free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

3-4 Juli 1830: Perjanjian Sepreh dan Awal Mula Pembubaran Kabupaten Srengat

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

03 - Jul - 2024, 15:54

Placeholder
Pendapa Kabupaten Srengat yang saat ini beralih fungsi menjadi Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Blitar.(Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES- Pada awal abad ke-19, Jawa menjadi pusat pertempuran besar yang dikenal sebagai Perang Jawa (1825-1830). Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintah kolonial Belanda. 

Pasca kekalahan Pangeran Diponegoro, Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan reorganisasi administratif dan politik untuk memperkuat kekuasaan mereka di Jawa. Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam konteks ini adalah Perjanjian Sepreh yang berlangsung pada 3-4 Juli 1830 di Desa Sepreh, Ngawi. 

Baca Juga : Gala Premier Film Sekawan Limo, Bayu Skak Ajak Berdamai dengan Masa Lalu

Dampak dari perjanjian ini sangat besar, termasuk penghapusan Kabupaten Srengat. Kabupaten ini pada masa itu adalah wilayah yang memainkan peran penting dalam sejarah Jawa Timur.

Perjanjian Sepreh: Titik Balik Kekuasaan di Jawa

Setelah berakhirnya Perang Jawa, pemerintah kolonial Belanda menyadari perlunya merombak sistem pemerintahan lokal untuk memastikan bahwa daerah-daerah tidak lagi tunduk pada otoritas keraton Yogyakarta dan Surakarta. 

Perjanjian Sepreh merupakan salah satu upaya strategis Belanda untuk menegakkan kendali langsung atas wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah pengaruh keraton.

Perjanjian ini diselenggarakan di Desa Sepreh, sebuah desa di Kabupaten Ngawi yang dipilih sebagai lokasi pertemuan penting ini. Pertemuan ini dihadiri oleh 23 bupati dari berbagai wilayah Mancanegara Timur, termasuk dari residensi Kediri dan Madiun yang sekarang mencakup Ngawi, Magetan, Madiun, Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Blitar, Nganjuk, dan Kediri. 

Dalam perjanjian ini, bupati-bupati tersebut diminta untuk menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta dan menyatakan kesetiaan mereka kepada pemerintah Belanda di Batavia.

Pertemuan ini tidak hanya merupakan upaya Belanda untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka tetapi juga menjadi simbol penghilangan pengaruh keraton di wilayah tersebut. Sejak itu, wilayah-wilayah di Mancanegara Timur tidak lagi tunduk kepada keraton dan berada langsung di bawah kendali pemerintah Belanda.

Kabupaten Srengat dalam Sejarah

Sebelum Kabupaten Srengat dihapuskan, wilayah ini memiliki sejarah yang kaya dan penting dalam konteks politik dan sosial di Jawa Timur. Setelah kemunduran Kadipaten Blitar akibat kematian Arya Balitar, Srengat muncul sebagai pusat administrasi yang penting di kawasan tersebut.

Pada masa kejayaannya, Srengat dipimpin oleh beberapa tokoh penting. Salah satu yang menonjol adalah Adipati Nilasuwarna, yang menjabat dari tahun 1540 hingga 1600. 

Ia mengambil alih peran penting setelah Blitar kehilangan fungsinya sebagai pusat pemerintahan pasca kematian Arya Balitar. Kemudian, posisi Bupati Srengat diteruskan oleh R. Ngabehi Suro Lenggowo, yang tercatat dalam jurnal yang ditulis oleh Gubernur Jenderal van Imhoff pada tahun 1746.

Selanjutnya, berbagai Bupati memimpin Srengat, termasuk Mas Tumenggung Brotowijoyo, yang menjabat dari tahun 1746 hingga 1755. Setelah masa jabatannya, KPH Reksokusumo, putra dari Sultan Hamengkubuwono I, memegang kepemimpinan dari tahun 1755 hingga 1788. Di bawah kepemimpinan mereka, Srengat tetap menjadi pusat penting di Jawa Timur.

Selama masa pemerintahan Mertodiningrat II, Srengat menjadi bagian dari konflik yang lebih luas di Jawa. Pada masa ini, Belanda mengalami kerugian besar akibat pembiayaan pasukan untuk menghentikan pemberontakan Diponegoro. 

Untuk mengatasi situasi ini, Belanda mengambil langkah-langkah drastis untuk memutus jalur hubungan antara Keraton Jawa dan wilayah-wilayah Mancanegara, termasuk Srengat, yang akhirnya berkontribusi pada penghapusan kabupaten tersebut.

