JATIMTIMES - Pada masa awal berdirinya Kesultanan Mataram, Panembahan Senopati memainkan peran penting dalam memperluas kekuasaan dan pengaruh kerajaan di seluruh Jawa. Salah satu langkah strategisnya adalah dengan memperkuat hubungan politik dan keluarga melalui pemberian gelar kebangsawanan kepada kerabat dekatnya. Salah satu gelar yang diberikan adalah Pangeran Blitar, yang kemudian menjadi gelar turun temurun bagi para penguasa di Madiun.
Madiun di Bawah Mataram: Retno Dumilah dan Panembahan Senopati
Madiun, yang awalnya merupakan wilayah mandiri, perlahan menjadi daerah penting di tanah Jawa setelah jatuh ke tangan Kesultanan Mataram. Kepentingan Madiun bagi Mataram tidak lepas dari pernikahan antara Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah, putri Pangeran Timur, penguasa Madiun.
Baca Juga : PKB dan Mas Ibin Siap Bertarung Melawan PDIP di Pilkada Kota Blitar
Setelah menikah, Retno Dumilah bergelar Raden Ayu Jumilah, dan dari pernikahan ini lahirlah tiga orang putra: Raden Mas Julig, Raden Bagus (yang kemudian bergelar Pangeran Blitar), dan Raden Mas Keniten (yang kelak bergelar Pangeran Adipati Martalaya ing Madiun).
Raden Bagus, putra kedua, menjadi tokoh paling terkenal di antara ketiganya. Ia dikenal sebagai Pangeran Adipati Juminah dan diyakini sama dengan Kiai Adipati Madiun. H.J. De Graaf, seorang sejarawan terkenal, menyatakan bahwa Juminah ini adalah sebutan yang sama dengan Blitar.
Panembahan Senopati menunjuk Raden Bagus, yang bergelar Pangeran Adipati Juminah, sebagai Adipati Madiun setelah ia mencapai usia dewasa. Dialah bangsawan pertama dari Mataram yang bergelar Pangeran Blitar (Juminah). Sebelumnya, Madiun dipimpin oleh Bagus Petak, keponakan Senopati, sebagai Bupati Madiun.
Panembahan Juminah dan keturunannya memerintah Madiun secara turun temurun hingga Perjanjian Giyanti 1755. Menurut H.J. De Graaf, penunjukan Panembahan Juminah dan keturunannya sebagai bupati Madiun disebabkan oleh beberapa faktor. Selain karena mereka adalah keturunan penguasa Mataram, Panembahan Juminah juga merupakan cucu dari Pangeran Timur, penguasa Madiun yang sangat dicintai rakyatnya.
Panembahan Juminah memiliki putra bernama Adipati Balitar, yang menjabat sebagai Bupati Madiun dari 1645 hingga 1677. Cucu dari Adipati Balitar, yang dikenal sebagai Pangeran Balitar Tumapel, juga menjabat sebagai Bupati Madiun dari 1677 hingga 1703. Pangeran Balitar Tumapel adalah ayah dari Ratu Mas Blitar, yang kemudian bergelar Ratu Pakubuwono, permaisuri Sunan Pakubuwono I. Ratu Mas Blitar memiliki saudara laki-laki, Pangeran Ario Blitar, yang menjabat Bupati Madiun pada periode 1707-1709.
Ratu Mas Blitar, juga dikenal sebagai Raden Ayu Puger, memiliki pengaruh besar di lingkungan Keraton Kartasura pada awal hingga pertengahan abad ke-18. Ia merupakan bangsawan Jawa terhormat yang menurunkan raja-raja di Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Namun, ketokohan Ratu Mas Blitar kurang dikenal oleh masyarakat Madiun, mungkin karena masa pemerintahannya yang singkat sebagai Bupati Madiun antara 1703 dan 1704.
Gelar Pangeran Blitar: Strategi Politik Panembahan Senopati
Penggunaan nama Blitar sebagai gelar bangsawan oleh Panembahan Senopati memiliki makna strategis. Menurut H.J. De Graaf dalam bukunya "Awal Kebangkitan Mataram," setelah mengangkat dirinya menjadi Raja pertama Kesultanan Mataram dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, Panembahan Senopati memberikan gelar kebangsawanan dan kenaikan pangkat kepada anggota keluarga, saudara, putra-putranya, dan patihnya. Beberapa gelar tersebut menggunakan nama-nama daerah di Jawa Timur, seperti Pangeran Singasari, Pangeran Puger, dan Pangeran Juminah (Blitar).
