free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengungkap Fakta Sejarah Sunan Kalijaga Menurut Versi Cirebon

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

17 - Jul - 2024, 07:56

Placeholder
Situs Tri Tingal: Petilasan Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar, dan Ki Ageng Kebo Kenongo di Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES/Istimewa)

JATIMTIMES - Raden Said yang lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga merupakan salah satu tokoh sentral dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Nama dan julukan yang disematkan kepadanya sering menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik. 

Salah satu versi yang paling banyak dipercaya adalah yang tercantum dalam Babad Tanah Jawi, di mana disebutkan bahwa Raden Said mendapatkan julukan "Kalijaga" karena bersemedi di sungai atau kali selama bertahun-tahun. Namun, versi ini dianggap janggal oleh sebagian kalangan. Sebaliknya, versi Cirebon menyuguhkan narasi yang berbeda dan lebih logis terkait asal-usul julukan Sunan Kalijaga.

Baca Juga : Tak Hanya Buah Lontar, ini Sederet Camilan Sehat untuk Diet Clean Eating

Asal-Usul Sunan Kalijaga Menurut Babad Tanah Jawi dan Versi Cirebon

Silsilah Sunan Kalijaga diungkapkan dengan berbagai versi. C.L.N. Van Den Berg dalam bukunya "Le Hadhramaut et les Colonies Arabes dans l'Archipel Indien" (1886) menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab. Menurut Babad Tuban, kakek Sunan Kalijaga, Aria Teja, menikahi putri Raja Surabaya yang bernama Aria Lembu Sura. 

Dari pernikahan tersebut, lahir seorang putra bernama Wilatikta. Sebelum menikah dengan putri Aria Dikara, Aria Teja telah memiliki seorang putri yang dikenal sebagai Nyai Ageng Manila yang kemudian diperistri oleh Sunan Ampel.

Abdurrahman, yang juga dikenal sebagai Aria Teja berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara. Setelah menikahi putri Aria Dikara, Abdurrahman menggantikan posisi mertuanya sebagai Bupati Tuban dan menggunakan nama Aria Teja. Dari pernikahan ini, lahir seorang putra bernama Raden Sahid yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Nama-nama lain yang dikenal dari Raden Sahid adalah Syaikh Melaya, Lokajaya, Pangeran Tuban, dan Ki Dalang Sida Brangti.

Perjalanan hidup Sunan Kalijaga memiliki kaitan erat dengan tokoh-tokoh Wali Songo. Dari masa kecil hingga menjadi salah satu Wali Songo yang paling terkenal, perjalanan hidup Raden Sahid mencerminkan perpaduan antara budaya lokal dan pengaruh Arab yang memperkaya sejarah Islam di Jawa.

Babad Tanah Jawi merupakan sumber utama yang sering dijadikan acuan oleh masyarakat Jawa. Dalam babad ini, dikisahkan bahwa Raden Said mendapatkan julukan Kalijaga karena melakukan semedi di sungai dalam waktu yang lama. Cerita ini telah menjadi bagian dari folklor dan dipercaya oleh banyak orang. Namun, kejanggalan dari kisah ini memunculkan pertanyaan tentang kebenarannya.

Sebaliknya, versi Cirebon memberikan pandangan yang lebih rasional. Menurut tradisi Cirebon, julukan "Kalijaga" tidak berasal dari praktik semedi di kali, melainkan dari lokasi pusat dakwahnya. Setelah berguru kepada Sunan Ampel dan Sunan Bonang, Raden Said ditugaskan untuk membantu dakwah Sunan Gunung Jati di Pasundan. Pusat dakwah atau pesantren Raden Said ini terletak di Desa Kalijaga, dan dari situlah julukan "Kalijaga" berasal.

Versi Cirebon tidak berdiri sendiri. Narasi ini didukung oleh Babad Demak yang menyatakan bahwa pada awal karier dakwahnya, Raden Said ditugaskan oleh Wali Songo untuk berdakwah di Jawa Barat. Setelah menyelesaikan tugas dakwahnya di Pasundan, beliau kembali ke Demak (Kadilangu) di masa tuanya. Penempatan nama sesuai dengan lokasi dakwah ini juga terlihat dalam julukan para wali lainnya seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati.

Salah satu catatan penting dari sejarah Wali Songo adalah pemberian julukan berdasarkan lokasi pusat dakwah mereka. Julukan "Sunan" sendiri berasal dari kata "Se(i) suhunan" yang berarti tokoh yang dimintai petuah dan kebijaksanaannya. Nama-nama seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, dan lainnya, semuanya merujuk pada tempat di mana mereka berdakwah. Begitu pula dengan Sunan Kalijaga. Nama ini merujuk pada Desa Kalijaga, tempat Raden Said menjalankan misi dakwahnya.

Mengapa Versi Cirebon Lebih Masuk Akal? 

