yang dilakukannya, dan bambu tersebut kini telah tumbuh besar.
Kiai Ampokbaya kemudian menunjukkan bahwa ia telah lebih dahulu membabat hutan di wilayah Posong. Kiai Petung menerima ajakan untuk berkunjung ke Posong dan menilai kondisi di sana. Kiai Ampokbaya, untuk meyakinkan Kiai Petung, memanfaatkan kelapa tua dari Ponorogo yang ditanam di kebunnya sebagai rekayasa untuk menunjukkan bahwa hutan Posong telah lebih dulu dibuka.
Setelah pertemuan tersebut, Kiai Ampokbaya kembali ke Desanya dengan keyakinan bahwa usaha dan penantian yang dilakukannya tidak sia-sia. Dengan kedatangan Ménak Sopal dan Kiai Ampokbaya, perdesaan di Pacitan semakin berkembang, menambah warna sejarah dalam perjalanan panjang pembentukan wilayah ini.
Dengan berkembangnya perdesaan di Pacitan, sejumlah tokoh baru muncul untuk turut membangun wilayah tersebut. Salah satu di antaranya adalah Kiai Buwono Keling, yang mengambil peran penting dalam membuka hutan di Desa Jati. Sejak kedatangan Kiai Petung, Syekh Maulana Maghribi, dan Kiai Ampokbaya di daerah tersebut, banyak orang yang mengikuti jejak mereka dengan tujuan yang sama: membuka hutan untuk dijadikan perdesaan.
Sebagian besar dari mereka yang mengikuti proses pembukaan hutan adalah pelarian dari Majapahit dan pengikut agama Buddha. Salah satu tokoh utama dari kelompok ini adalah Kiai Buwono Keling. Menyadari pesatnya pertumbuhan dan perubahan di wilayah Pacitan, Kiai Buwono Keling memutuskan untuk menetap di Desa Jati dan memulai upaya pembabatan hutan di area tersebut.
Kiai Buwono Keling memulai tugasnya dengan tekad dan dedikasi. Hutan di Desa Jati, yang sebelumnya belum pernah disentuh oleh tangan manusia, mulai dibuka dan dikembangkan menjadi lahan perdesaan. Dengan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya, Kiai Buwono Keling menghadapi tantangan-tantangan yang ada dan secara perlahan mengubah hutan yang lebat menjadi area yang dapat dihuni.
Namun, upaya Kiai Buwono Keling tidak berjalan tanpa konflik. Wilayah Pacitan saat itu merupakan kawasan yang penuh dengan berbagai macam pengaruh dan kepentingan, dan kehadiran Kiai Buwono Keling sebagai seorang pelarian dari Majapahit dengan latar belakang Buddha menimbulkan ketegangan dengan penduduk lokal yang telah menganut Islam. Konflik antara Kiai Buwono Keling dan tokoh-tokoh Islam yang sudah ada menjadi salah satu tantangan besar yang harus dihadapi.
Penyebaran Islam di Pacitan dan Konflik dengan penganut Buddha
Masuknya Islam ke Pacitan terkait erat dengan penyebaran Islam di Ponorogo. Babad Negara Patjitan mencatat bahwa sebelum kedatangan Islam, Pacitan adalah daerah yang hampir tidak berpenghuni dengan hutan lebat dan beberapa permukiman Buddha di Kalak. Para pengikut Batoro Katong dari Demak mulai membuka hutan dan mendirikan permukiman Islam di daerah ini.
Ketika Batoro Katong membuka hutan di Ponorogo, keadaan wilayah pegunungan di sepanjang Pantai Selatan yang kini dikenal sebagai Pacitan masih berupa hutan belantara. Tampaknya, tanah tersebut belum pernah dijelajahi secara menyeluruh oleh manusia. Beberapa lokasi, seperti Gua Kalak di Subdistrik Belah, Gua Sampura di Tulakan, puncak Gunung Limo di Kebonagung, Astana Gentong, Masjid Manten di kota, dan masjid di Tanjung Kidul di Lorog, menunjukkan bahwa manusia sudah mulai menjelajahi daerah tersebut. Namun, orang-orang yang datang ke sana kebanyakan adalah para pertapa yang tidak berniat membangun permukiman.
Proses penyebaran Islam menghadapi berbagai tantangan, terutama konflik dengan penganut Buddha. Salah satu konflik utama adalah dengan Kiai Buwana Keling. Kiai Siti Geseng, Kiai Posong, dan Syekh Maulana Maghribi, yang merupakan pengikut Batoro Katong dan dikenal karena penjelajahan mereka di Pacitan, mencoba melakukan pendekatan damai terhadap Kiai Buwana Keling. Namun, upaya tersebut gagal.
Dikisahkan, Ketika Syekh Maulana Maghribi dan Kiai Petung tiba di Desa Jati, mereka dihadapkan pada tantangan besar. Ki Buwono Keling menolak untuk berpindah agama dan menantang Kiai Petung untuk berduel. Pertempuran pun tak terhindarkan. Meskipun Ki Buwono Keling memiliki ilmu Pancasona yang membuatnya kebal dari serangan fisik, akhirnya dia jatuh setelah serangan bertubi-tubi dari pasukan Islam.
Kiai Petung mengambil langkah drastis dengan memenggal kepala Ki Buwono Keling untuk memastikan bahwa dia tidak akan bangkit kembali. Para pengikut Ki Buwono Keling berusaha membalas dendam, tetapi tidak mampu menghadapi kekuatan pasukan Islam. Beberapa melarikan diri, sementara yang lainnya akhirnya memeluk Islam.
Setelah pertempuran, makam Ki Buwono Keling diberi cungkup dan menjadi tempat ziarah, terutama bagi para dalang wayang dan pedagang. Kisah ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh Batoro Katong dan pengikutnya dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.
Sambigumelar: Perubahan Melalui Pendekatan Bijaksana
Sambigumelar, cicit dari Ki Buwono Keling, menjadi tokoh penting dalam proses Islamisasi di Pacitan. Kiai Petung, bersama Kiai Posong dan Syekh Maulana Maghribi, memutuskan untuk tidak memaksakan Islam pada Sambigumelar. Sebaliknya, mereka memilih pendekatan bijaksana, dengan harapan Sambigumelar akan memeluk Islam atas kemauannya sendiri.
Suatu hari, Kiai Petung bertemu dengan seorang laki-laki tua yang memberi nasihat untuk tidak memaksakan Islam pada Sambigumelar. Laki-laki tersebut memberikan bambu berisi dinar dan uang emas sebagai isyarat untuk menggunakan kekayaan tersebut dengan bijaksana. Kiai Petung menggunakan uang tersebut untuk investasi, yang kemudian menghasilkan kekayaan yang melimpah.
Kemudian, Sambigumelar, yang semakin tertarik pada agama Islam, mengunjungi Desa Ngrejoso untuk meminta petunjuk. Kiai Petung menerima kedatangannya dengan gembira, mengajarinya rukun Islam, dan memberi nasihat agar sering berkunjung ke desa-desa Islam lainnya. Sambigumelar akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam dan mengikuti ajaran yang diterimanya.
Warisan Abadi di Tanah Pacitan
Kisah Batoro Katong dan pengikutnya memberikan gambaran mendalam tentang perjalanan penyebaran Islam di tanah Pacitan. Melalui tekad dan dedikasi, mereka tidak hanya membabat hutan dan mendirikan perdesaan, tetapi juga menyebarluaskan ajaran Islam dengan cara yang penuh makna. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, termasuk konflik dengan penganut Buddha, kontribusi mereka telah membentuk fondasi yang kokoh bagi perkembangan Islam di wilayah ini.
Kini, jejak sejarah Batoro Katong dan para tokoh lainnya terus dikenang sebagai bagian penting dari warisan budaya dan agama di Indonesia. Warisan ini tidak hanya mencerminkan kekuatan dan keteguhan para penyebar Islam, tetapi juga menunjukkan bagaimana nilai-nilai spiritual dan sosial bisa membentuk identitas suatu wilayah. Dengan menghargai sejarah mereka, kita dapat lebih memahami dan menghormati perjalanan panjang yang telah membentuk Pacitan seperti yang kita kenal sekarang.