Penggunaan nama-nama ini memiliki tujuan tertentu. Misalnya, nama Singasari merujuk pada kerajaan besar di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok. Menurut De Graaf, penggunaan nama ini menunjukkan keinginan Senopati untuk melampaui penguasa di ujung timur Jawa dengan menyematkan gelar yang lebih tua dan lebih asli daripada Majapahit.
Namun, penggunaan nama Blitar dan Puger lebih sulit dipahami karena kedua daerah ini tidak memiliki sejarah yang kuat pada abad XVII. De Graaf berpendapat bahwa Senopati mungkin ingin menciptakan tiruan Kerajaan Mataram di Jawa Timur, dengan Mataram sebagai pusat dan diapit oleh Bagelen serta Pajang. Begitulah Singasari di timur diapit oleh Blitar dan Puger. Dengan demikian, pengangkatan Pangeran Singasari, Pangeran Blitar, dan Pangeran Puger mungkin dimaksudkan sebagai pernyataan hak atas wilayah serupa yang dimilikinya di Jawa Tengah.
Panembahan Juminah: Pangeran Blitar Pertama dari Mataram dan Hubungannya dengan Sultan Agung
Panembahan Juminah, yang dikenal sebagai Pangeran Balitar I sebelum mendapatkan gelar Panembahan, adalah Pangeran Blitar pertama yang diangkat dari Mataram. Ia adalah putra dari Retno Dumilah dan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram. Meskipun awalnya tidak ditunjuk sebagai penerus tahta, Juminah memiliki peran penting di Mataram. Pada tahun 1601, ia diangkat sebagai bupati Madiun dengan gelar Pangeran Adipati Juminah Petak atau Adipati Mangkunegara I.
Panembahan Juminah memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Sultan Agung, keponakannya. Sultan Agung, yang merupakan putra dari Panembahan Hanyakrawati dan Ratu Mas Hadi, menikahkan ibunya, Ratu Mas Hadi, dengan Juminah setelah kematian ayahnya. Melalui pernikahan ini, Juminah mendapat gelar Panembahan, memperkuat posisinya sebagai bangsawan penting di Mataram.
Panembahan Juminah terlibat dalam berbagai pertempuran signifikan, termasuk pertempuran melawan Tuban pada 1619 dan serangan ke Batavia pada 1628 dan 1629. Meskipun gagal dalam beberapa serangan, Juminah tetap mempertahankan posisinya yang penting berkat kedekatannya dengan Sultan Agung. Kedudukan Juminah sebagai paman dan ayah tiri Sultan Agung menjamin perlindungan dan statusnya di istana.
Gelar Pangeran Blitar yang diberikan kepada keluarga kerajaan memainkan peranan penting dalam kejayaan Mataram. Sejarah mencatat bahwa Pangeran Blitar, bersama Pangeran Singasari, Pangeran Puger, dan Pangeran Purbaya, berada di barisan paling depan selama pengepungan kedua atas Batavia pada 1629. Setelah kegagalan serangan ke Batavia itu, mereka tidak diberikan hukuman, berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang tidak begitu tinggi kedudukannya dan dihukum mati oleh Sultan Agung.
Sultan Agung menginstruksikan Panembahan Juminah untuk memimpin pembangunan makam di atas bukit di Giriloyo sebagai mercusuar Dinasti Mataram. Namun, Juminah meninggal dunia sebelum makam selesai dibangun. Sebagai bentuk penghormatan, Sultan Agung memerintahkan agar Juminah dimakamkan di lokasi makam yang sedang dibangun tersebut, bersama Ratu Mas Hadi.
Panembahan Juminah meninggalkan warisan penting dalam sejarah Mataram. Sebagai Pangeran Blitar pertama dari Mataram, ia memainkan peran krusial dalam memperkuat posisi keluarga Mataram di wilayah Madiun. Keturunannya juga melanjutkan pengaruhnya, termasuk melalui pernikahan dan keturunan yang terhubung dengan tokoh-tokoh penting di dinasti Mataram. Hubungannya yang erat dengan Sultan Agung menunjukkan pengaruh dan kontribusinya yang signifikan dalam sejarah Mataram.
Pangeran Blitar: Inspirator Perjuangan Pangeran Sambernyawa
Selain Panembahan Juminah, ada satu lagi sosok terkenal yang menyandang gelar Pangeran Blitar. Dia adalah putra Sunan Pakubuwono I dan Ratu Mas Blitar. Pangeran Blitar ini memiliki peran penting dalam sejarah Mataram dan menjadi inspirasi bagi perjuangan Pangeran Sambernyawa.
Pangeran Blitar adalah putra dari Sunan Pakubuwono I dan Ratu Mas Blitar. Ratu Mas Blitar sendiri adalah keturunan Panembahan Juminah dari Madiun. Nama Blitar yang melekat pada pangeran ini berasal dari gelar kebangsawanan yang diberikan oleh Panembahan Senopati kepada keturunan Retno Dumilah, permaisuri Senopati yang berasal dari Madiun. Oleh karena itu, gelar Blitar tidak hanya menunjukkan wilayah, tetapi juga garis keturunan bangsawan yang kuat. Pangeran Blitar menjadi salah satu tokoh sentral dalam Perang Suksesi Jawa II (1719-1723), sebuah konflik yang mengguncang Kesultanan Mataram.
Baca Juga : Bakesbangpol Kota Blitar Dorong Peran Perempuan dalam Pilkada 2024
Perang Suksesi Jawa II dipicu oleh pemberontakan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya melawan Sunan Amangkurat IV, saudara mereka. Pemberontakan ini bertujuan untuk melengserkan Amangkurat IV dari tahta Mataram. Meski perang ini kalah terkenal dibanding Perang Suksesi Jawa III yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa, Perang Suksesi Jawa II memiliki dampak signifikan dalam memicu konflik-konflik selanjutnya.
Pangeran Blitar, yang dikenal sebagai putra kesayangan Ratu Mas Blitar, menunjukkan keberanian dan tekad dalam melawan kekuasaan yang dianggapnya tidak adil. Perang ini berakhir pada tahun 1723 dengan kekalahan para pemberontak, namun semangat juang Pangeran Blitar tidak pernah padam hingga akhir hayatnya di Malang pada tahun 1721.
Kisah perjuangan Pangeran Blitar tidak hanya berhenti pada dirinya. Pengaruhnya sangat besar terhadap keturunannya, termasuk Pangeran Arya Mangkunegara, putra Amangkurat IV. Arya Mangkunegara, yang kemudian menurunkan putera Raden Mas Said atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, terinspirasi oleh semangat pemberontakan Pangeran Blitar.
Raden Mas Said, tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kisah perjuangan dan keberanian. Ia menyaksikan langsung bagaimana keluarganya berjuang melawan ketidakadilan, yang kemudian membentuk karakter keras dan tangguh dalam dirinya.
Raden Mas Said memulai perjuangannya sejak usia muda, dan pada akhirnya, ia menjadi salah satu tokoh pemberontak paling terkenal di tanah Jawa. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Belanda karena keberaniannya dan keahliannya dalam strategi perang gerilya yang membuatnya sulit dikalahkan. Perjuangannya berlanjut hingga tercapainya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Namun, ketidakpuasan Pangeran Sambernyawa terhadap pembagian wilayah ini membuatnya terus melanjutkan perjuangan hingga Perjanjian Salatiga pada tahun 1757, di mana ia diangkat sebagai Adipati Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I.
Kadipaten Mangkunegaran, yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa, adalah wujud nyata dari perjuangan dan semangat yang diwarisi dari Pangeran Blitar. Wilayah kekuasaannya mencakup Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara, dan Kedu. Saat ini, meskipun Kadipaten Mangkunegaran tidak lagi memiliki kekuasaan politik, peranannya dalam menjaga dan merawat kebudayaan Jawa tetap sangat penting, sebagai warisan dari semangat perjuangan yang dipelopori oleh Pangeran Blitar dan diteruskan oleh Pangeran Sambernyawa.
Ratu Mas Blitar: Bupati Perempuan Madiun yang Melahirkan Raja-Raja Dinasti Mataram
Di tengah gemerlapnya sejarah Madiun yang terkenal dengan julukan Bumi Pendekar, nama Retno Dumilah sering kali mendominasi kisah-kisah lokal. Selain menjadi putri dari pendiri Madiun, Pangeran Timur, Retno Dumilah juga merupakan bupati kedua Madiun sekaligus bupati perempuan pertama di tanah Jawa. Namun, ada satu lagi sosok bupati perempuan dari Madiun yang tidak kalah pentingnya, yaitu Ratu Mas Blitar.