Dampak Perjanjian Sepreh terhadap Srengat

Mertodiningrat II, bupati Srengat saat itu, menolak untuk menghadiri Perjanjian Sepreh, sebuah sikap yang menegaskan ketidaksetujuannya terhadap rencana Belanda untuk memutus hubungan antara keraton dan wilayah-wilayah di Jawa. Penolakannya ini menyebabkan dia kehilangan jabatannya sebagai bupati, dan Srengat kemudian dihapus sebagai kabupaten.

Pada tanggal 16 Juni 1831, Komisari Belanda, Lawick van Pabst, mendokumentasikan hasil dari Perjanjian Sepreh yang menyatakan bahwa bupati-bupati yang hadir harus tunduk kepada pemerintah Belanda. Dalam dokumen ini juga disebutkan nama-nama calon pejabat baru untuk wilayah yang berada di bawah kendali Residentie Kediri, termasuk bupati Srengat yang baru.

Setelah Mertodiningrat II dicopot dari jabatannya, R. Ngabehi Mertokusuma diangkat sebagai bupati Srengat yang baru. Namun, pemerintah Belanda menemukan bahwa Mertokusuma secara diam-diam melindungi eks-pasukan Diponegoro yang bersembunyi di Blitar. Hal ini menyebabkan Belanda menganggap Srengat sebagai ancaman potensial bagi stabilitas mereka di wilayah tersebut.

Pada tahun 1834, Kabupaten Srengat secara resmi dihapus, dan statusnya diubah menjadi distrik dengan pejabat tertinggi seorang wedana. R.M. Sutejo, yang dikenal sebagai Ndoro Tejo, diangkat sebagai wedana pertama Srengat. Pengawasan atas distrik Srengat dan Blitar dilakukan secara intensif oleh Residen Kediri, J. Laup, karena kekhawatiran akan kebangkitan kembali eks-pasukan Diponegoro yang telah bermukim di desa-desa sekitar Srengat.

Pembentukan Kabupaten Blitar dan Peran Srengat

Setelah penghapusan Kabupaten Srengat, Blitar mulai bangkit dari kemunduran panjangnya dan mengambil peran yang lebih signifikan dalam pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1850, Blitar diluncurkan sebagai kabupaten persiapan, yang kemudian dikembangkan menjadi Regentschap (kabupaten penuh) pada tahun 1863.

Pada masa ini, Blitar dipimpin oleh beberapa tokoh penting seperti Raden Ario Adi Kusumo dan Raden Toemenggoeng Ario Adhi Negoro. Struktur pemerintahan Blitar juga mengalami perubahan, termasuk penggabungan jabatan penghulu untuk Afdeling Srengat dan Blitar menjadi satu penghulu yang mengawasi seluruh wilayah Regentschap Blitar.

Peninggalan Sejarah dan Budaya Srengat

Baca Juga : Tayang 4 Juli 2024 Nanti, Ini Sinopsis dan Daftar Pemain Film 'Janji Darah' 

Meskipun Kabupaten Srengat telah dihapus, warisan sejarah dan budayanya tetap terjaga hingga hari ini. Beberapa peninggalan penting dari masa lalu masih dapat ditemukan di wilayah ini, seperti candi-candi era Kediri di puncak Gunung Pegat dan situs Waleri di Bagelenan. Peninggalan-peninggalan ini menjadi saksi bisu kejayaan Srengat di masa lalu dan menjadi bagian dari warisan budaya yang berharga bagi masyarakat Jawa Timur.

Blitar: Dari Persiapan Hingga Kebangkitan Kabupaten di Bawah Kolonialisme

Pada awal pembentukan kembali wilayah Blitar, Mas Bei Partowijoyo diangkat sebagai Bupati pertama untuk Kabupaten Blitar Persiapan. Bersamanya, Mas Merta Dhiwerio diangkat sebagai jaksa pertama dan Kasan Suhada sebagai penghulu. Masa awal ini, yang berlangsung selama dua tahun, merupakan fondasi bagi perkembangan Blitar di masa depan.

Setelah itu, posisi Bupati Blitar Persiapan dipegang oleh Raden Ario Adi Kusumo hingga tahun 1863. Pada masa kepemimpinannya, Belanda memperkenalkan posisi baru, yaitu Asisten Residentie, dengan L.A. Galle sebagai pejabat pertama yang bertanggung jawab membantu residen dalam mengelola wilayah. Peran ini sangat penting dalam struktur administrasi kolonial, membantu memperkuat kendali Belanda di daerah tersebut.

