JATIMTIMES - Kasus dugaan korupsi dana hibah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur (Jatim) terus bergulir. Di balik proses hukum yang sedang dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada fakta menarik dari kasus ini yang tidak banyak terungkap ke publik.
Ternyata, dana hibah yang seyogyanya diperuntukkan kepada masyarakat lewat berbagai program bermanfaat tersebut diperjualbelikan oleh oknum anggota dewan.
Baca Juga : Polisi di Jombang Tangkap Sopir Truk Ugal-ugalan karena Pengaruh Narkoba
Mirisnya, praktik jual beli program hibah ini sudah berlangsung puluhan tahun dan seakan sudah menjadi hal biasa di lingkungan legislatif Jawa Timur.
Hasil dari permainan dana segar hibah tersebut justru dijadikan pundi-pundi oleh anggota dewan Jawa Timur untuk mengembalikan modal pencalonan yang mereka habiskan saat pemilu legislatif (Pileg).
Bagaimana praktek jual beli program hibah itu dilakukan? berikut penuturan secara ekslusif salah seorang penyalur dana hibah DPRD Jawa Timur yang enggan disebut namanya kepada Jatimtimes.com.
Dia mengaku sudah hampir 10 tahun bermain anggaran hibah Jawa Timur, khususnya yang dikucurkan ke anggota DPRD Jatim.
Menurutnya, total dana hibah di Pemprov Jatim setiap tahun sekitar Rp 3 triliun. Dari total anggaran tersebut disalurkan lewat DPRD Jawa Timur sebesar kurang lebih Rp 900 miliar. Sisanya, disalurkan oleh Pemprov Jatim sendiri.
“Saya sebenarnya sudah nggak mau lagi disangkutpautkan dengan kongkalikong dana hibah ini. Trauma saya. Duit yang saya titipkan ke salah satu anggota dewan hampir Rp 8 miliar juga tidak kembali gara-gara kasus ini ditangani KPK,” ujar dia mengawali perbincangan dengan Jatimtimes.
Dia membeberkan, anggaran hibah tersebut, baik yang dikelola DPRD Jatim maupun eksekutif sendiri, disalurkan lewat berbagai program yang diusulkan oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) maupun badan hukum berbentuk yayasan.
Pokmas tersebut seharusnya murni inisiatif masyarakat yang ingin mengusulkan berbagai program penting di lingkungannya seperti pembangunan jalan kampung, plengsengan, pengadaan alat untuk menunjang usaha masyarakat maupun program lain yang riil dibutuhkan.
Hanya saja, praktiknya, Pokmas maupun yayasan tersebut justru dibentuk khusus oleh oknum anggota dewan untuk dijadikan alat permainan memperoleh dana segar hibah.
Sebab, syarat mendirikan Pokmas pun sangatlah mudah. Cukup mengumpulkan enam orang lalu menentukan nama Pokmas dan membentuk struktur ketua, sekretaris, bendahara dan anggota.
Selanjutnya, Pokmas yang dibentuk dimintakan pengesahan dari kantor kelurahan/desa dan kecamatan. Begitu pula dengan yayasan yang sebagian besar dibuat khusus untuk wadah penyaluran dana hibah ini.
Cukup berbekal akta notaris yayasan yang dimaksud sudah bisa digunakan sebagai wadah penyaluran. Karena mudahnya proses penyaluran dana hibah inilah yang dijadikan sasaran empuk oknum anggota legislatif Jawa Timur untuk memperkaya diri.
Apalagi, proses penyaluran dana hibah ini tidak dikenakan pajak seperti proyek kontraktual pada umumnya sehingga dana yang tersalurkan ke rekening Pokmas maupun yayasan 100 persen.
Tidak hanya itu, anggaran tersebut cair sebelum program yang diusulkan dilaksanakan. Praktis, Pokmas maupun yayasan mengerjakan program tanpa modal uang sedikit pun.
“Pokmas maupun yayasan itu banyak yang dibentuk oleh anggota dewan sendiri sebagai wadah penyaluran. Agar tidak terlalu mencolok para anggota dewan ini memanfaatkan orang seperti saya sebagai koordinator lapangan (Korlap) yang membawahi banyak Pokmas dan yayasan,” beber dia yang mengaku sudah sekitar 8 tahun menjadi Korlap Pokmas.
Bagaimana praktek jual beli dana hibah ini?
Karena mudahnya praktik penyaluran dana hibah ini maka sebagian besar oknum anggota DPRD Jawa Timur memperjualbelikan program ini.
Jual beli program ini berlangsung di antara anggota dewan maupun kepada para pemain di berbagai kota dan kabupaten di Jatim.
Para oknum anggota dewan yang merupakan pemain besar di DPRD Jatim, biasanya membeli dana hibah ini dari jatah temannya sesama anggota dewan.
Tidak heran jika jatah satu orang anggota dewan meskipun dia bukan unsur pimpinan bisa berjumlah menjadi ratusan miliar.
“Biasanya, kalau jual beli sesama anggota dewan atau orang pertama yang membeli langsung ke anggota dewan, angkanya berkisar antara 17 - 20 persen dari total anggaran. Lalu, dijual ke pemain di luar 25 persen dengan sistem pembayaran di depan sebelum program itu diusulkan,” jelasnya.
Dari prosentase itu, di lapangan dana hibah ini dijual kepada para pemain yang dikoordinir oleh oknum tertentu hingga 45 persen. “Praktis, anggaran yang dijalankan di lapangan hanya 55 persen. Pokmas sendiri masih mengambil keuntungan dari program yang dijalankan hingga 20 persen. Jadi, secara riil program ini hanya dibelanjakan sebesar 30 persen. Itu pun masih bagus hitungannya,” ujarnya.
Selain jual beli dengan prosentase antara 17-45 persen tersebut, modus yang lain adalah membentuk pokmas dan yayasan fiktif. Daerah-daerah tertentu menjadi sasaran modus permainan dana hibah ini.
Banyak lagi modus praktik korupsi berjamaah dana hibah DPRD Jatim yang sudah dilakukan selama ini. Bagaimana fakta menarik lainnya, simak penelusuran Jatimtimes pada konten berseri selanjutnya!