JATIMTIMES - Makam Fatimah binti Maimun, yang terletak di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik, bukan hanya sekadar tempat peristirahatan terakhir bagi seorang wanita yang hidup pada abad ke-11. Lebih dari itu, makam ini adalah saksi bisu dari sejarah awal masuknya Islam ke Nusantara, jauh sebelum kejayaan Kerajaan Majapahit.
Penemuan makam ini menyingkap fakta bahwa Islam telah hadir dan berkembang di wilayah Jawa Timur dalam konteks sejarah yang jauh lebih tua dari yang selama ini kita ketahui.
Bukti Arkeologis Awal: Makam Fatimah Binti Maimun
Baca Juga : Marak Makam Habib Palsu, Budayawan dan Dosen UNU Blitar Serukan Pelestarian Makam Leluhur
Fatimah binti Maimun bin Hibatullah, yang meninggal pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah atau 2 Desember 1082 M, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah awal Islam di Jawa. Makamnya ditemukan di Desa Leran, sekitar 5 kilometer di utara Kota Gresik. Inskripsi pada batu nisannya yang berhuruf Kufi menjadi salah satu bukti tertua kehadiran Islam di Nusantara.
Penelitian terhadap makam ini mengungkapkan bahwa Fatimah binti Maimun adalah putri dari Maimun, yang bergelar Sultan Mahmud Syah Alam, seorang keturunan Iran, dan Siti Aminah, yang berasal dari Aceh. Menurut cerita lisan, Siti Fatimah, yang juga dikenal sebagai Dewi Retno Suwari, adalah keponakan dari Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang tokoh penting dalam sejarah Islam di Jawa.
Penemuan yang Memperluas Wawasan
Dalam buku "The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay Peninsula Before A.D. 1500" karya P. Wheatley, disebutkan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7 Masehi melalui para saudagar Arab yang telah membangun jalur perdagangan dengan Nusantara sebelum kedatangan Islam. Kehadiran saudagar Arab, yang dikenal sebagai tazh, di Kerajaan Kalingga pada abad ke-7, khususnya pada masa kekuasaan Rani Shima, telah didokumentasikan dalam sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. Catatan ini menegaskan keberadaan interaksi awal antara Nusantara dan dunia Islam.
S.Q. Fatimi dalam "Islam Comes to Malaysia" menambahkan bahwa pada abad ke-10 Masehi, keluarga-keluarga Persia, seperti keluarga Lor, mulai bermigrasi ke Nusantara. Keluarga ini tiba pada masa pemerintahan Raja Nasiruddin bin Badr di wilayah Lor di Persia pada tahun 300 H/912 M dan menetap di Jawa, mendirikan kampung yang dikenal dengan nama Loran atau Leran. Sementara itu, keluarga Jawani datang pada masa pemerintahan Jawani al-Kurdi di Iran sekitar tahun 301 H/913 M dan menetap di Pasai, Sumatera Utara, memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan pengembangan tulisan Jawi di wilayah tersebut.
Siti Fatimah Binti Maimun: Perempuan Pionir dalam Sejarah Islam di Jawa
Meskipun terdapat perbedaan dalam catatan waktu antara kehidupan Siti Fatimah dan Sunan Gresik, cerita lisan tetap menghubungkan mereka dalam satu narasi yang kaya akan sejarah. Menurut legenda, Siti Fatimah datang ke Jawa atas perintah Sunan Gresik untuk menyebarkan ajaran Islam. Namun, data historiografi menunjukkan bahwa Fatimah binti Maimun hidup sekitar tahun 1101 M, jauh sebelum masa kehidupan Sunan Gresik yang beraktivitas pada abad ke-14.
Fatimah binti Maimun mulai perjalanannya ke Jawa pada usia 17 tahun, mengikuti jejak keluarganya yang terkenal sebagai pedagang. Di usia muda ini, ia menunjukkan keterampilan dalam berdagang dan berdakwah. Di tengah dominasi Kerajaan Majapahit yang menganut agama Buddha, Siti Fatimah menggunakan perdagangannya sebagai alat untuk menyebarkan ajaran Islam. Barang-barang yang dijualnya dengan harga terjangkau menjadi daya tarik bagi penduduk setempat, dan melalui interaksi dagang yang penuh kelembutan dan kesopanan, ia berhasil menyampaikan pesan-pesan Islam.
Selama perjalanan dagangnya, Fatimah sering kali mengunjungi daerah Tandhes, tempat banyak pedagang Muslim berkumpul. Interaksi dengan pedagang Muslim dari berbagai daerah memperluas jaringan sosialnya dan memperdalam pemahamannya tentang Islam. Ini menunjukkan bahwa perdagangan dan penyebaran Islam berjalan seiring, di mana aktivitas ekonomi menjadi jembatan bagi pertukaran budaya dan agama.
Sayangnya, perjalanan hidup Siti Fatimah harus berakhir lebih awal ketika ia dan dua belas pengikutnya menjadi korban wabah Pagebluk yang melanda Leran. Wafat pada usia 18 tahun, Siti Fatimah tidak sempat menikah, dan Raja Budha yang tertarik meminangnya kemudian memerintahkan pembangunan bangunan cangkup sebagai penghormatan terakhir.
Kontroversi Sejarah dan Inskripsi Batu Nisan
Terdapat perbedaan interpretasi mengenai tahun kematian Fatimah binti Maimun. Jean Pierre Moquette menyarankan tahun 495 H atau 1102 M, sementara Paul Ravaisse menafsirkan tahun 475 H atau 1082 M sebagai tahun kematiannya. Kebanyakan sejarawan Indonesia cenderung menerima penafsiran Ravaisse karena memperkuat argumen tentang keberadaan awal Islam di Nusantara.
Di batu nisan Fatimah binti Maimun tertulis angka tahun 475 H/495 H dan sebuah petikan dari Surah ar-Rahman ayat 55. Menurut Hasan MuarÃf Arnbary dalam "Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia", inskripsi ini memiliki korelasi yang kuat dengan tradisi dan aliran Islam yang masuk ke Indonesia pada masa-masa awal.
Jenis huruf Kufi pada batu nisan tersebut menunjukkan kemiripan dengan makam kuno di Pandurangga (Panh-Rana) di wilayah Champa, Vietnam selatan. Penemuan ini mendukung bukti arkeologis bahwa komunitas Muslim telah hadir di Asia Tenggara sejak abad ke-5 H/ke-11 M. Jere L. Bacharach dalam "The Middle East Studies Handbook" juga menegaskan bahwa pembacaan inskripsi yang paling tepat adalah tahun 475 H, atau 1082 Masehi.
Baca Juga : Ikut Edarkan Ganja, Mahasiswi Malang Diringkus BNN Jatim
Penelitian arkeologis di sekitar kompleks makam Fatimah binti Maimun mengungkapkan temuan mangkuk-mangkuk keramik dari abad ke-10 dan ke-11 Masehi. Ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut pernah menjadi pusat perdagangan yang terhubung dengan Cina, India, dan Timur Tengah. Temuan ini memperkuat narasi bahwa wilayah Leran pernah menjadi pusat interaksi budaya dan ekonomi yang kaya.
Prasasti Leran dan Kehidupan di Sima Timur
Prasasti Leran memberikan wawasan lebih lanjut tentang kehidupan di wilayah tersebut pada masa lalu. Sima Timur, bagian dari pemukiman Leran, digambarkan dengan batas-batas yang jelas dan memiliki ciri khas tertentu. Batas ini mulai dari gerbang timur hingga padang rumput milik Si Dukut di utara, serta tambak Si Bantawan. Ini menunjukkan keragaman dan kekayaan wilayah tersebut pada masa lalu.
Penanda suci "batu suci tanda sima" yang disebut dalam prasasti ini menjadi pusat keberagaman agama dan kepercayaan di wilayah tersebut. Menariknya, di antara batuan yang dianggap suci ini, terdapat arwah suci Rahyangta Kutik, sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Namun, misteri tentang "susuk ri batwan" yang disebut dalam prasasti ini masih menjadi perdebatan. Kemungkinan besar, ini merujuk pada makam Fatimah binti Maimun, yang mungkin telah dianggap suci oleh penduduk lokal, meskipun mereka mayoritas beragama Syiwa-Buddha pada abad ke-13.
Restorasi Makam dan Warisan Sejarah
Pada tahun 1911, makam Fatimah binti Maimun ditemukan dalam kondisi yang memprihatinkan. Temboknya berlubang, atapnya ambruk, dan secara keseluruhan, situs ini dalam keadaan rusak parah. Namun, penemuan ini membuka pintu bagi upaya restorasi dan pemulihan warisan sejarah yang berharga. Jean Pierre Moquette, seorang peneliti Belanda, dan Paul Ravaisse, seorang peneliti Prancis, berperan penting dalam restorasi makam ini pada tahun 1920. Upaya mereka telah memungkinkan kita untuk terus menghargai dan belajar dari sejarah yang diwakili oleh makam ini.
Gaya kaligrafi Kufi pada batu nisan Fatimah binti Maimun, yang juga ditemukan di nisan-nisan kuno di Phanrang, Champa selatan, memperkuat bukti adanya komunitas Muslim di pesisir utara Jawa Timur pada abad ke-11. Hubungan perdagangan antara Champa dan Jawa Timur merupakan bagian dari jaringan perdagangan komunitas Muslim yang luas, menghubungkan berbagai budaya dan membawa arus perdagangan yang kaya dan beragam.
Di sekitar makam Fatimah binti Maimun, ditemukan juga makam-makam lain yang tidak memiliki batu nisan yang jelas. Makam-makam ini menjadi bagian dari kompleks pemakaman yang lebih besar, yang menunjukkan pentingnya wilayah ini sebagai pusat kegiatan sosial dan keagamaan pada masa lalu. Keberadaan makam-makam ini menunjukkan bahwa Leran adalah pusat kehidupan masyarakat Muslim yang kaya akan sejarah dan budaya.
Makam Fatimah binti Maimun bukan hanya simbol awal dari kehadiran Islam di Nusantara, tetapi juga menjadi bukti nyata dari interaksi budaya dan agama yang kaya di wilayah Jawa Timur pada abad ke-11. Penemuan dan pemahaman tentang makam ini memperdalam wawasan kita tentang sejarah awal Islam di Indonesia dan bagaimana perdagangan serta migrasi membentuk identitas budaya dan agama di Nusantara.
Fatimah binti Maimun adalah seorang perempuan yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa Timur. Melalui perdagangan dan interaksi sosial, ia membawa pesan-pesan Islam kepada masyarakat setempat. Meskipun hidupnya singkat, pengaruhnya tetap terasa hingga hari ini.
Makamnya, yang ditemukan dalam kondisi memprihatinkan dan kemudian direstorasi, kini menjadi simbol penting dari sejarah awal Islam di Nusantara. Batu nisan dengan kaligrafi Kufi dan prasasti yang mengelilinginya memberikan wawasan berharga tentang kehidupan dan kepercayaan masyarakat pada masa lalu. Restorasi makam ini memungkinkan kita untuk terus mempelajari dan menghargai warisan sejarah yang berharga ini.