Ratu Mas Blitar adalah keturunan langsung dari Retno Dumilah dan Panembahan Senopati. Retno Dumilah sendiri dikenal sebagai tokoh legendaris yang menjadi permaisuri Panembahan Senopati dan ibu dari Panembahan Juminah, seorang bupati Madiun yang berpengaruh dalam lingkaran pemerintahan Sultan Agung. Panembahan Juminah kemudian memiliki putra bernama Adipati Blitar, yang menjadi bupati Madiun dan ayah dari Pangeran Blitar Tumapel. Pangeran Blitar Tumapel inilah yang menjadi ayah dari Ratu Mas Blitar, yang kemudian dikenal dengan gelar Ratu Pakubuwono.
Nama Ratu Mas Blitar mungkin terdengar asing bagi masyarakat Madiun dan Jawa Timur, namun di lingkungan Kasultanan Mataram, nama ini begitu dihormati. Ratu Mas Blitar atau Ratu Pakubuwono adalah permaisuri Sunan Pakubuwono I dan merupakan ibu dari Sunan Amangkurat IV. Dari Sunan Amangkurat IV, lahirlah raja-raja besar seperti Sunan Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta. Garis keturunan ini terus berlanjut hingga melahirkan raja-raja yang memimpin Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Ratu Mas Blitar tidak hanya berperan sebagai ibu dari raja-raja Mataram, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan spiritual dan sastra Jawa. Ratu Mas Blitar mungkin satu-satunya sufi perempuan Indonesia yang diketahui menulis dan menyalin karya-karya sufistik Jawa. Karya-karya tersebut antara lain Carita Iskandar, Serat Yusuf, dan Kitab Usulbiyah. Karya-karya ini menunjukkan pengetahuan luas Ratu Mas Blitar tentang sufisme Jawa, yang pada masa itu dipengaruhi kuat oleh Tarekat Syattariyah di kalangan elite Jawa.
Selain karya sufistik, Ratu Mas Blitar juga menginisiasi penulisan Serat Iskandar, salah satu manuskrip Jawa yang berpengaruh di masa pemerintahan Kerajaan Mataram di Kartasura. Manuskrip ini ditulis sekitar tahun 1729-1730 atas perintah Ratu Mas Blitar yang mendambakan ajaran Islam sebagai dasar untuk mengembalikan kebesaran Mataram. Serat Iskandar merupakan kritik terhadap sikap raja dan elite politik Mataram yang tunduk pada kekuatan VOC, yang dipandang Ratu Mas Blitar sebagai kekuatan kafir dalam serat tersebut. Kritik ini juga dilontarkan kepada cucunya, Sunan Pakubuwono II, yang dianggap kurang memiliki keberanian dalam menghadapi kekuatan politik kompeni Belanda.
Ratu Mas Blitar atau Ratu Pakubuwono wafat pada 5 Januari 1732 di usia 75 tahun. Ia dimakamkan di samping makam putranya, Pangeran Blitar, yang meninggal pada tahun 1721, di kompleks makam Nitikan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun ketokohannya kurang dikenal oleh masyarakat Madiun, warisan Ratu Mas Blitar tetap hidup dalam sejarah dinasti Mataram dan kontribusinya dalam seni dan spiritualitas Jawa. Kisah hidupnya adalah bukti bahwa peran perempuan dalam sejarah tidak bisa diabaikan, terutama dalam membentuk peradaban dan kebudayaan yang kita kenal hingga saat ini.
Penggunaan gelar Pangeran Blitar oleh Panembahan Senopati menunjukkan strategi politik yang cerdas dalam memperkuat kekuasaan Mataram. Gelar ini tidak hanya mempererat hubungan keluarga tetapi juga memperluas pengaruh kerajaan di berbagai daerah, termasuk Madiun. Meskipun gelar ini lebih dikenal di Madiun, peran pentingnya dalam sejarah Mataram tidak bisa diabaikan. Gelar Pangeran Blitar menjadi simbol kekuasaan dan pengaruh yang melintasi batas wilayah, menunjukkan betapa cerdiknya Panembahan Senopati dalam membangun dan memperkuat kerajaan Mataram.