Ketika masa jabatan Raden Ario Adi Kusumo berakhir pada 1 April 1863, status Onder Regentschap Blitar diubah menjadi Regentschap Blitar penuh. Pejabat baru yang diangkat adalah Raden Toemenggoeng Ario Adhi Negoro, menandai kebangkitan Blitar sebagai kabupaten yang berdaulat di bawah administrasi kolonial. Di bawah kepemimpinannya, Blitar mulai menjalani transformasi yang signifikan.

Masa Pembangunan di Bawah Kepemimpinan Ario Adhi Negoro

Selama masa jabatan Ario Adhi Negoro, Blitar mengalami banyak perubahan penting. Pembangunan masjid besar dan pengembangan infrastruktur kota dimulai, mengubah wajah Blitar menjadi lebih modern dan terstruktur. Alun-alun kota dirancang dengan tata letak strategis: pasar di sisi selatan dan penjara di sisi timur. Penataan ini juga mendorong terbentuknya Kampung Meduran, yang terkenal karena pengaruh etnis Madura yang kuat.

Pada tanggal 31 Maret 1849, Kasan Suhada diangkat sebagai Penghulu di Blitar, menambah kekuatan administratif dan sosial di wilayah ini. Kemudian, pada 25 Februari 1859, Raden Ngabehi Sumo Rejo dilantik sebagai Djaksa Regent Blitar, memperkuat sistem hukum dan administrasi lokal. Tidak lama kemudian, pada 1 Januari 1852, Pengadilan Negara atau Landraad didirikan di ibu kota Blitar berdasarkan Staatsblad Van Nederlandsche Indie No. 69 tahun 1852, memperkuat struktur hukum dan keadilan di wilayah tersebut.

Dinamika Kepemimpinan dan Pembangunan di Blitar

Kepemimpinan di Blitar pada masa kolonial dipenuhi dengan proyek-proyek pembangunan dan penataan administrasi. Pembentukan kotamadya untuk mengurus keperluan masyarakat Belanda dan pengaturan urusan masyarakat Tionghoa adalah beberapa contoh dari langkah-langkah yang diambil Belanda untuk memperkuat kendali mereka di wilayah ini. Berbagai pembangunan infrastruktur dan reformasi administrasi yang dilakukan pada masa ini membantu Blitar bangkit dari keterpurukannya dan menjadi wilayah yang lebih terstruktur dan berkembang.

Etnis Madura juga memainkan peran penting dalam sejarah Blitar, terutama dalam proyek-proyek konstruksi dan pembangunan kota. Kontribusi mereka dalam membangun Blitar menjadikan keberadaan mereka sebagai bagian integral dari sejarah dan perkembangan kota. Warisan ini masih bisa dilihat dari situs-situs bersejarah dan jejak-jejak budaya yang masih hidup di Blitar hingga saat ini.

Perjalanan Sejarah Kabupaten Srengat dan Blitar

Kisah Kabupaten Srengat dan Kabupaten Blitar adalah cerminan dari dinamika politik dan sosial di Jawa Timur selama berabad-abad. Dari masa kejayaan hingga kemunduran dan transformasi struktural, kedua wilayah ini menunjukkan bagaimana sejarah dapat membentuk identitas suatu daerah. Meskipun Srengat kini hanya berstatus kecamatan, warisan sejarah dan budayanya tetap hidup. Sementara itu, Blitar yang bangkit kembali menjadi kabupaten penuh, terus memainkan peran penting dalam sejarah Jawa Timur.

Sejarah penghapusan Kabupaten Srengat dan kebangkitan Kabupaten Blitar bukan hanya sekedar perubahan administratif. Ini adalah kisah tentang kekuatan, ketahanan, dan kemampuan wilayah-wilayah ini dalam menghadapi tantangan dan perubahan zaman, membentuk mereka menjadi entitas yang lebih kokoh dan bermakna.

Perjanjian Sepreh dan penghapusan Kabupaten Srengat merupakan bagian dari upaya besar pemerintah kolonial Belanda untuk memperkuat kendali mereka di Jawa pasca Perang Diponegoro. Meskipun Kabupaten Srengat tidak lagi ada sebagai entitas administratif, warisan sejarah dan budaya wilayah ini tetap hidup dan menjadi bagian penting dari sejarah Jawa Timur. Dari Srengat yang pernah berjaya hingga Blitar yang bangkit kembali, perjalanan sejarah kedua wilayah ini mencerminkan dinamika perubahan politik dan sosial di Jawa selama abad ke-19.

Sebagai penutup, penting bagi kita untuk terus mempelajari dan menghargai warisan sejarah ini, karena dari sanalah kita bisa memahami lebih dalam tentang identitas dan perjalanan bangsa kita.

 


Topik

Serba Serbi Blitar Perjanjian Sepreh Kabupaten Srengat Diponegoro



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri