JATIMTIMES - Di balik nama besar Gang Dolly, terdapat sosok yang diyakini sebagai germo perempuan keturunan Belanda. Namun, siapa sebenarnya Dolly dan bagaimana Gang Dolly bisa menjadi lokasi prostitusi yang terkenal?
Nama Dolly berasal dari seorang perempuan bernama Advenso Dollyres Chavit. Ia lahir sekitar tahun 1939 dari ayah bernama Chavit, seorang Filipina, dan ibu bernama Herliah, seorang Jawa.
Baca Juga : Rekonstruksi Pembunuhan di Malang, Pelaku Sempat Salat Sebelum Habisi Korban
Dolly dibesarkan dalam keluarga yang religius dan dididik untuk rajin ke gereja serta selalu mengingat Tuhan. Namun, di luar itu, Dolly memiliki perilaku yang berbeda. Dia adalah anak perempuan yang tomboi dan mulai merokok pada usia 16 tahun, sesuatu yang tidak umum pada zamannya.
Walau tomboi, kecantikannya tetap terlihat jelas. Dolly bahkan sempat menunjukkan foto masa mudanya dan menceritakan betapa menariknya dirinya dahulu.
Pada usia 20 tahun, Dolly menikah dengan Soukoup alias Yakup, seorang kelasi Belanda, dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Namun, sebelum anaknya berusia 5 tahun, suaminya meninggal dunia, menyebabkan Dolly mengalami krisis keuangan. Terdesak oleh kondisi ekonomi, Dolly terpaksa memasuki dunia prostitusi.
Kecantikannya dan kemampuan berbahasa Belanda membuatnya cepat dikenal, terutama oleh para ekspatriat yang baru tiba dengan kapal. "Aku ini cantik, tubuhku tinggi-ramping. Banyak lelaki tergila-gila," jelas Dolly, dilansir thread akun X @andivestigasi.
Banyak yang ingin menikahi Dolly, tetapi ia menolak dengan alasan sederhana: ia tidak ingin anak lelaki satu-satunya menerima perlakuan kasar dari ayah tiri.
Asal Usul Gang Dolly
Gang Dolly awalnya hanyalah sebuah kawasan pemakaman Cina yang kemudian dibongkar untuk dijadikan hunian. Dolly, yang dikenal sebagai Tante Dolly, mendirikan rumah bordilnya di tempat ini.
Wisma-wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga dari empat wisma tersebut disewakan kepada orang lain. Sejak itu, semakin banyak wisma serupa yang muncul di tempat ini.
Gang Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Usaha rumah bordilnya ini lantas membuat banyak orang penasaran untuk singgah, sehingga Dolly pun menjadi populer. Bisnis prostitusi ini mulai menjalar, dan puluhan wisma dengan bisnis serupa bermunculan.
Selain memiliki lokasi yang strategis, cara para PSK menjajakan diri dengan berada di akuarium menjadi magnet besar bagi para lelaki hidung belang. Karena pelayanan yang memuaskan yang diberikan oleh para perempuan cantik tersebut, orang-orang dari berbagai kalangan tertarik untuk kembali datang berkunjung. Bukan hanya itu, banyak masyarakat pribumi yang juga penasaran untuk singgah, sehingga rumah bordil itu pun ramai.
Bahkan, segelintir pihak percaya bahwa Gang Dolly merupakan lokalisasi prostitusi terbesar di Asia Tenggara, menyediakan kurang lebih 9 ribu pekerja seks komersial (PSK).
Baca Juga : Catat, Wisatawan Dilarang Dirikan Tenda di Kawasan Bromo
Selain menyajikan wanita PSK, terdapat banyak toko-toko kecil maupun besar yang menjual minuman keras. Kegiatan ini berlangsung hampir 24 jam setiap harinya.
Jadi, bisa dibayangkan sebesar apa dampak ekonomi yang diberikan oleh kawasan ini terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar.
Penutupan Gang Dolly
Pada Kamis, 27 Februari 2014, Walikota Surabaya saat itu, Tri Rismaharini melakukan sosialisasi penutupan Dolly. Sosialisasi itu ia mulai secara resmi di Mapolrestabes Surabaya pada Kamis, 27 Februari 2014. Sosialisasi itu kemudian berlanjut di Kodim dan Korem serta ormas-ormas keagamaan di Surabaya.
Ada alasan tragis yang membuat Risma bersikukuh menutup tempat prostitusi ini. "Di Dolly sudah biasa anak menjual temannya, menjual adik kelasnya untuk melayani pria hidung belang. PSK tua melayani anak-anak, ini kejadian nyata dan sangat memprihatinkan," kata Risma.
Lebih lanjut, Risma mengungkap bahwa PSK merupakan orang yang paling tertindas. Seorang PSK dalam sehari bisa melayani 10 sampai 25 laki-laki. Dalam sehari, PSK tersebut bisa menerima bayaran sebesar Rp 125 ribu. Namun, uang itu harus disetorkan kepada mucikarinya sehingga ia hanya mendapat bayaran sebesar Rp 50 ribu.
Dalam setiap kesempatan menyangkut masalah penutupan lokalisasi, Risma selalu mengungkapkan bahwa dia pernah menemui PSK yang sudah berumur, tapi yang menjadi langganannya adalah anak-anak sekolah.
Bahkan, Pemerintah Kota Surabaya menemukan anak dengan kelainan sex addict atau kecanduan seks. Setelah ditelusuri, sex addict yang diderita oleh anak perempuan berusia delapan tahun yang diberi inisial YK itu akibat tumbuh besar di kawasan lokalisasi Dolly.
Pemkot Surabaya akhirnya punya strategi khusus. Sebelum penutupan, pemkot mencoba menghubungi pemilik Wisma Barbara. Wisma terbesar di Dolly ini dimiliki oleh Saka Burhanuddin. Ia ternyata dibujuk oleh pemkot untuk menjualnya dan menerima penutupan. Kabar yang berembus kala itu, pemkot harus merogoh kocek sebesar Rp 9 miliar untuk membeli Wisma Barbara. Tepat pada 18 Juni 2014, secara resmi lokalisasi Dolly ditutup.