JATIMTIMES - Blitar, sebuah kabupaten dengan sejarah yang kaya, bersiap merayakan Hari Jadi yang ke-700 pada 5 Agustus. Sebagai bagian dari peringatan ini, Bupati Blitar Rini Syarifah didampingi oleh Ketua Dekranasda Abah Zen dan jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Blitar Raya, melaksanakan ziarah ke makam-makam leluhur pada Rabu, 31 Juli 2024.
Bupati Blitar Rini Syarifah menjelaskan bahwa ziarah ke makam leluhur telah menjadi bagian dari tradisi tahunan yang selalu dilaksanakan setiap tahun menjelang peringatan Hari Jadi Blitar.
Baca Juga : Bupati Blitar Rini Syarifah Terima Penghargaan Anubhawa Sasana Desa/Kelurahan Sadar Hukum
Kegiatan ini bertujuan untuk menghormati dan mengenang jasa para pendahulu yang telah berkontribusi dalam membangun dan memajukan Blitar, serta menjaga keberlangsungan nilai-nilai budaya dan sejarah daerah ini.
"Untuk menyambut peringatan Hari Jadi Blitar ke-700, saya, Abah Zen, bersama jajaran Forkopimda Blitar Raya melaksanakan ziarah leluhur ke Makam Adipati Aryo Blitar, Makam Gantung Djoyodigdo, Makam Syekh Subakir, Makam Bung Karno, dan Makam Pangeranan. Semoga dengan adanya kegiatan ini dapat memberikan motivasi sekaligus menjaga tradisi budaya lokal di tengah perkembangan zaman yang serba cepat dan instan,” ungkap Bupati Rini Syarifah.
Makam Leluhur sebagai Warisan Sejarah Blitar
Makam-makam yang diziarahi bukan hanya tempat peristirahatan terakhir para leluhur, tetapi juga merupakan situs sejarah yang penting.
Makam Adipati Aryo Blitar, terletak di Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo Kota Blitar, adalah tempat peristirahatan terakhir Adipati Arya Balitar, seorang penguasa Blitar pada masa transisi antara Kerajaan Demak dan Majapahit.
Menurut naskah Tedhak Pusponegaran dan Serat Kandaning Ringgit Purwa, Adipati Arya Balitar adalah putra dari Raden Kusen, Adipati Terung, yang merupakan adik kandung dari Raden Patah, Sultan Demak Bintara. Keduanya memiliki hubungan darah yang kuat dengan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Selanjutnya, ada Pesanggrahan Patih Djojodigdo yang menjadi tempat peristirahatan Patih Djojodigdo atau dikenal juga sebagai Eyang Djojodigdo.
Patih Djojodigdo adalah patih di Kabupaten Blitar yang mendampingi Bupati KPH Warsokoesoemo sejak 3 Mei 1869. Bersama Bupati Warsokoesoemo, Djojodigdo memimpin berbagai kebijakan pembangunan di Blitar, termasuk peresmian Stasiun Kereta Api Blitar pada 16 Juni 1884.
Djojodigdo dikenal sebagai Bapak Pembangunan Blitar karena kontribusinya yang besar dalam pembangunan infrastruktur di daerah tersebut.
Makam Syekh Subakir yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, juga menjadi salah satu situs ziarah.
Syekh Subakir adalah seorang ulama dari Persia yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari Kekaisaran Ottoman di Turki pada tahun 1404 M untuk menyebarkan ajaran Islam di Jawa.
Kisah Syekh Subakir dikenal dengan cerita tentang pemasangan tumbal untuk menetralisir pengaruh negatif di tanah Jawa, menjadikannya tokoh legendaris yang dihormati masyarakat.
Makam Bung Karno, yang terletak di Jalan Ir. Soekarno, adalah tempat peristirahatan terakhir Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia dan Presiden pertama, Ir. Soekarno.
Di dalam kompleks ini juga terdapat makam ayahandanya, R. Soekeni Sosrodihardjo, dan ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Kompleks yang diberi nama Astono Muyo ini menjadi tujuan utama bagi wisatawan yang ingin mengenang jasa Bung Karno.
Baca Juga : Mabar Pencinta Honda PCX160 Blitar
Pasarean Pangeranan adalah makam para bupati yang pernah memimpin Kabupaten Blitar. Lokasi ini berada di Lingkungan Gebang, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, dan menjadi tempat peristirahatan terakhir para bupati seperti KPH Warsokoesoemo, KPH Sosrohadinegoro, KPH Warsohadiningrat, Sarjono, dan Siswanto Adi.
Di sini juga terdapat makam Bupati Malang ke-4, R.A.A Soerioadiningrat, dan R.M.H.T Brotodiningrat, serta Raden Kartowibowo, tokoh pendidikan dan penulis buku "Aryo Blitar dan Bakda Mawi Rampog".
Sejarah Hari Jadi Blitar
Blitar memiliki sejarah yang panjang dan kaya, yang dapat ditelusuri kembali ke era Majapahit. Kota ini dikenal sebagai "Bumi Laya Ika Tantra Adhi Raja," tempat pusara raja-raja besar. Pada bulan Waisaka Tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit Hayam Wuruk bersama pengiringnya mengunjungi Blitar untuk upacara pemujaan di Candi Penataran.
Hayam Wuruk juga mengunjungi tempat-tempat suci lain di Blitar seperti Sawentar, Jimbe, Lodoyo, Simping, dan Mleri.
Pada tahun 1357 Masehi, Hayam Wuruk kembali mengunjungi Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap di Lodoyo.
Blitar juga tercatat dalam sejarah sebagai tempat Raja Jayanegara menyelamatkan diri dari pemberontakan Ra Kuti dan Ra Semi pada tahun 1316 dan 1317. Sebagai tanda terima kasih kepada penduduk Desa Bedander yang membantu melindunginya, Jayanegara memberikan prasasti yang menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit.
Sejarah Hari Jadi Blitar dimulai dengan ditemukannya prasasti Balitar I tahun 1324, yang mencatat Blitar sebagai perdikan.
Peristiwa penting ini terjadi pada hari Minggu Pahing, bulan Srawana, Tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi. Tanggal ini kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Jadi Blitar.
"Sejarah Hari Jadi Blitar dimulai sejak ditemukannya prasasti Balitar I tahun 1324, jadi sejak itu Blitar sudah dikenal sebagai perdikan. Pada masa itu, Blitar berada di bawah naungan Majapahit dan dikenal sebagai daerah swatantra. Struktur pemerintahan kita belum ada seperti sekarang, belum ada kabupaten, kecamatan, dan NKRI pun belum terbentuk,” jelas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Blitar, Suhendro Winarso.
Perayaan Hari Jadi Blitar bukan hanya tentang merayakan sejarah, tetapi juga kesempatan untuk merefleksikan perkembangan dan masa depan kota ini. Dengan semangat yang dibawa oleh peringatan ini, diharapkan masyarakat Blitar dapat terus maju, mandiri, dan berdaya saing dalam menghadapi tantangan zaman.