free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Agama

Ibu Gen Halilintar Ngotot Minta Thariq Dipanggil Haji, Pegiat Sejarah: Gak Usah, Itu Warisan Kolonial

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

30 - Jun - 2024, 02:40

Placeholder
Momen Lenggogeni Faruk bersama Thariq Halilintar kembali menjelaskan soal Thariq yang sudah pernah haji pada usia 56 hari. (Foto: X)

JATIMTIMES - Baru-baru ini ucapan Lenggogeni Faruk yang ngotor minta Thariq Halilintar dipanggil 'haji' masih menuai perhatian. Banyak netizen yang menilai ibu gen Halilintar berlebihan. Pasalnya kata Lenggogeni, Thoriq diajak haji saat itu belum baligh atau masih berusia 56 hari. 

Merespons viralnya ucapan Lenggogeni tersebut beberapa warganet turut berkomentar. Salah satunya pegiat sejarah dan pegiat sosial Saddam Husein atau yang lebih dikenal di X sebagai @mazzini_gsp. 

Baca Juga : PKS Sebut Duet Nurochman - Ludi Ideal di Pilkada Kota Batu

Dalam unggahannya, Mazzini meminta agar ibu Gen Halilintar tidak lagi ngotot minta Thariq dipanggil haji. Sebab sebenarnya, kata Mazzini, gelar haji bagi masyarakat Indonesia itu warisan Kolonial Belanda. 

"Gelar haji bagi masyarakat Indonesia itu warisan Kolonial Belanda, sebuah bentuk pengintaian kolonial untuk orang Islam yang pulang haji biar tercatat di pemeritah, jika di satu kampung ada masyarakat teriak minta merdeka, haji yang ada di kampung itu paling pertama diinterogasi karena mereka diyakini membawa pemikiran luar sepulang haji," jelas Mazzini, dikutip Sabtu (29/6/2024). 

"Jadi Umi Halilintar gak usah terlalu memaksakan harus gelar “Haji” warisan kolonial itu agar masyaralat memanggil Mas Thoriq. Sekian," tambahnya. 

Menurut Mazzini, penerapan gelar haji ini terjadi karena VOC dan Kolonial Hindia Belanda sama-sama mengkhawatirkan gerakan masyarakat Islam di Indonesia kala itu. "Terutama dengan (adanya) ajakan jihad yang keluar dari kiai itu. Mereka paling ngerti capeknya perang habis energi, habis uang mengahadapinya," katanya. 

"Untuk meminimilasir (perang) makanya ada 'sertifikasi haji' mengawasi dan agar gak ada wilayah yang konfliknya atas dasar jihad," imbuh Mazzini. 

Lebih lanjut, Mazzini juga menjelaskan bahwa pencatatan arus jamaah haji dan penyematan gelar haji oleh Hindia Belanda di abad 18 itu akhirnya secara kultural bergeser. Di mana sebelumnya sebagai bentuk pengintaian namun bergeser jadi peningkatan status sosial. 

"Yang awal abad 20 status itu turut diglorifikasi industri perjalanan haji sebagai benefit bagi orang yang berhaji," katanya. 

Baca Juga : Sesalkan Kejadian Terceburnya 2 Anak di Mie Gacoan Ciliwung, Polisi Minta Ada Pengamanan

Diketahui, orang Islam di Nusantara, kata Mazzini sejak era VOC selalu ditempatkan sebagai kelompok bawah yang patut diawasi. Status seseorang di mata hukum bukan cuma diatur berdasarkan ras, tapi berdasarkan agama yang dianut. 

"Orang yang di kelas sosial selalu ditempatkan terbawah. Tiba-tiba dengan berhaji kelas sosialnya naik, tentu menjadikan naik haji salah satu ibadah yang prestisius," tegasnya. 

Bahkan karena terjadi pergerseran itu, pada abad 20-an, menurut Mazzini, orang-orang rela membeli sertifikat haji atau pura-pura pergi haji yang disebut Haji Singapore. 

"Gelar haji yang mulai diberikan tahun 1872 oleh konsulat Hindia Belanda di Arab Saudi itu kan sampai kita merdeka 1945 gelarnya tetap dipakai dan jadi kebiasaan yang dianggap lumrah, bahkan masuk menjadi bagian dari kultur di masyarakat, sampai sekarang kayaknya masih terjadi kan," pungkas Mazzini.


Topik

Agama Thoriq Halilintar gen Halilintar haji gelar haji



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Binti Nikmatur

Editor

Sri Kurnia Mahiruni