Pertama, tradisi semedi di kali sebagai asal-usul nama "Kalijaga" tidak memiliki landasan historis yang kuat. Kedua, penamaan berdasarkan lokasi pusat dakwah adalah praktik umum di kalangan Wali Songo. Ketiga, keberadaan Desa Kalijaga sebagai pusat dakwah Raden Said memberikan alasan yang lebih logis untuk julukan tersebut.

Pemahaman sejarah yang benar sangat penting, terutama untuk tokoh-tokoh seperti Raden Said yang memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan memahami asal-usul julukan "Kalijaga" yang lebih masuk akal, kita tidak hanya menghargai warisan sejarah yang ada tetapi juga mendapatkan pelajaran berharga tentang metode dakwah para wali yang sangat efektif dalam penyebaran agama.

Menurut Babad Demak, Raden Sahid, putra Adipati Wilatikta, memulai dakwahnya di Cirebon, tepatnya di Desa Kalijaga. Di sana, ia berdedikasi untuk mengislamkan penduduk Indramayu dan Pamanukan. Setelah lama berdakwah, Raden Sahid melakukan uzlah atau penyendirian spiritual di Pulau Upih selama lebih dari tiga bulan. Uzlah ini diterima oleh Tuhan, dan Raden Sahid diangkat menjadi wali dengan gelar Sunan Kalijaga. Banyak orang kemudian menjadi pengikutnya dan mengabdi kepada Tuhan.

Babad Cirebon menuturkan bahwa Sunan Kalijaga tinggal selama beberapa tahun di Desa Kalijaga. Pada awalnya, ia menyamar sebagai pembersih Masjid Sang Cipta Rasa. Di masjid itulah, Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati yang kemudian menikahkannya dengan adiknya, Siti Zaenab.

Istri Sunan Kalijaga, Siti Zaenab, menurut penganut Tarekat Akmaliyah yang ditulis oleh Agus Sunyoto dalam "Suluk Malang Sungsang Abdul Jalil" (2004-2005), sebenarnya adalah putri dari Syaikh Datuk Abdul Jalil yang lebih dikenal sebagai Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar. Dari pernikahan tersebut, Sunan Kalijaga memiliki satu putra bernama Watiswara.

Raden Said dan Kontribusinya dalam Penyebaran Islam

Raden Said atau Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang menggunakan pendekatan budaya dalam dakwahnya. Beliau memadukan unsur-unsur budaya lokal dengan ajaran Islam sehingga Islam dapat diterima dengan lebih mudah oleh masyarakat. Sunan Kalijaga juga terkenal dengan kemampuan seninya, seperti wayang kulit, yang digunakan sebagai media dakwah.

Saat berdakwah di Pasundan, Raden Said tidak hanya mengajarkan ajaran Islam tetapi juga berinteraksi dengan budaya lokal. Desa Kalijaga, tempat pusat dakwahnya, menjadi saksi bisu bagaimana Islam menyatu dengan tradisi setempat. Metode dakwah yang inklusif ini menjadi salah satu kunci sukses penyebaran Islam di Jawa Barat.

Baca Juga : Uniknya Sistem Mato di Rumah Makan Padang: Warisan Bisnis yang Turun Temurun

Setelah menyelesaikan tugasnya di Pasundan, Raden Said kembali ke Demak di masa tuanya. Di Demak, beliau melanjutkan dakwah dan memberikan petuah kepada masyarakat. Warisan Sunan Kalijaga terus hidup dalam berbagai aspek budaya dan tradisi masyarakat Jawa. Metode dakwahnya yang menggabungkan seni dan budaya lokal menjadi contoh bagi para dai berikutnya.

Julukan Sunan Kalijaga yang disematkan kepada Raden Said lebih tepat jika dilihat dari versi Cirebon dan Babad Demak yang menyatakan bahwa nama tersebut berasal dari Desa Kalijaga, tempat pusat dakwahnya. Versi ini tidak hanya masuk akal tetapi juga konsisten dengan praktik penamaan berdasarkan lokasi dakwah di kalangan Walisongo. Pemahaman yang benar tentang asal-usul julukan ini membantu kita lebih menghargai sejarah dan warisan para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Raden Said, dengan julukan Sunan Kalijaga, tetap menjadi sosok yang dikenang dan dihormati dalam sejarah Islam di Indonesia.

Salah satu kekuatan dakwah Sunan Kalijaga adalah kemampuannya mengintegrasikan elemen budaya lokal dalam penyebaran Islam. Melalui wayang kulit dan seni lainnya, Sunan Kalijaga berhasil menjangkau berbagai lapisan masyarakat, dari rakyat biasa hingga bangsawan. Pendekatan ini menunjukkan kecerdasan dan fleksibilitas dakwah yang mengedepankan toleransi dan penghargaan terhadap budaya lokal.

Pengaruh Sunan Kalijaga pada Seni dan Budaya Jawa

Pengaruh Sunan Kalijaga dalam seni dan budaya Jawa sangat besar. Beliau dianggap sebagai pelopor dalam penggunaan wayang kulit sebagai media dakwah. Selain itu, banyak cerita rakyat dan legenda yang mengisahkan kebijaksanaan dan kepiawaiannya dalam menyebarkan Islam. Warisan seni dan budaya ini masih bisa kita saksikan hingga hari ini, menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh Sunan Kalijaga dalam masyarakat Jawa.

Selain berdakwah melalui seni, Sunan Kalijaga juga mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam. Di sini, beliau mengajarkan ajaran agama kepada para santri dan masyarakat sekitar. Desa Kalijaga menjadi pusat intelektual dan spiritual di mana banyak ulama dan cendekiawan Islam lahir. Metode pendidikan yang digunakan Sunan Kalijaga menjadi model bagi banyak pesantren di Jawa dan sekitarnya.

Hingga saat ini, nama Sunan Kalijaga tetap dikenang dan dihormati. Warisannya terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, dari seni, budaya, hingga pendidikan. Metode dakwahnya yang adaptif dan inklusif menjadi teladan bagi generasi penerus dalam menyebarkan ajaran Islam. Desa Kalijaga, yang menjadi pusat dakwahnya, kini menjadi simbol dari perjalanan spiritual dan intelektual seorang wali yang berdedikasi.

Pengaruh Sunan Kalijaga di wilayah Jawa Barat sangat besar, terutama di Cirebon dan sekitarnya. Melalui pendekatan budaya dan seni, Sunan Kalijaga mampu menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang diterima baik oleh masyarakat setempat. Kehadiran beliau di Cirebon tidak hanya memperkuat penyebaran Islam tetapi juga menjadikan wilayah tersebut sebagai pusat penting dalam perkembangan Islam di Nusantara.

Salah satu warisan terbesar Sunan Kalijaga adalah kemampuannya menggunakan seni sebagai alat dakwah. Wayang kulit, salah satu bentuk seni tradisional Jawa, menjadi medium utama dalam menyampaikan ajaran Islam. Sunan Kalijaga menggunakan cerita-cerita wayang untuk menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai Islam, sehingga masyarakat yang menikmati pertunjukan wayang tidak hanya terhibur tetapi juga mendapatkan pengetahuan agama.

Desa Kalijaga menjadi salah satu pusat dakwah dan pendidikan penting pada masa Sunan Kalijaga. Di sini, beliau mendirikan pesantren dan mengajarkan berbagai ilmu agama kepada para santri. Desa ini juga menjadi tempat berkumpulnya ulama dan cendekiawan yang turut berperan dalam menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Jawa. Warisan pendidikan yang ditinggalkan Sunan Kalijaga melalui pesantren ini masih terasa hingga kini, dengan banyaknya pesantren yang meneruskan metode pendidikan beliau.

Pemahaman tentang Sunan Kalijaga dalam perspektif sejarah dan budaya memberikan wawasan yang lebih kaya tentang peran beliau dalam penyebaran Islam. Versi Cirebon yang mengaitkan nama Kalijaga dengan lokasi pusat dakwahnya lebih sesuai dengan pola penamaan wali lainnya yang berdasarkan tempat dakwah mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sejarah dan budaya lokal memiliki peran penting dalam pembentukan identitas dan penyebaran ajaran Islam di Nusantara.

Pelajaran dari Metode Dakwah Sunan Kalijaga

Metode dakwah Sunan Kalijaga yang menggabungkan budaya lokal dengan ajaran Islam memberikan pelajaran berharga bagi para dai masa kini. Pendekatan yang inklusif dan menghargai budaya setempat terbukti efektif dalam menyebarkan ajaran agama. Ini menunjukkan bahwa dakwah tidak harus konfrontatif, tetapi dapat dilakukan dengan cara yang harmonis dan menghargai keberagaman budaya.

Sunan Kalijaga, dengan julukan yang berasal dari Desa Kalijaga, meninggalkan warisan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Versi Cirebon yang menyatakan bahwa nama Kalijaga berasal dari lokasi pusat dakwahnya lebih masuk akal dan konsisten dengan pola penamaan wali lainnya. Metode dakwah Sunan Kalijaga yang menggunakan seni dan budaya lokal berhasil menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang diterima oleh masyarakat. Warisan beliau dalam seni, budaya, dan pendidikan masih terasa hingga kini, menunjukkan betapa besar pengaruhnya dalam sejarah Islam di Indonesia.

Dengan memahami asal-usul dan metode dakwah Sunan Kalijaga, kita dapat lebih menghargai sejarah dan warisan para wali yang berjasa dalam penyebaran Islam di Nusantara. Pendekatan dakwah yang inklusif dan adaptif yang digunakan oleh Sunan Kalijaga menjadi teladan bagi generasi penerus dalam menyebarkan ajaran agama dengan cara yang damai dan menghargai keberagaman budaya. Warisan Sunan Kalijaga terus hidup dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, dari seni dan budaya hingga pendidikan, menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh seorang wali yang berdedikasi dalam menjalankan misi dakwahnya.

 


Topik

Serba Serbi sunan kalijaga cirebon sejarah sunan kalijaga



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana