JATIMTIMES - Kasus dugaan korupsi yang melanda Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur dikhawatirkan dapat mempengaruhi kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak mendatang. Termasuk Pilkada Malang Raya.
Pasalnya, sebanyak 120 anggota DPRD Provinsi Jatim tercatat sebagai penerima dana hibah untuk program kelompok masyarakat (pokmas) tersebut. Termasuk 11 anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dapil Malang Raya.
Baca Juga : Kejari Tuban Tetapkan 2 Sekdes Jadi Tersangka Skandal Mesin APMD APBDes
Sementara saat ini, penyaluran dana hibah untuk pokmas periode tahun 2020-2023 itu sedang dalam radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya sudah ada 4 anggota DPRD Provinsi Jatim yang telah berompi oranye.
Menyusul mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak yang telah lebih dulu divonis hukuman 9 tahun penjara pada 2023 lalu. Menurut Pakar Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H., hal itu dikhawatirkan dapat mempengaruhi Pilkada serentak.
"Ini kan paling tidak mengganggu konsentrasi dan psikologi anggota dewan. Sehingga mereka tidak fokus nyalon atau tidak fokus memenangkan calon yang diusung partainya," ujar Siboy.
Sementara itu, dari 11 anggota DPRD Jatim dapil Malang Raya, beberapa diantaranya disebut bakal maju dalam Pilkada Kota Malang. Beberapa nama tersebut seperti Sri Untari dan Gunawan dari PDI Perjuangan, Hikmah Bafaqih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jajuk Rendra Kresna dari Partai Nasdem dan Dwi Hari Cahyono dari PKS.
Sedangkan anggota DPRD Provinsi Jatim dari Dapil Malang Raya yang lainnya yakni Daniel Rohi dan Sugeng Pujianto dari PDI Perjuangan, Khofidah dari PKB, Aufa Zhafiri dari Gerindra, Agus Dono Wibawanto dari Partai Demokrat dan Siadi dari Partai Golkar.
Baca Juga : Wali Kota Blitar Kolaborasi dengan Pengurus Baru HIPMI, Siap Tingkatkan Iklim Usaha
"Banyak (anggota dewan yang akan running Pilkada), dan itu kan mereka was-was. Ini nanti kalau ditetapkan tersangka kan jadi percuma nyalon atau bahkan jika menang. Mereka sedang berada dalam ketidakkonsentrasian atau kekhawatiran. Karena ada tekanan psikologis," tutur Siboy.
Dirinya pun menyebut bahwa dalam penanganan kasus tersebut, KPK harus bisa melepaskan kesan bahwa pengusutan dugaan korupsi itu terlepas dari kemungkinan intervensi politik. Terlebih agar tidak muncul opini publik bahwa KPK telah masuk dalam ranah kepentingan politik jelang Pilkada serentak.
"Harus dilertimbangkan bahwa penegakan hukum berdiri itu di atas logika hukum. Tidak boleh dicampur dengan logika politik. Kalau kemudian publik mengira ada intervensi politik, maka kepercayaan publik atas penegakan hukum oleh KPK akan bias. Bahkan sirna," pungkas Siboy.